MAHASISWA LEIMENA
“Oom Yo” adalah nama panggilan yang banyak digunakan
orang untuk menyapa Dr. J. Leimena. Nama panggilan itu terutama dikenal sejak
ia memegang pelbagai jabatan tinggi dalam pemerintahan RI. Dr. J. Verkuyl,
seorang pendeta Zending yang mengenalnya sejak tahun 1941, mengatakan bahwa
nama panggilan itu sesuai dengan kebiasaan orang Ambon. Ini ada benarnya juga.
Tetapi kisah pengalaman Dr. Leimena menunjukan adanya pelbagai lapisan pengaruh
di atas lapisan pengaruh sosial-budaya Maluku Tengah. Lingkungan yang
menentukan masa kanak-kanaknya adalah lingkungan guru sekolah dasar. Ayahnya,
Dominggus Leimena, adalah seorang guru bantu di kota Ambon. Ibunya, Elizabeth
Sulilatu, juga berasal dari kalangan guru sekolah. Di tengah-tengah lingkungan rumah
tangga bertradisi guru inilah ia dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905. Tetapi
pada usia lima tahun ayahnya meninggal dan ibunya kemudian menikah lagi.
Seorang kakaknya dan dua orang adiknya turut bersama ibunya dalam keluarga baru
itu, sedangkan Johannes sendiri sejak itu diasuh oleh Tantenya yang menikah
dengan Jesaya Jeremias Lawalata, seorang guru sekolah dasar pula. Berbeda
dengan Dominggus Leimena, Jesaya Lawalata adalah tamatan Kweekschool Ambon.
Sekolah semacam ini terdapat pula di tempat-tempat lain seperti di Tomohon,
Probolinggo, Yogyakarta, Bandung dan Bukittinggi. Pada waktu itu orang sering
menamakannya “sekolah raja” karen (terutama di luar Ambon) hanya menerima
putra-putra bangsawan. Golongan guru dalam masyarakat Ambon termasuk
golongan atas. Bersama-sama dengan para pendeta, para guru sekolah merupakan
orang yang-orang yang sangat dihormati dalam masyarakat pedesaan. Sekalipun
seorang guru atau pendeta tidak berasal dari negeri (desa) yang menjadi tempat
tugasnya, namun masyarakat menilainya sama tinggi dengan para rajapati
(penguasa desa) yang biasanya berasal dari beberapa keluarga desa tsb. Malah
kadang-kadang pengaruh mereka lebih besar dari pejabat-pejabat desa karena
hubungan mereka, secara organisatoris maupun kultural, dengan para penguasa
Belanda. Bagi masyarakat desa mereka tergolong orang-orang yang sangat dekat
dengan kebudayaan Barat. Seperti kebanyakan tokoh-tokoh yang baru dikenal
umum setelah mencapai usia dewasa, tidak banyak pula yang dapat kita ketahui
mengenai masa kecil Johannes Leimena. Kita tidak mengetahui sampai di mana
suasana budaya desa mempengaruhinya di kala ia masih kanak-kanak di
Ambon. Mungkin ia pun menghayati cerita-cerita rakyat yang beredar di
negeri ayahnya, yaitu Ema. Salah satu cerita semacam itu, yang cukup dikenal
penduduk negeri Ema, adalah asal-usul dan penduduk pertama negeri itu. Konon,
rombongan pertama yang mendiami negeri Ema berasal dari suatu tempat di luar
pulau Ambon. Rombongan ini mendarat di pantai Ema dengan menggunakan
perahu-perahu. Pemimpin mereka kemudian mengeluarkan busur-busur dan
menembakkan anak panah pusaka yang terbuat dari emas. Di mana anak panah itu
menancap, katanya, di sanalah mereka ditakdirkan untuk hidup seterusnya. Dengan
demikian terpilihlah suatu tempat di pegunungan pulau Ambon yang sulit didekati
dari pantai. Tempat berlindung secara alamiah itu memberi naungan kepada
penduduk terhadap serangan-serangan dari penduduk desa lainnya. Sampai sekarang
orang-orang yang ingin ke Ema harus melalui sebuah jalan yang terjal sampai
“lutut mengenai dagu”. Di sekitarnya terbentang perkebunan cengkeh dan
ladang-ladang yang kaya raya. Dalam abad-abad ke-18 dan ke-19, Ema terkenal
sebagai salah satu dari tiga atau empat negeri di pulau Ambon yang paling
banyak hasil cengkehnya. Masyarakat desa di pulau Ambon, dan pulau-pulau
lainnya di Maluku Tengah, terbagi atas beberapa golongan. Ada “golongan raja”
atau “golongan yang secara turun-temurun menjadi penguasa negeri yang dalam
istilah setempat dinamakan “raja”, “pati”, atau “orang kaya”. Selain itu ada
pula golongan “kepala soa” atau golongan yang secara turun temurun dipilih
sebagai kepala dari “soa” atau bagian dari desa. Selain itu ada pula
pejabat-pejabat lainnya seperti “kepala kewang” atau pengawas hutan dan ladang
negeri yang juga dipilih secara turun temurun dari satu atau dua keluarga di
desa. Anggota masyarakat desa lainnya terbagi-bagi juga atas pelbagai keluarga
atau “familie”. Keluarga Leimena termasuk salah satu “golongan raja” di
negeri Ema disamping keluarga Dias dan keluarga de Fretes. Pada masa-masa
tertentu salah satu dari anggota keluarga Leimena dipilih sebagai “raja” atau
pun “orang kaya” negeri Ema. Kebetulan pada awal abad ke -20 kakak dari Ayah
Johannes-lah yang memegang jabatan itu. Tetapi tuan guru Dominggus sendiri
berdiam di sebuah rumah yang terletak di Kampung Lateri di kota Ambon. Rumah
yang terletak di tepi pantai itu sebenarnya milik pihak keluarga ibunya. Sebab
itu ketika ayahnya meninggal, bibinya yang mengasuhnya pindah pula ke rumah
itu. Lingkungan tempat tinggal ini tergolong tempat tinggal yang baik di kota
itu. Di Ambon, Johannes Leimena disekolahkan pada sekolah dasar Ambonsche
Burgerschool sampai kelas dua. Masyarakat kota Ambon yang ditandai dengan
ciri-ciri khusus yang membedakannya dari masyarakat pedesaan itu dikenalnya
benar. Perbedaan yang menyolok antara awal abad ke-20 dengan abad-abad
sebelumnya adalah sedikitnya orang Belanda di kota itu. Masyarakat Belanda
praktis hidup terpisah sama sekali dari penduduk kota lainnya. Tempat-tempat
kebaktian (gereja) pun berbeda. Bahasa “Melayu-Ambon” yang umum digunakan
di kota itu maupun di desa-desa yang penduduknya beragama Kristen adalah bahasa
pergaulan. Hanya di desa-desa yang penduduknya beragama Islam dan di desa-desa
di Pulau Seram (Kristen dan Islam) bahasa daerah mulai hidup sehari-hari.
Tetapi sekolah dasar Ambonsche Burgerschool dari Johannes Leimena menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Inilah sebabnya di rumah kadang-kadang
bahasa ini dicampur-adukkan dengan bahasa “Melayu-Ambon”. Hanya di
gereja-gereja orang berkesempatan mendengar bahasa “Melayu-Tinggi” atau yang
pada masa itu dinamakan “Riauw’s Malaeisch” karena selain khotbah yang
dilakukan oleh pendeta, juga kitab Injil (edisi Shellabear atau pun edisi
Leydekker) menggunakan bahasa itu. Tahun 1914 Jesaya Lawalata mendapat
promosi sebagai Guru Kepala di Cimahi. Pada mulanya Johannes Leimena dilarang
oleh ibunya turut ke Surabaya. Namun pada masa itu ia telah merasa sangat
terikat pada pamannya yang baik budi itu dan mencari siasat untuk menyertainya
ke Jawa. Sebab itu dengan diam-diam ia bersembunyi di kapal yang akan membawa
keluarga Lawalata ke Surabaya. Ia baru menunjukan dirinya tatkala kapal
tersebut hendak bertolak sehingga tidak ada pilihan lain bagi ibunya dari
menyetujui niat putranya itu. Tatkala kapal akan bertolak, ibunya memesan
kepada Bapak Lawalata agar sudi menjadi “somber” bagi putranya. Istilah sombar
yang berarti tempat teduh yang berlindung dari terik matahari, mungkin ada
hubungannya dengan istilah “sombrero” yang digunakan oleh bangsa-bangsa Iberia
untuk menyebut topi lebar yang sering mereka gunakan. Pada saat itu Bapak
Lawalata memberi kesanggupannya, dan janji ini ternyata dipegangnya sampai
Johannes berusia dewasa. Dengan menggunakan kereta api Surabaya rombongan
keluarga Lawalata tiba di Cimahi. Sekolah yang dipimpin Pak guru Lawalata di
Cimahi adalah jenis sekolah dasar yang dinamakan “Ambonsche School”. Sekolah
ini hanya menerima murid –murid dari kalangan tentara di kota tentara itu. Tetapi
lingkungan sekolah ini tidak mempengaruhi kehidupan Johannes Leimena. Ia tidak
disekolahkan di situ sekalipun pamannya adalah kepala sekolahnya. Kedatangan
mereka di Cimahi jatuh pada pertengahan tahun ajaran sehingga anak-anak Bapak
Lawalata itu tidak diperkenankan menjadi murid. Selama berada di Cimahi ia dan
anak-anak Bapak Lawalata mendapat pelajaran dari pamannya di rumah. Selain itu
keluarga Lawalata tidak lama berada di Cimahi, hanya kira-kira sembilan bulan
saja. Sampai menyelesaikan sekolah menengah, ia tidak pernah bersekolah
di sekolah-sekolah yang dibentuk hanya untuk anak-anak keluarga tentara. Sebab
itu suatu segi dari masyatakat Maluku di luar Maluku, yaitu lingkungan
kehidupan masyarakat tentara (KNIL) tidak dikenalnya dengan baik. Baru pada
masa mahasiswa ia mulai sadar akan lingkungan itu, dan itu pun secara tidak
langsung dari cerita-cerita atau dari membaca buku-buku. Bapak Lawalata
kemudian dipindahkan dari Cimahi ke Batavia. Di sini mula-mula Johannes Leimena
di sekolahkan di Europeesch Lagere School (ELS) IV di Jl. Batutulis. Sekolah
ini kebetulan dekat dengan rumah keluarga Lawalata yang juga terletak di Jl.
Batutulis. Namun, hanya beberapa bulan saja ia belajar di sekolah yang waktu
itu dianggap kurang bermutu itu, pamannya memindahkannya ke sekolah dasar lain
yang terletak di Jl. Kwitang . “Paul Krugerxhool” (sekarang SMP-PSKD) memang
termasuk sekolah yang paling baik di Batavia ketika itu. Itulah sebabnya
sebelum diperkenankan menjadi murid penuh ia wajib mengikuti pelajaran-pelajaran
di sore hari dengan maksud untuk meningkatkan kemampuannya sehingga setaraf
dengan kemajuan-kemajuan di sekolah itu. Selain itu, di “Paul Krugerschool” ia
juga mulai berkenalan dengan anak-anak Belanda dan suku-suku bangsa lain. ELS
di Jl. Batutulis kebanyakan hanya menampung anak-anak Indo Belanda dan
“anak-anak kolong” (anak soldadu), sedangkan di sekolah yang baru itu sebagian
terbesar murid-muridnya adalah anak-anak Belanda “totok”dengan beberapa murid
dari kalangan Indo, Cina dan Indonesia. Murid-murid dari kalangan Ambon hanya
tiga atau empat orang saja. Kehidupan Johannes Leimena di rumah diliputi
suasana disiplin yang ketat. Sebelum dan sekembali dari sekolah ia diharuskan
mencuci piring dan membantu di dapur. Semua putra Bapak Lawalata, diharuskan
mencuci pakaian mereka sendiri setiap hari. Jarak yang demikian jauh dari
sekolah ke rumah, harus ditempuh Johannes setiap hari pulang pergi, dengan
berjalan kaki. Namun pengalaman yang demikian berat selama masa kanak-kanak itu
tidak pernah disesalkannya. Ia menganggap pengalaman ini sebagai suatu bagian
dari pelajaran yang baik pula, yaitu “belajar hidup sederhana”. Setelah
menamatkan sekolah dasar, Bapak Lawalata memasukkannya di MULO-Kristen di Jl.
Menjangan (sekarang SMA-PSKD di Jl. Kwini). Seperti halnya di sekolah dasar, di
sekolah menengah pun seluruh pelajaran diberikan oleh guru-guru berkebangsaan
Belanda. Sebenarnya ia ingin memasuki HBS, yaitu sekolah menengah yang khusus
bagi orang-orang Belanda. Namun hal ini tidak diizinkan pamannyua, mungkin
karena biayanya terlampau tinggi. Kemudian ia memilih sekolah menengah lain,
yaitu Prins Hendrikschool (di Jl. Budi Utomo sekarang) tetapi niat ini juga
tidak diluluskan pamannya. Sebab itu ia lalu memilih sekolah menengah teknik,
yaitu Koningin Eilhelminaschool (KWS). Namun di sini ia tidak diterima karena
angkanya untuk mata pelajaran menggambar hanya empat, sekalipun angka untuk
berhitung dan angka untuk bahasa Belanda masing-masing Sembilan dan
enam. Berbeda dengan sekolah dasar “Paul Kruger”, MULO-Kristen tidak saja
menampung murid-murid dari kalangan Belanda totok, tetapi juga dari pelbagai
golongan penduduk lainnya. Perbandingan jumlah murid-murid Belanda, Indo,
Indonesia dan Cina tidak jauh berbeda. Johannes Leimena menyelesaikan sekolah
ini pada waktnya, yaitu antara tahun 1919 sampai dengan tahun 1922. Salah
seorang temannya ketika itu adalah Ds. Isak Siagian yang kini pendeta emeritus
GKI-Kwitang. Setelah menamatkan MULO, pamannya bertanya apakah ia berniat
meneruskan sekolah atau bekerja. Johannes menjawab: “dua-duanya, sekolah-sambil
bekerja “. Sebab itu pamannya menganjurkan agar ia mendaftarkan diri pada
kursus “In en Uitvoerrechten” (Bea-Cukai). Tetapi ternyata kursus ini hanya
menerima anak-anak Indo Belanda saja. Kemudian ia mencoba pada kursus Posterij
(Dinas Pos) dengan hasil yang sama pula. Putus asa karena mengalami kegagalan
ini ia berniat untuk mencari pekerjaan saja di dinas kereta api. Tetapi di sini
pun ia ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda. Dalam suasana
yang tidak menentu itu suatu hari seorang kenalan pamannya menganjurkan agar ia
mencoba mendaftarkan pada Rechtschool (Sekolah Hakim) di Jl. Pegangsaan. Hal
inipun dilakukannya. Tetapi tatkala ia mendatangi rumah direkturnya, ia
diterima oleh nyonya direktur dengan pesan bahwa direktur sedang keluar. Ketika
meninggalkan rumah direktur Rechtschool tersebut, tiba-tiba timbul dalam
pikirannya untuk mencoba nasibnya di Stovia yang letaknya tidak jauh dari
Rechtschol. Ternyata ilham yang muncul tiba-tiba inilah yang terkabul. Direktur
Stovia (Sekolah Kedokteran) memeriksa rapor dan ijazahnya yang ternyata
memenuhi syarat. Hanya masih ada satu surat lagi yang diperlukan, yaitu surat
rekomendasi dari Asisten Residen yang menjadi anggauta pengurus yayasan sekolah
MULO-Kristen Jl. Menjangan. Selain itu Asisten Residen tersebut terkenal
sebagai orang yang ramah dan memperhatikan perkembangan para murid sekolah itu.
Keesokan harinya ia menyertai pamannya ke kantor Asisten Residen yang terletak
di bekas balai kota lama (sekarang museum Fatahilah-Kota). Mula-mula sekretaris
Asisten Residen, seorang Indo Belanda, tidak mengizinkan mereka menemui
atasannya. Mereka sangat terkesan akan ucapannya pada waktu itu: “Kalian orang
bumiputra ingin maju semua ya; dan apa yang akan terjadi dengan kami ini
sesudah itu?” Pamannya tidak bersedia bertengkar dan langsung mengetuk pintu
Asisten Residen. Kebetulan yang dicari ada di tempatnya. Dengan senang hati
sang Asisten Residen memberi surat yang diinginkan dengan demikian ia diterima
di Stovia. Sesungguhnya jalan hidup sebagai dokter sama sekali tidak
direncanakannya semula. Niatnya itu muncul dengan tiba-tiba ketika semua jalan
lain sudah tertutup. Menurut Dr. Leimena sendiri hal ini biasanya disebut
kebetulan. Tetapi bagi dirinya pribadi ini semua adalah rencana Tuhan
juga. Stovia (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) pada mulanya
menempati gedung di Jl. Abdulrachman Saleh sekarang. Tetapi kemudian sekolah
ini ditingkatkan dan direncanakan menjadi bagian dari suatu lembaga pendidikan
tinggi kedokteran. Stovia kemudian dipindahkan dari Jl. Abdulrachman Saleh
(Hospitaalweg) ke tempat baru Salemba (sekarang Fakultas Kedokteran) dengan
maksud berangsur-angsur dilembur dalam Gemeneeskundige Hogeschool (GH) yang
secara resmi terbentuk pula pad atahun 1927. Lama pendidikan Stovia pada waktu
itu adalah delapan tahun, mula-mula di bagian persiapan (vootbereidende
afdeeling) dan kemudian di bagian kedokteran (geneeskundige
afdeeling). Stovia menampung pemuda-pemuda dari berbagai suku bangsa. Pergaulan
di dalam sekolah maupun di luarnya mengikat para mahasiswanya dalam suatu
pergaulan yang sangat akrab. Pada masa Johannes Leimena menduduki tahun ke-4,
gedung di Jl. Abdulrachman Saleh telah diubah menjadi asrama. Gedung itu
mempunyai tempat yang khusus dalam sejarah Indonesia, karena sebelum menjadi
asrama di sanalah muncul untuk pertama kalinya suatu organisasi pemuda pelajar
yang bertekat membangun bangsa, yaitu Budi Utomo. Kampus di Salemba tidak
kurang penting bagi perkembangan kebangsaan. Sebagian dari para pemimpin bangsa
pernah belajar di sana. Hampir setiap hari Johannes Leimena datang ke Salemba,
kadang-kadang beberapa kali sehari. Dengan demikian banyak kesempatan baginya
untuk bergaul dengan para mahasiswa lainnya. Selain itu para mahasiswa dari
Recht Hogeschool (RHS) yang gedung sekolahnya di gedung Hankam sekarang banyak
dikenalnya pula. Pergaulan inilah yang mendekatkannya kepada cita-cita
kebangsaan yang pada saat itu diperjuangkannya sebagian besar mahasiswa
Indonesia. Paham kebangsaan dalam dirinya berkembang bertahap-tahap dan dapat
kita telusuri melalui beberapa organisasi pemuda-pelajar yang dibinanya pada
masa Stovia itu. Yang terpenting diantaranya adalah Jong Ambon, dan sebuah
perkumpulan mahasiswa Kristen yang mendahului GMKI sekarang, yang muncul pada
tahun 1926 dengan nama CSV (Christen Studenten Vereniging). Jong Ambon
dibentuk oleh para pelajar Stovia pula pada tahun1917. Ketua pertamanya adalah
Stoviaan J. Kayadu, yang kemudian terkenal juga sebagai anggauta penting dari Sarekat
Ambon cabang Batavia. Ketika Johannes Leimena menjadi seorang “Stoviaan” pula,
organisasi ini lebih banyak merupakan organisasi sepak-bola. Sebagai seorang
penggemar sepak-bola sejak sekolah dasar, dengan sedirinya ia menjadi
anggautanya pula. Sering ia bermain sebagai anggauta Jong Ambon, sekali pun
tidak jarang pula ia dipakai oleh perkumpulan-perkumpulan sepak-bola lainnya
seperti Hercules dan Oliviero yang mempunyai nama-nama harum di kalangan
penggemar olah raga ini di masa itu. Selain itu sudah tentu ia juga sering
memperkuat kesebelasan Stovia. Tetapi pada tahun 1924 muncul beberapa
pikiran lain di kalangan pemuda dan pelajar asal Maluku. Golongan ini
menganggap olah raga sebagai suatu kebutuhan yang sekunder. Mereka menganggap
bahwa pendidikan sebagai suatu kegiatan kebudayaan sebenarnya lebih penting.
Golongan ini lalu mendirikan Vereniging Ambonsche Studenten (VAS) dengan Toule
Salehuwey, seorang mahasiswa Rechts Hogeschool (RHS), sebagai ketuanya.
Golongan kedua dengan pimpinan mahasiswa Stovia GH Rehatta, meneruskan tradisi
lama, yaitu persepakbolaan. Selain dari Stovia anggauta-anggauta kedua bagian
Jong Ambon ini berasal dari Rechts Hogeschool, Geneeskundige Hogeschool, dan
AMS. Untuk membedakan keduanya sering organisasi baru itu dinamakan VAS/Jong
Ambon. Dalam perkembangan sehari-hari sering kedua organisasi ini saling
melengkapi dan anggautanya pun tidak terpisah benar, sehingga seolah-olah ada
dua kegiatan dari satu organisasi, yaitu Jong Ambon. Johannes Leimena
berpendapat, bahwa pada waktu itu sesungguhnya tidak ada suatu bentuk
masyarakat yang dapat dinamakan “masyarakat Maluku” di Batavia. Orang-orang
Ambon yang bekerja pada pelbagai bidang seperti pemerintahan, swasta dan
militer, tidak mempunyai suatu ikatan yang jelas. Orang-orang “partikulir”
terpencar-pencar dan hanya bertemu sekali-kali di gereja, atau di
pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan Jong Ambon atau pun Sarekat Ambon.
Kalangan militer lebih eksklusif lagi. Mereka tetap tinggal di kalangan
tangsi-tangsi. Untuk keperluan mereka pihak Belanda malah menyediakan
pendeta-pendeta tentara sehingga mereka tidak perlu berkumpul dengan golongan
“partikulir” di gereja-gereja biasa. Selain Jong Ambon, pada waktu itu
sarekat Ambon memberi warna-warna tertentu pula bagi orang-orang Ambon.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1922 di Semarang dengan pimpinan AJ Patty,
seorang wartawan. Tidak saja para pegawai Ambon yang tertarik padanya,
tetapi juga golongan intelektuilnya. Dr. Tehupeiory dan JA Soselisa, dua orang
pengasuh Ambonsche Studiefonds, menjadi anggautanya. Kegiatan Sarekat
Ambon lebih banyak ditujukan pada masalah-masalah kemasyarakatan. Tujuannya
adalah memprakarsai kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemakmuran
penduduk di Ambon maupun di luar Ambon. Tetapi beberapa di antara pemukanya,
seperti AJ Patty, terpengaruh oleh cita-cita Indische Partij. Dan kemudian
banyak pula anggauta-anggauta yang merangkap sebagai anggauta partai politik.
Terutama anggauta-anggauta cabang Surabaya banyak yang menjadi anggauta
Parindra. Kemudian dengan pimpinan Mr. J. Latuharhary,sejak 1930 Sarekat Ambon
lebih dekat dengan cita-cita pergerakan nasional Indonesia. Sebab itu, pada
tahun itu juga golongan yang tetap memihak pada pemerintah colonial mendirikan
suatu organisasi lain dengan nama Moluks Politiek Verbond. Dr. Apituley adalah
wakil mereka dalam Volksraad, sedangkan ketuanya adalah wakil mereka dalam
Volksraad, sedangkan ketuanya adalah dr. Tahupeiory. Dalam tahun-tahun
20-an itu Johannes Leimena juga mulai terpengaruh oleh perkembangan yang terasa
di kalangan orang-orang Ambon itu. Situasi di kala itu dilukiskannya sebagai
berikut, Apabila VAS/Jong Ambon, mengundang Sarekat Ambon untuk berceramah
mengenai persoalan-persoalan politik atau sosial, maka selalu seorang dari MPV
juga turut diundang untuk memberi tanggapannya, dan sebaliknya. Dengan demikian
para anggauta VAS/Jong Ambon selalu mendapat gambaran dari kedua belah pihak.
Pihak Sarekat Ambon menggambarkan situasi dengan latar belakang perkembangan
pergerakan nasional, sedangkan pihak MPV melihatnya dalam konteks Hindia
Belanda, atau seperti bunyi semboyan mereka ”Ambon-Nederland zij aan zij”
(Ambon dan Nederland berdampingan). Tetapi menurut penilaian Dr. Leimena
kemudian, sebenarnya kedua organisasi itu masih bersifat “lokal”, hanya warna
latarbelakang yang nampak dalam perdebatan-perdebatan politik
berbeda. Dengan pimpinan Toule Salehouwey dan Johannes Leimena, VAS/Jong
Ambon selalu mengambil sikap menengah, tidak memihak. Itu sebabnya dalam
pertemuan-pertemuannya dengan Dr. Appituley , wakil MPVdalam Volksraad,
Johannes Leimena selalu berusaha untuk mengelak keinginan dokter tentara itu
agar VAS/Jong Ambon memihak pada MPV. Namun usaha-usaha dr. Kyadu, ketua
Sarekat Ambon Batavia, untuk menariknya dalam sarekat Ambon juga ditolaknya
dengan halus. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih ada beberapa orang lain
yang mempengaruhi perkembangan orang-orang Ambon di Batavia. Salah seorang yang
sangat mengesankannya adalah Manusama, ayah dari Ir. Manusama yang kini dikenal
sebagai presiden “RMS”. Menurut penilaiannya orang ini luar biasa. Sekalipun
hanya tamatan KWS saja (Sekolah Teknik Menengah), karena keberhasilannya ia
kemudian diakui sebagai arsitek. Kelebihannya adalah dalam membentuk
konsep-konsep yang orisinal mengenai arsitektur perumahan rakyat. Dengan
arsitek Manusama inilah ia banyak bertukar pikiran. Apabila percakapan itu
dilaksanakan di kantornya, maka masalah yang dibicarakan adalah soal perumahan
rakyat. Tetapi apabila mereka bertemu di rumah, maka pembicaraannya selalu
berkisar pada sejarah Maluku. Arsitek Manusama sangat banyak pengetahuannya
mengenai sejarah daerahnya. Karya Rumphius yang berjudul Ambonsche Historie
yang baru diterbitkan pada tahun 1917, dikenalnya dengan baik. Buku yang
ditulis oleh seorang pejabat Belanda di Ambon pada akhir abad ke-17 itu
mengisahkan timbulnya kekuasaan Belanda di Maluku Tengah. Demikian pun
cerita-cerita mengenai Kapitan Jongker, seorang tokoh yang sangat dipuja di
kalangan KNIL-Ambon. Jongker adalah salah seorang Ambon yang pertama kali
memasuki dinas tentara Belanda dalam pertengahan abad ke-17. Kepandaiannya yang
luar biasa dalam memimpin tentaranya menyebabkan pihak VOC memberinya sejumlah
hadiah berupa tanah. Sampai sekarang di daerah Cilincing (Jakarta Utara) masih
ada sebidang tanah bekas miliknya yang masih memakai nama “Pajongkoran”. Tetapi
seorang perwira Belanda yang iri hati memfitnah bahwa Jongker merencanakan
pengkhianatan . Ia terbunuh dalam suatu pertempuran. Tetapi menurut versi
orang-orang KNIL, ia tidak pernah mati dan selalu akan melindungi satuan-satuan
KNIL-Ambon dalam medan pertempuran. Di sekitar kepercayaan ini muncullah apa
yang dinamakan “Jongker Cultus”. Semasa ini pula Johannes Leimena menambah
pengetahuannya mengenai pelbagai bidang lain. Untuk itu ia menjadi anggauta
perpustakaan Umum (Leeszaal) yang terletak di Jl. Merdeka Selatan sekarang
(sampai sekarang masih ada sebagai Perpustakaan Sejarah, Politik, dan Sosial).
Selain itu ia juga menjadi anggauta Theosophy di Blavatsky Park (Merdeka Barat,
di samping Hankam). Terutama dari gerakan theosofi itulah ia mengenal
tulisan-tulisan dari Gandhi, Vivekananda, dan buku-buku seperti Bhagavad Gita,
disamping buku-buku Theosophy ini terdorong oleh pengaruh teman-teman lainnya,
terutama dari kalangan mahasiswa asal Sumatra seperti Amir Syarifuddin,
Mohammad Yamin, Bahder Djohan, dan lain-lain yang telah lebih dahulu menjadi
anggautanya. Suatu gerakan yang lebih penting, yang mau tidak mau juga
mempengaruhi alam pikiran Johannes Leimena pada masa studinya ini adalah pergerakan
nasional. Dari Sarekat Ambon yang dipimpin Kayadu ia telah mengetahui
garis-garis pokoknya. Kemudian sudah tentu pergaulannnya dengan teman-teman
lainnya di Stovia juga penting dalam hal ini. Surat-surat kabar dari
Parada Harahap, Tabrani dan lain-lain, yang beredar di Stovia memperkenalkannya
pada pelbagai masalah yang menyangkut pergerakan-pergerakan kebangsaan itu.
Buku-buku yang dikeluarkan Balai Pustaka seperti Layar Terkembang
dari Takdir Alisyahbana, sajak-sajak dari Armijn Pane, Sanusi Pane,
Mohammad Yamin, yang memasalahkan perjuangan antara unsur-unsur kebudayaan lama
dan modern mulai dikenalnya pada masa ini. Buku Mr. Abendanon yang berisi
surat-surat kartini (Door Duisternis tot Licht) pernah dibacanya
pula. Perhatian pada gerakan kebangsaan ini boleh dikata mulai sekitar
tahun-tahun 1925-1926. Pada waktu ia sudah mulai mendengar tentang Bung Karno
di Bandung. Pikirannya yang bertendensi nasionalistis diketahuinya melalui
teman-teman mahasiswanya. Perkembangan dari Perhimpunan Indonesia di Nederland
yang menyalurkan aspirasi-aspirasi nasionalisme dari para mahasiswa Indonesia
di sana, diketahuinya pula melalui teman-temannya. Pendek kata, di pertengahan
tahun-tahun 1920-an, ia mulai menyadari adanya suatu perkembangan baru dalam
masyarakat colonial pada masa itu. Ia mulai melihat dengan kemampuan
intelektualnya, bahwa suatu jaman baru sedang muncul, suatu lembaran baru dari
sejarah Indonesia. Kesadaran inilah yang menyebabkan ia sering mengunjungi
gedung Volksraad (sekarang Departemen Luar Negeri di Pejambon) untuk
mendengarkan perdebatan-perdebatan di sana. Kadang-kadang ia ditemani Toulle
Soulehuwey, Ketua VAS/Jong Ambon, serta Matatula dari RH. Tetapi lebih sering
ia pergi sendiri. Terutama upacara-upacara pembukaan sidang Volksraad sangat
digemarinya. Diantara anggauta-anggauta Belanda yang dikaguminya adalah Stokvis
dari golongan sosialis yang mencoba melihat persoalan dari sudut sosialisme.
Pandangan-pandangan itu sering menguntungkan bangsa Indonesia. Lawan utama dari
Stokvis adalah Zendgraag dari Vaderlandsche Club, yaitu golongan pengusaha
kaya-raya yang sering tidak mau menghiraukan situasi sosial-ekonomi di
sekeliling mereka. Dari kalangan Indonesia ia mengagumi Mohammad Husni Thamrin,
Dr. Ratulangi, Agus Salim, Kusumoyudo, Kusumo Utoyo. Golongan-golongan yang
tidak memihak pada pergerakan nasional seperti Dr. Apituley dari MPV, atau
Mandagi dari PEB dan lain-lain kurang disenanginya. Polemik-polemik yang
terjadi dalam sidang-sidang itu menggairahkannya dan menambah kesadarannya akan
perkembangan baru itu. Adalah suatu konsekwensi logis, bahwa Johannes pun
terlihat dalam Kerapatan Pemuda (Kongres Pemuda) pada tahun 1928 yang
melahirkan tekad persatuan bangsa Indonesia. Mungkin sekali rapat-rapat
persiapan (yang kini dinamakan Kongres Pemuda Pertama) di tahun 1926
dihadirinya pula. Yang jelas adalah kehadiran Toulle Soulehuwey sebagai wakil
dari Jong Ambon. Rapat-rapat yang di tahun 1926 itu dibantu pula oleh dr.
Kayadu beserta Ibu. Dalam mempersiapkan Kongres Pemuda 1928 jelas Johannes turut
aktif. Sayangnya pamannya tidak menyetujui tindakan-tindakannya itu. Paman yang
kolot itu menunjuk pada ayat-ayat kitab suci (Roma 13 pasal 1-7) untuk
membenarkan pendapatnya, bahwa Tuhan telah mentakdirkan adanya penjajahan di
Indonesia. Inilah mungkin sebabnya Johannes tidak secara aktif menonjolkan diri
(da VHS/Jong Ambon) dalam sidang-sidang yang diselenggarakan di bulan Oktober
1928 itu. Bersama dengan timbulnya perhatian pada pergerakan nasional,
pada sekitar pertengahan tahun-tahun 1920-an pula, ia mulai berkenalan dengan
suatu gerakan yang juga tidak kurang pentingnya, yaitu gerakan Oikumene.
Gerakan ini pun berintikan suatu kesadaran, atau lebih tepat suatu vision.
Untuk menyatukan umat Kristen tanpa merenggut mereka dari lingkungan sosial dan
budaya dari mana mereka berasal. Kekristenannya sebenarnya sudah timbul dari
kalangan keluarganya, terutama di kalangan keluarga Lawalata. Bapak guru
Lawalata sendiri adalah seorang yang saleh dan taat pada ajaran-ajaran
agamanya, seperti yang diberitakan secara resmi. Hal ini pun diinginkan dari
putra-putranya, termasuk Johannes Leimena. Sebab itu sejak masa MULO Johannes
Leimena telah mengikuti katekisasi (pelajaran-pelajaran agama) yang diberi pada
hari-hari tertentu di gereja. Sebelum itu ia telah mengikuti sekolah minggu
yang diselenggarakan pada sore hari setiap hari minggu. Katekisasi, berbeda
dengan sekolah minggu, diberi oleh pendeta-pendeta yang mendapat pendidikan
akademis kependetaan. Dengan demikian ajaran-ajaran Protestan dapat
dipelajarinya secara teratur dan bertanggung jawab, Setelah lulus dari
katekisasi ia sidi (upacara suci di gereja) untuk diterima sebagai anggauta
gereja. Gereja yang dimasukinya adalah Gereja Protestan di Jl. Pintu Besi
(kini: gereja PNIEL – GPIB). Gereja ini adalah salah satu dari sekian banyak
gereja dari aliran Hervormd. Bentuknya di Indonesia ketika itu adalah
“Protestantsche Kerk van Nederlands Indie” yang tersebar di hampir setiap
daerah yang ada orang Kristennya, terutama di Indonesia Timur. Gereja ini
adalah “gereja negara” dalam arti anggaran belanja dan kegiatannya tergantung
dari pemerintah Hindia Belanda. Tetapi selain itu Johannes Leimena juga sering
mengunjungi Gereformeerde Kerk di Jl, Kwitang (kini GKI). Yang mengesankannya
dari gereja Gereformeerd ini adalah khotbah yang sistematis-logis dan
contoh-contoh yang diberikan selalu relevant mengenai problematic
sosial-ekonomi. Pendeta yang dikaguminya dari gereja Gereformeerd ini umpamanya
Dr. Bavink, seorang yang mula-mula belajar sebagai Psikolog dan baru mempelajari
teologi. Kombinasi psikologi dan teologi ini memungkinkannya menguraikan
tokoh-tokoh seperti Paulus, Johannes, dan lain-lain dengan cara yang sangat
menarik. Selain itu pendeta orator disenanginya pula. Kegemaran masuk gereja
Gereformeerd ini terutama dilakukannya pada masa mahasiswanya.
Dengan pengetahuan yang mendalam mengenai agama
Kristen dengan sendirinya Johannes Leimena mulai tertarik pula pada gerakan
Oikumene. Gerakan ini dikenalnya mula-mula dari kalangan Zendingsconsulaat
Batavia. Salah satu kegiatan dari badan ini adalah penginjilan di kalangan
mahasiswa. Terutama tokoh-tokoh bekas Nederlandsche Christen Studenten
Vereniging (NCSV) yang menjadi Zending merupakan tokoh-tokoh Oikumene di
Jakarta. Oikumene sering diterangkan sebagai a vision that commits atau
kesadaran yang bertanggung jawab. Etimologi dari kata Latin itu sendiri pada
mulanya hanya “dunia yang dihuni mannusia”, tetapi kemudian mendapat arti
teologis tersebut. Seorang teolog yang mempelajarinya secara mendalam, terutama
perkembangannya di Asia, mengatakan bahwa pengertian dari perkataan itu
sesungguhnya berobah-obah sesuai dengan perkembangan gerakan itu sendiri.
Mula-mula istilah itu dipakai untuk melukiskan cita-cita penyatuan gereja, dan
dalam hal ini artinya sama dengan perkataan katolik. Kemudian di samping
unsur kesatuan atau keutuhan itu ditambahkan pula unsur Mision, atau
penginjilan. Dengan demikian istilah itu mencakup gerakan untuk menyatukan
gereja-gereja yang sedemikian banyaknya itu disamping usaha-usaha untuk menyebarluaskan
Injil ke seluruh dunia. Salah satu dari wahana pertama yang paling maju
dari gerakan Oikumene adalah YMCA (Young Men Christian Association) yang
mula-mula timbul di Amerika Serikat. Selain itu wahana lainnya adalah WSCF
(World Student Christian Federation) atau federasi gerakan-gerakan mahasiswa
Kristen sedunia yang timbul pada tahun 1895. WSCF inilah yang pertama-tama
berjasa meluaskan gerakan Oikumene di Asia. Sekretaris Umumnya yang pertama,
Dr. John R. Mott, sebelumnya telah terkenal sebagai tokoh Oikumene di Asia.
Pengalaman-pengalamannya di Asia itulah yang memungkinkan WSCF bekembang di
luar Eropa. Suatu faktor lain mengapa WSCF penting untuk tahap pertama
perkembangan Oikumene di Asia, adalah kennyataan bahwa pembentukannya tidak timbul
di salah satu negara yang memiliki jajahan di Asia tapi di Skandinavia.
Anggauta-anggauta WSCF tersebar hampir di seluruh Eropa dan Amerika, dan
kemudian juga di Jepang dan India. Melalui anggauta yang berkebangsaan Belanda
(NCSV) gerakan Oikumene juga masuk pula di kalangan mahasiswa Kristen di
Indonesia. Langkah pertama dari para bekas anggauta NCSV untuk
mengembangkan gerakan Oikumene di Indonesia adalah dengan mendirikan suatu
panitia dengan nama “Panitia Usaha Penyatuan Mahasiswa Kristen se-Dunia di Hindia
Belanda”. Organisasi ini terbentuk di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 1926.
Tetapi sebelum itu anggauta-anggauta NCSV yang bekerja pada Zendingconsulaat di
Batavia telah melakukan kegiatan-kegiatan lainnya di kalangan mahasiswa dan
pelajar. Usaha-usaha ini terutama nampak dalam bidang asrama para pelajar dan
mahasiswa di Jawa. Dana untuk pembentukan asrama-asrama itu dikumpulkan oleh Committee
voor huisvesting van studeerende Inheemsen (Panitia Asrama Pelajar
Bumiputra) sejak tahun 1913. Dengan uang itu panitia tersebut berhasil
mendirikan sebuah asrama di Jl. Menjangan (dekat MULO Kristen) dan sebuah lagi
di Surabaya. Asrama-asrama itu terutama bermaksud untuk menampung para pemuda
Batak yang tidak mempunyai keluarga di kota-kota besar itu. Berbeda dengan suku
bangsa lainnya yang telah lama berada di kota-kota besar di Jawa, dan sebab itu
bisa memondok di sanak saudaranya, para pemuda dari kalangan masyarakat Batak
sangat merasa perlunya dibangun asrama-asrama itu. Namun kemudian ternyata
asrama-asrama itu tidak berjalan sehingga akhirnya dijual kepada
umum. Dengan uang hasil penjualan asrama itu pihak Zendingconsulaat
mendatangkan seorang tokoh yang perah aktif dalam NCSV. Dr. C.L. van Doorn,
seorang agronom, tiba di Indonesia pada tahun 1922 bersama isterinya, seorang
yang juga aktif dalam NCSV. Setelah beberapa waktu mengadakan
penelitian-penelitian di Sekolah Pertanian di Bogor, sarjana ini pindah ke
Jakarta. Mula-mula ia membuka sebuah asrama di Tanah Abang untuk menampung
mahasiswa Kristen. Karena kegiatan ini berhasil maka sisa uang penjualan kedua
asrama tersebut dipakai oleh Zendingconsulaat untuk membuka sebuah markas bagi
“Panitia Usaha Penyatuan Mahasiswa Kristen se-Dunia di Hindia Belanda”
tersebut. Gedung di Jl. Kebon Sirih 44 (kini dipakai Kedutaan Besar India)
dibeli dan Dr. van Doorn memindahkan kegiatan-kegiatan mereka ke
sana. Kegiatan penginjilan di kalangan mahasiswa Kristen kemudian
ditingkatkan oleh Dr. Van Doorn dengan mendirikan sebuah organisasi mahasiswa
dengan nama Christen Studenten Vereniging. Karena di Bnadung telah ada sebuah
organisasi dengan nama yang sama, maka organisasi yang berkedudukan di Jakarta
dikenal sebagai CSV Batavia, dan di Bandung sebagai CSV Bandung, serta di
Surabaya, yang dibentuk juga kemudian, dinamakan CSV Surabaya. Sejak
terbentuknya CSV Johannes Leimena yang pada waktu itu berada pada tahun ke-4 di
Stovia telah banyak membantu Dr. van Doorn. Seorang tokoh wanita DGI, Mr A.L.
Fransz juga menjadi motor yang penting dari kegiatan-kegiatan di Jl. Kebon Sirih
44 itu. Organisasi yang didirikan pada tahun 1926 ini selain beranggautakan
mahasiswa dari Stovia, juga mendapat perhatian para mahasiswa dari Rechts
Hogeschool (RHS) yang didirikan pada tahun 1924. Tidak saja mahasiswa Kristen
menjadi anggautanya. Tokoh-tokoh yang kemudian terkenal seperti Djojodiguno
(kemudian guru besar hukum adat di Universitas Gajajh Mada), Djokosoetomo
(kemudian guru besar hukum konstitusi di Universitas Indonesia), Djamin
(kemudian tokoh NU tahun 1950-an), Muh. Yamin dan lain-lain sering nampak pula
pada malam-malam diskusinya. Salah seorang mahasiswa RIS, yakni Amir
Syarifuddin, kemudian pada tahun 1935 malah menjadi Kristen karena ikut dalam
kegiatan CSV Batavia. Prof. Mr. J.M.J. Schepper guru besar filsafat dan hukum
pidana pada RHS dan Zendingconsulaat menggairahkan diskusi-diskusi. Dengan
sendirinya diskusi-diskusi yang sering diselenggarakan di Kebon Sirih 44 tidak
saja membahas masalah-masalah agama Kristen. Pada masa ini pemuka-pemuka
Oikumene, terutama yang berpengalaman di Asia, sudah menyadari bahwa persoalan
nasionalisme yang dianut para mahasiswa Asia, merupakan suatu aspek kebudayaan
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Persoalan ini, umpamanya, pernah dibahas
pula dalam Konperensi Zending yang dilangsungkan di Jerusalem pada tahun 1928.
Di sana muncul masalah secularisme, atau seperti yang diartikan dalam
konperensi itu, materialisme. Munculnya kebudayaan materialistis yang
diwujudkan umpamanya dalam industrialisasi, sangat menggusarkan pemuka-pemuka
gereja dari Eropa itu, revolusi (seperti yang sedang berkecamuk di Cina) dan
nasionalisme (yang mulai umum di Asia) juga merupakan suatu manifestasi dari
secularisme. Namun pemuka-pemuka Oikumene asal Asia seperti D.Z.T. Yui dari
Cina membela pergolakan di Asia. Ia berpendapat bahwa di dalam pergolakan
itupun nampak tangan Tuhan . Ia tidak sependapat dengan pandangan umum di
kalangan Zending pada waktu itu bahwa berpolitik adalah bertentangan dengan
agama. Ia menekankan bahwa pemuka-pemuka Kristen justru ditantang untuk berpartisipasi
dalam politik. Hal ini terutama dibutuhkan oleh masyarakat-masyarakat Asia yang
sedang bergolak. Baginya politik belum tentu bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Di kalangan CSV sendiri pandangan ini dibawakan oleh Dr.H. Kraemer
yang tiba di Indonesia pada thun 1922 sebagai ahli bahasa pada Bijbel
Genootschap. Sebagai mahasiswa sastra di Universitas Leiden Kraemer
mempersiapkan diri untuk pekerjaan Zending di Irian Jaya. Tetapi pada suatu
ketika ia menulis sebuah surat kepada gerakan emansipasi dan kebangsaan di
dunia Timur yang dianggapnya suatu gejala penting dalam sejarah dunia.
Berdasarkan pendapat itu ia dialihkan untuk tugas-tugas Zending di pulau Jawa
dengan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran utama. Disertasinya pada tahun 1921
berjudul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw mendapat penilaian
cum laude dari Prof. Snouck Hurgronje. Ia bertugas pada Lembaga Alkitab di
Jakarta antara tahun-tahun 1922-1928 dan 1929-1935. Selain mengunjungi pelbagai
tempat di Jawa ia juga mengunjungi daerah-daerah lain dan menulis laporan yang
sampai sekarang masih banyak dibaca seperti tentang Ambon dan Menado (1926),
Tanah Batak (1930), Jawa Timur (1930), Jawa Barat (1933) dan Bali (1935).
Kemahiran menulis memang merupakan suatu alat yang memungkinkan buah
pikirannnya tersebar luas di kalangan Zending maupun orang-orang Kristen
lainnya. Sarjana bahasa ini terutama menjadi masyhur karena ramalannya bahwa
pada suatu saat kelak bangsa Indonesia akan merdeka. Sebagai konsekwensi dari
pada pandangan itu ia berpendapat, bahwa tugas dari pemimpin-pemimpin Kristen,
di gereja maupun di luarnya, adalah mematangkan umat Kristen Indonesia untuk
berpartisipasi secara aktif dalam perkembangan ke arah kemerdekaan itu. Dr. van
Doorn adalah salah seorang di antara sejumlah anggauta Zending yang menganut
pikiran itu. Dengan demikian dalam lingkungan alam pikiran Oikumene di CSV
Johannes Leimena memperoleh kedamaian dari dua alam pikiran yang sangat
menguasai dirinya, yaitu pertama agama Kristen dengan gerakan Oikumenenya, dan
kedua, nasionalisme yang disadarinya sejak masa mahasiswanya. Pada masa inilah
kedua kekuatan raksasa yang mempengaruhi Asia di abad ke-20 ini berpadu dengan
harmonis dalam dirinya. Berbeda dengan golongan Kristen lainnya, ia tidak
melihat adanya pertentangan antara ajaran agamannya dengan perkembangan
masyarakat ketika itu. Berbeda juga dengan beberapa kawan mahasiswa asal
Maluku, Johannes Leimena tidak meninggalkan yang satu untuk bisa menerima yang
lainnya. Kedua-dua unsur itu berpadu di dalam dirinya dan merupakan pendorong
yang paling kuat dalam kegiatan hidupnya kemudian. Pergaulan di Kebon Sirih 44
jelas memperlihatkan ciri-ciri baru itu. Di sana Nampak pemuda-pemuda dari
pelbagai golongan etnis, seperti Ambon, Batak, Manado, Jawa, Cina, dan lain-lain.
Baginya hal ini jelas merupakan suatu manifestasi dari Oikumene. Motto dari CSV
yang diambil oper dari WSCF, yaitu “Ut Omnes Unum Sint” nampak jelas membekas
dalam kegiatan-kegiatannya sejak1926.
Suatu peristiwa yang menentukan perkembangan awal dari
organisasi mahasiswa Kristen adalah kunjungan De. John R. Mott pada tahun 1926,
disertai oleh Dr. H.C. Rutgers, Sekjen. NCSV. Selama kunjungan kedua tokoh
mahasiswa ini Johannes Leimena senantiasa sibuk. Ia menjadi anggauta penyambut,
dan sebagai “tangan kanan” Dr. van Doorn ia mendapat pelbagai tugas lain pula.
Salah satu tugas utama dalam rangka kunjungan ini adalah Konperensi Pemuda
Kristen se-Indonesia di Bandung. Konperensi yang diikuti oleh sejumlah
pemuka-pemuka pemuda dari pelbagai organisasi yang bernaung di bawah gereja dan
sekolah-sekolah Kristen, antara lain Christelijke Jeugd in de Nationalistische
Beweging” (Peranan Pemuda Kristen dalam Pergerakan Nasional). Dr. Kraemer
memperingatkan para pemuda Kristen, bahwa tugas mereka tidak saja terbatas dalam
ruang lingkup gereja saja, tetapi tugas mereka terletak di dalam masyarakat
pula. Pembangunan bangsa merupakan bagian mutlak dari tugas-tugas
pemimpin-pemimpin pemuda.
Konperensi Bandung yang diikuti Johannes Leimena itu
merupakan konperensi pemuda Kristen se-Indonesia yang pertama kalinya. Sebelum
itu organisasi-organisasi pemuda itu sudah berkali-kali melangsungkan
konperensi-konperensi tetapi selalu di kalangan kesukuan sendiri-sendiri.
Konperensi Bandung 1926 merupakan manifestasi pertama dari Oikumene di kalangan
pemuda Kristen. Sesudah itu menyusul beberapa konperensi lainnya seperti di
Solo (masih dalam tahun 1926), di Padalarang (1927), lalu di Bandung lagi
(1928), kemudian dua kali di Jakarta (1930) dan di Kaliurang (1931).
Perkembangan CSV diikutinya terus sekalipun ia telah
selesai dengan pendidikan kedokterannya pada STOVIA (1930). Suatu langkah yang
besar dalam sejarah CSV adalah konperensi penggabungan ketiga cabangnya yang
dilangsungkan di Kaliurang pada tanggal 28 Desember 1932. Maksud besar
ini pada mulanya dilaporkan kepada Dr. Visser’t Hooft yang pada waktu itu
menjadi Sekjen. WCSF menggantikan Dr. John Mott. Organisasi yang baru itu tetap
diberi nama CSV tetapi untuk membedakan organisasi-organisasi cabang di ketiga
kota tersebut, pengurus pusatnya dinamakan CSV op Java (CSV di Jawa). Sebagai
Sekretaris konperensi memilih Sucipto, seorang mahasiswa RIS. Sebagai Ketua
umumnya konperensi memilih Dr. Johannes Leimena. Kedua orang inilah yang
memimpin CSV op Java sampai dibubarkan oleh pihak pemerintah pendudukan Jepang
pada tahun 1942.
Pada tahun 1934 jumlah anggota-anggota CSV op Java
berkisar antara 90 orang. Di Jakarta sendiri anggautanya berjumlah kira-kira 30
orang dan tersebar di kalangan GH, RHS, dan AMS. Bagi Dr. Johannes Leimena
kepemimpinan CSV berarti kepemimpinan yang diwarnai oleh keyakinan-keyakinan
Kristen. Gerakan CSV dilihatnya tidak terpisah dari gerakan nasional Indonesia.
Sebagai anggauta pengurus CSV pada tahun 1934 ia menulis berhubungan dengan
usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengekang pergerakan nasional:
“Sekalipun suara dari pelbagai suku bangsa dimatikan, namun Nampak atau pun
tidak, dengan diliputi ketegangan –ketegangan jiwa pasti kebebasan akan
diperjuangkan terus dan menimbulkan kekuatan-kekuatan yang baik ataupun yang
buruk untuk menyuarakan nasib suku-suku bangsa itu”. Di tengah-tengahnya ada
suatu gejala yang menarik, yaitu terpadunya semua ideologi dalam jaringan
nasionalisme yang menjadi wadah dari gerakan untuk kemerdekaan dari semua suku
bangsa”.
Melalui CSV ia juga mengenal pergumulan bangsa-bangsa
Asia lainnya. Beberapa bulan saja sesudah berdirinya pengurus pusat CSV,
organisasi ini mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan konperensi mahasiswa
Kristen se-Asia. Konperensi yang diselenggarakan WCSV ini telah dilangsungkan
beberapa kali, antara lain di Jepang, Cina, India, Srilanka, Birma, Malaya,
Philipina, dan Indonesia, berkumpul dalam bulan September 1933 di Citeureup
(Jawa Barat). Sebagai peninjau hadir pula wakil-wakil dari organisasi mahasiswa
Eropa dan Amerika, seperti dari Perancis, Belanda, Swiss, Australia, Selandia
Baru, dan Amerika Serikat.
Sesuai dengan alam pikiran para mahasiswa di Asia yang
sedang menghadapi tugas besar untuk menghadapi bangsanya, konperensi ini pun membicarakan
masalah-masalah yang berkisar pada nation-building. F.P. Muller dan Soicho
Saito, umpamanya, bersama-sama membawakan sebuah prasaran yang berjudul “Orang
Kristen dan Masyarakat”. E. Verwebe dan Sara Chako bersama-sama membawa
prasaran yang berjudul “Orang Kristen dan Kebangsaan”. Metode-metode pergerakan
yang terkenl pada saat itu seperti gerakan “non-violence” dan gerakan
“violence” dibicarakan pula secara panjang lebar. Bagi negara-negara tertentu
masalah negara dan gereja merupakan bahan pembicaraan yang penting pula, tetapi
umumnya negara-negara yang masih terjajah memusatkan pikirannya pada pergerakan
kebangsaan.
Suatu hal yang sudah barang tentu muncul dalam suatu
konperensi dari mahasiswa-mahasiswa Asia adalah gerakan Gandhi di India. Kadang-kadang
muncul pikiran apakah Gandhi, seorang bukan Kristen, adalah seorang yang lebih
dekat dengan ajaran-ajaran Kristus. Para peserta konperensi setuju bahwa
pemujaan yang berlebih-lebihan atas tokoh India itu adalah usaha untuk
memperkecil jarak antara manusia. Tetapi Gandhi tetap tidak dapat disamakan
dengan Kristus, ia tetap seorang berdosa bagaimanapun mulia hidupnya.
II
DOKTER DI KALANGAN ZENDING
Dokter yang berhasil dibentuk dalam suasana dan alam
pikiran yang dibentangkan di muka dapat kita saksikan dalam masa
berikutnya, ketika Dr. Leimena bekerja di beberapa rumah sakit sejak tahun
1930. Mula-mula ia diangkat sebagai dokter pemerintah di CBZ Batavia (sekarang
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Pekerjaan di sini berlangsung tidak lama.
Setelah turut membantu menanggulangi bencana gunung berapi di karesidenan Kedu
tatkala Gunung Merapi meletus, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Imanuel di
Bandung. Di rumah sakit yang diselenggarakan oleh pihak Nederlandsche Zendings
Vereniging (NZV) inilah ia bertugas selama kurang lebih sebelas tahun, mulai
dari tahun 1931 sampai 1941. Di sinilah nama, pertama-tama, wataknya yang khas,
kedua, kemampuannya dalam bidang ilmu kedokteran, dan ketiga, perhatiannya
kepada usaha-usaha penyatuan gereja-gereja dan bangsa Indonesia.
Sebenarnya Rumah Sakit Imanuel tidak asing baginya.
Sudah semenjak masa mahasiswanya, yaitu setelah mencapai kedudukan co-schap,
beberapa kali dikunjunginya rumah sakit itu. Kunjungan-kunjungan itu terutama
dilakukannya pada masa liburan. Di sana ia diterima oleh Dr. Dake,
direktur rumah sakit itu. Mungkin sekali hubungan-hubungannya dengan pihak
Zending melalui Dr. van Doorn, menyebabkan kunjungan-kunjungan ini bisa
terlaksana. Di rumah sakit itu ia turut berpraktek sambil membincangkan masalah-masalah
gereja dan masyarakat.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bila kepindahan
ke rumah sakit itu diterimanya dengan senang hati. Mula-mula ia menempati
pavilyun di rumah direktur. Salah satu bagian yang dikepalainya pada
tahun-tahun pertama di rumah sakit ini adalah bagian atau pavilyun “anti-opium”
yang merawat para pecandu morfin. Di sinilah tampak pengabdiannya yang tulus
ikhlas pada orang-orang yang malang dan tidak bisa menguasai diri sendiri.
Pendekatan medis ini jelas perlu dibarengi dengan pendekatan-pendekatan lain
yang bisa meyakinkan penderita-penderita itu, bahwa kebiasaan mereka tidak saja
bertentangan syarat-syarat kesehatan tetapi juga bertentangan dengan kodrat
mereka sebagai manusia.
Kegiatan sehari-hari di rumah sakit ini dimulai dengan
kebaktian pendek yang dipimpin oleh Aba Markus. Sesudah itu Dr. Leimena menuju
ke kantor direktur untuk membicarakan tugas-tugasnya untuk hari itu. Setelah
itu ia berkeliling zaal-zaal yang menjadi tanggungjawabnya. Ia terkenal pula
sebagai orang yang bertangan dingin. Penyakit-penyakit yang dirawatnya jarang
tidak sembuh: “ketemu penyakitnya, ketemu obatnya, tidak salah”, demikian
teringat salah seorang rekannya yang waktu itu menjadi pendeta di Bandung.
Operasi usus buntu sering dapat diselesaikannya dengan sempurna dalam waktu
seperempat jam, sedangkan dokter-dokter lainnya memerlukan setengah jam. Di
kalangan rakyat kecil ada pula istilah “salep Leimena”. Penyakit kulit yang
dirawatnya rupanya selalu sembuh dengan semacam salep yang ternyata hanya
salysil-zwavelzalf.
Di sekitar tahun-tahun 1936 ia mendapat tugas memimpin
pendidikan mantri jururawat di Rumah Sakit Imanuel, disamping kegiatan-kegiatan
rutinnya. Selain itu ia juga sering berkeliling mengunjungi pelbagai poliklinik
dari NZV yagn didirikan di sekeliling Bandung. Klinik-klinik itu umpamanya
terdapat di Sumedang, Ciparay, Majalaya, Padalarang, dan lain-lain. Sistem
kuratif seperti ini rupanya sangat efektif untuk mendekatkan rakyat petani
dengan cara-cara penyembuhan modern. Tanpa sistem poliklinik yang diasuh oleh
sebuah tim dokter-dokter dari rumah sakit yang besar seperti Imanuel, tidaklah
mungkin dibayangkan adanya pelayanan medis bagi para petani. Sistem ini
sedemikian mengesankan Dr. Leimena sehingga nanti ketika ia menjabat Menteri
Kesehatan di tahun-tahun 1950-an sistem ini diperluas pula di seluruh
Indonesia.
Melalui pergaulannya yang rapat dengan tenaga-tenaga
para medis yang kemudian tersebar di rumah sakit dan poliklinik,
kenalan-kenalannya makin banyak. Kesan mereka mengenai pribadinya adalah
rata-rata sama. Pertama-tama ia mengesankan mereka sebagai seorang yang sangat
saleh dan taat pada agamanya. Selain mengikuti kebaktian pendek setiap hari
sebelum mulai dengan pekerjaannya, pada hari Sabtu ia sering pula memimpin kebaktian
yang selalu diselenggarakan pada hari itu. Suatu hal yang mengesankan mereka
pula adalah kebiasaannya untuk membaca buku-buku “Imitio Christi” karangan
Thomas a Kempis. Kesederhanaannya yang sudah Nampak menonjol sejak di Stovia
juga menarik perhatian para pembantunya di Rumah Sakit Imanuel. Pergaulannya
sangat bebas, sikapnya kepada atasan dan bawahannya hampir tidak berbeda.
Setiap orang dilihatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama kodratnya. Makanan
sehari-haripun tidak terlalu mewah, “selalu puas dengan ikan, sambel dan
lalap”. Sejak menikah dengan seorang wanita Pasundan, Dr. Leimena sering Nampak
di kalangan jemaat Pasundan. Gereja yang biasa dikunjungi sejak itu terutama
adalah Gereja Pasundan di Bandung.
Perkawinannya dengan Wijarsih Prawiradilaga
mengingatkan orang-orang pada situasi masyarakat colonial. Ibu Leimena berasal
dari kalangan bangsawan Priangan Timur dan semasa kecil diasuh oleh neneknya R.
Lendrakton, semasa remaja oleh pamannya Wedana Cikampek dan istrinya R. Aju
Komalainten, putri bungsu Pangeran Sumedang, Pangeran Sugih Soeria Koesoemah
Adi Nata. Kemudian ia disekolahkan di Juliana-school di Sukabumi. Sebelum
menikah dengan Dr. Leimena ia pernah menikah dengan anak Regent Cirebon,
Soemitro Ariodinoto, Ibu dan Dr. Leimena saling berkenalan di Rumah Sakit
Imanuel di mana Ibu pun bekerja melalui bantuan pihak Zending, setelah
menceraikan suaminya yang pertama tersebut. Sesungguhnya keluarga Ibu tidak
menerima keputusannya itu untuk bekerja di kalangan Kristen itu. Bagi mereka
hal ini memalukan. Namun pekerjaan sebagai kepala asrama putri di rumah sakit
itu menyenangkannya.
Keadaan yang diliputi suasana Kekristenan ini di
kalangan staf dan personal Rumah Sakit Imanuel itulah yang mempengaruhi Ibu
Wijarsih Prawiradilaga yang masih muda itu. Kebaktian yang diselenggarakan
setiap pagi hari dan setiap Sabtu mengesankannya. Sebab itu tidak lama setelah
bekerja di sana ia minta mengikuti katekisasi (pelajaran-pelajaran agama) dari
Ds. Woordman. Setahun sebelum menikah dengan dr. Leimena Ibu dibaptiskan di
Gereja Pasundan Bandung. Perkawinan mereka dilangsungkan di Sukabumi oleh Ds.
Siebold van der Linde di rumah Ds. B. Arps pad atahun 1933.
Dari pihak keluarga Dr. Leimena perkawinan ini tidak
mendapt persetujuan. Ibu kandungnya kehilangan suami kedua dan berdiam di Jl.
Batutulis sejak putranya di Stovia, tidak bisa menerima kenyataan bahwa
putranya menikah dengan orang dari suku bangsa lain. Ia menolak menghadiri
upacara perkawinan itu dan tidak bersedia mengunjungi kedua suami-istri itu di
Bandung. Baru setelah dr. Leimena dikaruniakan seorang putri, Annemarie
Elizabeth. Selain itu Ibu Leimena pun berusaha agar mertuanya betah di Bandung.
Ia meninggal di kota itu dan dimakamkan di sana pula.
Dari pihak keluarga Ibu Leimena perkawinan itu mula-mula
juga tidak dibenarkan. Mereka pun tidak bersedia menghadiri upacara perkawinan
itu, hanya pamannya Wedana Cikampek dan Ibu Komalainten menghadiri
perkawinannya dan “huwelijksdinner” di Selabintana, Sukabumi. Dr. Leimenalah
yang dalam hal ini, dengan pribadinya yang sangat simpatik itu, berhasil
melunakkan pihak keluarga istrinya, Pendekatannnya kepada mereka yang selalu
ramah dan selalu bersedia mendengarkan pendirian mereka, membuat mereka merasa
akhirnya bisa menghargainya juga. Selain itu kebanyakan dari mereka adalah
pasiennya di pelbagai poliklinik, antara lain di Sumedang.
Perkawinan dengan Ibu Leimena yang berasal dari
kalangan masyarakat Sunda menyebabkan Dr. Leimena pun makin tertarik kepada
kalangan ini. Hubungan yang telah dibinanya sebelumnya melalui personalia rumah
sakit dan poliklinik-poliklinik serta para pasien, kini makin dipererat lagi.
Terutama setelah pihak keluarga Ibu melupakan keberatan mereka mengenai
perkawinan tersebut, hubungan ini meluas pula ke kalangan bangsawan Priangan.
Suatu peristiwa yang melukiskan betapa
hubungan-hubungan yang terjalin dalam diri Dr. Leimena itu sangat bermanfaat,
nampak di Sumedang Poliklinik di sana baru dibangun pada tahun 1935. Kira-kira
setahun kemudian sebuah gereja pun berhasil dibangun pula di sana. Namun
masyarakat Pasundan di daerah ini sangat keras dalam agama Islam dan menentang
adanya gereja itu. Sikap itu juga dipengaruhi oleh tingkah laku orang-orang
Belanda yang bertugas memimpinnya. Sebab itu setiap kali diadakan kebaktian,
rumah gereja itu selalu dilempari orang. Selain itu, akibat dari tingkah laku
yang kurang baik itu, orang-orang Sunda yang telah menjadi Kristen juga
merasakan akibatnya. Banyak yang menyembunyikan diri karena takut dicela
orang.
Keadaan ini berubah dengan kedatangn Dr. Leimena yang
ditugaskan pimpinan Rumah Sakit Imanuel untuk membina poliklinik di sana. Dr.
Andreas yang menjalankan tugas itu sebelumnya, dipindahkan ke Purwakarta.
Dengan demikian setiap Senin dan Kemis dr. Leimena pulang balik
Bandung-Sumedang. Selain bertugas melayani orang sakit di poliklinik, ia juga
bertugas mencari penyelesaian atas pertikaian penduduk setempat dengan jemaat
kecil di Sumedang. Pergaulannya yang sangat lancar dengan masyarakat sangat
membantu dalam hal ini. Namun yang lebih menentukan barangkali adalah hubungan
dengan keluarga Ibu Leimena. Melalui seorang pensiunan Bupati yang masih
keluarga dengan Ibu Leimena, masalah itu berangsur-angsur diselesaikan sehingga
pekerjaan penginjilan ini pun meluas di daerah itu. Malah melalui Bupati
Sumedang ia berhasil mendapat sebidang tanah yang kemudian dipakai untuk
membangun gedung gereja yang masih berdiri sampai sekarang.
Sudah disebut di dalam bab sebelum ini bahwa Dr.
Leimena sangat peka terhadap masyarakat colonial yang sedikit banyak
dipengaruhi oleh warna kulit. Dalam pekerjaannya sebagai dokter hal ini pun
dialaminya sendiri. Namun, pribadinya yang khas itu selalu bisa menghindarkan
pertentangan yang tidak berguna, dan dengan cara yang luwes ia dapat mengatasi
suasana. Suatu peristiwa yang melukiskan sifat yang khas ini terjadi di
Padalarang. Klinik dari pabrik kertas di sana biasanya diladeni oleh Dr.
Bonebaker, direktur dari Rumah Sakit Imanuel. Terutama dari pihak staf pabrik
tersebut selalu harus diperiksa olehnya. Namun pada suatu ketika dokter Belanda
itu berhalangan dan mengirimkan Dr. Leimena sebagai penggantinya. Tetapi
melihat hal ini para pasien yang terdiri dari orang-orang Belanda itu langsung
bertanya dengan nada yagn menjengkelkan: “Mana Dr. Bonebaker?” Jelaslah bahwa
mereka mencurigai Dr. Leimena. Namun ia tidak menjadi marah, dengan tersenyum
ia meneruskan pekerjaannya sambil memberi keterangan yang seperlunya.
Ciri lainnya yang khas dari pribadi Dr. Leimena adalah
kesetiakawanannya. Dokter-dokter maupun personalia rumah sakit bisa menyaksikan
bahwa commitment yang telah diberikannya pada seseorang selalu
dipertahankannya. Dr. Sugandhi pernah mengalaminya sendiri. Setelah menamatkan
pendidikan kedokterannya ia bisa memilih menjadi dokter pemerintah atau dokter
swasta. Sebagai dokter swasta terang penghasilannya jauh lebih banyak. Namun ia
memilih sebagai dokter pemerintah. Pada saat itu Dr. Leimena berjanji akan
membantunya dalam hal prakteknya dan dalam kesulitan-kesulitan lain. Janji ini
tidak pernah dipungkiri Dr. Leimena. Perlindungan yang dijamin oleh seorang
dokter senior kepada seorang dokter yang mulai bekerja, sungguh merupakan suatu
bantuan yang tidak ternilai.
Sifat hati-hati dan teliti seorang dokter nampak
antara lain pada suatu peristiwa yang dialami Dr. Sugandhi di Bandung. Pada
suatu ketika Sugandhi menerima panggilan dari Cimindi (antara Bandung dan
Cimahi). Ia sangat terkejut melihat bahwa yang dihadapinya adalah penderita pes
paru-paru. Pasien itu segera diangkutnya ke Rumah Sakit Imanuel. Tetapi sampai
dimuka gerbang rumah sakit pasien itu meninggal. Pemeriksaan selanjutnya
membenarkan pendapatnya, bahwa kasus itu adalah pes paru-paru, suatu penyakit
yang mudah sekali menjangkit. Mendengar hasil pemeriksaan itu, Dr. Leimena
menyarankan kepada Dr. Sugandhi agar ia segera mengisolir dirinya selama dua
hari penuh. Kemudian ternyata tidak kurang dari 46 orang meninggal karena
penyakit tersebut di sekitar Cimindi.
Sikap teliti dan hati-hati dengan sendirinya banyak
membantu keberhasilannya sebagai dokter. Hal ini sudah Nampak dalam pekerjaan
sehari-hari di Rumah Sakit Imanuel. Selain itu setiap tiga bulan di Rumah Sakit
Imanuel diadalah “klinise avond”. Pada saat-saat itu dokter-dokter dari Bandung
dan Cimahi berkumpul untuk menyaksikan kasus-kasus kedokteran yang menarik yang
dialami oleh dokter-dokter Rumah Sakit Imanuel. Dr. Leimena juga sering
mengambil bagian dalam demonstrasi-demonstrasi ini dengan menampilkan
kasus-kasus yang dialami dengan beberapa orang pasiennya. Beberapa diantara
kasus-kasus itu dilapornya dalam majalah kedokteran (Geneeskundige
Tijdschrift voor Nederlandsch Indie) edisi 1934 sampai 1941.
Di tengah-tengah kegiatannya sebagai dokter dan
sebagai anggauta gereja yang ikut aktif dalam bidang Zending. Dr. Leimena masih
menyediakan waktu untuk penyelidikan-penyelidikan teratur. Pekerjaan itu
dilakukannya di rumah sakit dan di rumah. Obyek penelitian yang dipilihnya
adalah penyakit lever atau penyakit-penyakit yang menyerang hati.
Percobaan-percobaan yang teliti dilakukannya dengan pasien-pasien di rumah
sakit. Di rumah ia membaca hasil-hasil penelitian dari pelbagai sarjana lain
tentang penyakit yang sama. Kemudian hasil-hasil itu dibandingkannya dan
akhirnya ia mendapat kesimpulan-kesimpulannya sendiri. Pekerjaan di rumah yang
di malam hari itu sudah barang tentu mendapat restu dari Ibu Leimena.
Untuk itu mereka bersedia mengorbankan kebiasaan untuk mengunjungi kerabat atau
pun nonton filem. Pengertian mengenai usaha itu diperolehnya juga dari Dr. Bonebakker,
direktur rumah sakit. Seluruh pekerjaan itu dibuatnya dengan bimbingan dan
pengawasan Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom yang pada waktu itu menjadi guru
besar di Geneeskundige Hogeschool (Batavia). Akhirnya hasil penelitian itu
diajukan kepada pihak GH untuk dinilai.
Disertasi yang berjudul Leverfunctie-proeven bij
Inheemsche itu diuji pada tanggal 17 Nopember 1939 oleh Geneeskundige
Hogeschool di bawah pimpinan Dekannya Prof. Dr.J.A.M. Verbunt. Suatu hal yang
menarik pada sidang istimewa dewan gurubesar di Salemba itu adalah para
pendamping promovendus (paranymphen). Pada satu sisi berdiri Sucipto,
Sekretaris CSV op Java, yang menggunakan pakaian adat Jawa lengkap dengan
kerisnya. Pada sisi lain berdiri kawan lamanya, juga anggauta CSV, Mr. Amir Syarifuddin
dengan menggunakan teluk belanga.
Penelitian ilmiah dan disertasi untuk gelar doctor
dalam ilmu kedokteran merupakan suatu prestasi yang memuaskan bagi diri pribadi
Dr. Leimena. Tetapi hal inipun memperlihatkan suatu aspek lain dari pandangan
hidupnya. Sebagai seorang Kristen yang memiliki iman yang teguh, ternyata ia
tidak memusuhi ilmu pengetahuan. Ilmu baginya, seperti juga antara ilmu dan
iman yang nampak pada pihak-pihak tertentu dalam kalangan Zending, sama sekali
tidak nampak pada dirinya. Selain itu, salah satu dari “stellingen”-nya yang
dilampirkan pada disertsi tersebut (suatu kebiasaan dalam tradisi ilmiah
Belanda) mengungkapkan perhatiannya yang khusus pada dinamika masyarakat
Indonesia. Untuk menanggulangi kurangnya jumlah bidan bersalin yang terlatih
secara modern, ia menganjurkan agar “dukun-dukun beranak” ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan itu.
Kegiatan dalam bidang gerakan Oikumene yang telah
dikenalnya semasa mahasiswa tidak pernah dikesampingkan selama melakukan
penelitian-penelitian itu. Perkembangan CSV dengan sendirinya merupakan salah
satu hal yang menarik perhatiannya. Kecuali sebagai Ketua Umum CSV, hubungannya
dengan anggauta-anggauta CSV di Bandung juga sangat penting. Berkali-kali
diadakan pertemuan-pertemuan di rumahnya dengan pemuda J.A. Manusama yang pada
saat itu sedang menempuh pelajaran pada Technische Hoogeschool. Tidak disangka
ketika itu bahwa kemudian pemuda ini pulalah yang menentang RI dengan membentuk
“RMS” bersama beberapa orang Maluku lainnya.
Kegiatannya dalam bidang Zending juga memerlukan
banyak tenaga dan waktu. Keberhasilannya di pelbagai tempat dalam bidang ini,
seperti umpamanya di Sumedang, mengesankan. Sebab itu tidaklah mengherankan
bila ia akhirnya diangkat pula sebagai anggauta Zendings ComMisie. Dalam
tahun-tahun 1930-an gerakan Ouikumene yang mulai dengan wadah-wadah non
gerejani sepert YMCA dan WCSF itu, mulai mengarahkan kegiatannya ke dalam
gereja-gereja itu sendiri. John R. Mott, yang sebelumnya menjadi pemimpin WCSF,
kini beralih memimpin International Misionary Council (IMC). Dengan sendirinya
gerakan yang memfokus pada gereja-gereja di Asia sebenarnya sudah dimulai sejak
Konperensi IMC di Jerusalem pada tahun 1928. Thema yang penting pada waktu itu
berkisar pada latar-belakang dari gereja-gereja di Asia. Suatu contoh yang
diambil pada saat itu umpamanya perkembangan gereja-gereja di Jepang dan Cina.
Dengan pengalamannya dalam pergerakan mahasiswa Kristen di Jepang dan Cina,
John T. Mott lebih meningkatkan kegiatan itu. Dalam mempersiapkan konperensi
IMC berikutnya ia menghendaki agar lebih banyak orang-orang Asia berpartisipasi
dalam diskusi-diskusinya. Selain itu ia berpendapat, bahwa konperensi itu
seharusnya diadakan di Asia pula. Mula-mula tempat konperensi itu ditentukan di
Hongkong, tetapi kemudian dipindahkan lagi ke Hangchow. Invasi Jepang ke Cina
menyebabkan tempat ini dipindahkan lagi ke Tambaram (Perguruan Tinggi Kristen
yang terletak tidak jauh dari kota Madras).
Persiapan-persiapan Konperensi Tambaram ini sudah
dimulai pada tahun 1935. Ada tiga persoalan yag dipersiapkan. Pertama adalah
latar belakang sosial ekonomis dari gereja-gereja di Asia. Sebagai hasil
penyelidikan yang dilakukan sebuah panitia khusus terbitlah suatu seri yang
berjudul The Economic basis of the Church. Gereja Batak (HKBP) yang
mulai berdiri pada tahun 1930 itu diambil sebagai contoh yang mewakili
Indonesia. Kesimpulan yang menarik dari panitia ini adalah bahaya subsidi
pemerintah kepada gereja-gereja dan kesalahan yang bisa terjadi bila
gereja-gereja di Asia mengambil oper begitu saja sruktur gereja di Asia.
Permasalahan yang kedua adalah soal penginjilan. Segi inipun mulai Nampak
menonjol sejak tahun-tahun 1930 dengan munculnya gereja-gereja baru di
tengah-tengah masyarakat Asia. Masalah ketiga adalah hubungan antara kebenaran
yang ditemui dalam agama-agama lain yang telah ada di Asia dan yang selalu
diidentifikasikan dengan kebudayaan Barat. Untuk inilah Dr. H. Kraemer
menyelesaikan bukunya yang berjudul The Christian Message in a non-Christian
World. Disamping masalah secularisme, masalah ini pun telah
dibicarakan pula di Jerusalem. Bahan-bahan yang dihasilkan panitia-panitia itu
sebagian dikirimkan kepada delegasi dan sebagian lagi diserahkan pada saat
konperensi berlangsung.
Dr. J. Leimena adalah salah seorang dari sejumlah
orang Indonesia yang dikirim ke Tambaran itu. Selain itu antara lain Sucipto,
Sekretaris pengurus pusat CSV, Mr. Tiene Frans yang juga telah banyak berjasa
dalam kegiatan-kegiatan Oikumene, Dr. Wardojo, dan lain-lain. Pada konperensi
yang berlangsung antara tanggal 12 sampai 29 Desember 1938 itu, para delegasi
dibagi dalam16 seksi dan delapan kelompok-kelompok istimewa. Delegasi-delegasi
dari Asia terutama menyerukan adanya suatu organisasi yang mengikat semua
gereja-gereja. Seruan ini juga disokong oleh Dr. Visser’t Hooft, Sekjen WCSF.
Dengan demikian terbentuklah suatu panitia yang ditugaskan untuk menyusun
anggaran dasar dari suatu organisasi dewan gereja Internasional. Dr. J. Leimena
duduk dalam panitia ini sebagai wakil dari Indonesia. Sayangnya usaha-usaha ini
terpaksa terhenti karena perang dunia yang kedua. Cita-cita pembentukan dewan
gereja-gereja sedunia baru terlaksana sehabis perang itu pada tahun 1948 di Amsterdam.
Permasalahan yang kedua yang menarik pada delegasi
dari Asia dalam Konperensi Tambaram adalah pengalaman-pengalaman bangsa mereka
masing-masing. Pergolakan-pergolakan di Asia seperti revolusi di Asia seperti
revolusi di Cina, peperangan antara Cina dan Jepang, pergerakan-pergerakan
kebangsaan di pelbagai negeri, kadang-kadang menyobek–nyobek persatuan di
kalangan Intelegensia Asia. Permasalahan ini tidak jarang menimbulkan
pertentangan batin di antara pemuka-pemuka Oikumene asal Asia.
Namun demikian masalah yang paling banyak dibicarakan
adalah buku dari Dr. H. Kraemer. Tidak semua delegasi dapat menyetujui pendapat
Kraemer, namun sejak itu permasalahan yang dibawanya menjadi salah satu
pokok pembicaraan penting di kalangan Zending. Sedemikian menariknya buku itu
sehingga masalah-masalah pertama dan kedua, yaitu keadilan sosial dan ekonomi
gereja dan penginjilan, tergeser ketempat kedua. Pengalaman mengikuti
Konperensi di luar memungkinkan Dr. Leimena membuat perbandingan antara keadaan
di Indonesia dan keadaan di luarnya. Nampak jelas adanya, bahwa kesadaran agama
perlu sekali ditingkatkan. Dasar gereja tidak lain tidak bukan adalah Allah
yang Nampak melalui Jesus Kristus. Pertemuan Tambaram itu juga menyebabkan ia
mengambil kesimpulan, bahwa betapapun samanya agama-agama lain dengan agama
Kristen, percampuran agama (sinkretisme) adalah sesuatu yang bertentangan
dengan hakekat Injil. Namun ini tidak berarti bahwa orang harus lalu harus
menjauhkan diri dari segala faktor-faktor non-injil yang terdapat di
sekelilingnya Dr. Leimena berpendapat bahwa Tuhan telah menempatkan kita dalam
suatu lingkungan tertentu. Sebab itu gereja-gereja di Indonesia harus menjadi
gereja yang berakar dalam masyarakat. Suatu gereja Kristen dan suatu masyarakat
Kristen harus menjadi suatu gereja dan suatu masyarakat yang sedemikian rupa
sehinggga orang-orang bukan Kristen bisa berkata: “Cara hidup dan berpikir
orang Kristen lain sekali dari kami namun demikian mereka tetap sama dengan
kami”. Hal ini harus Nampak dalam arsitektur gereja, tata kebaktian dalam
gereja, perayaan hari-hari besar Kristen, dan lain-lain.”
Permasalahan keesaan gereja sebenarnya juga
dibicarakan di Tambaram. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Asia,
perkembangan di Indonesia sangat terbelakang. Pada waktu itu sejumlah kelompok
kesukuan di Indonesia berhasil membangun gereja-gerejanya sendiri yang terlepas
dari “Protestantsche Kerk van Nederlandsch Indie”. Berturut-turut Gereja Batak
berdiri dengan nama Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), kemudian Gereja
Kristen Jawi Wetan dan Gereja Jawa Selatan (1931), kemudian menyusul Gereja
Kristen Pasundan (1934) dan Gereja Masehi Injili Minahasa (1934) serta Gereja
Protestan Maluku (1935). Namun keadaan ini tidak bisa sampai di situ saja.
Masalah keesaan Gereja di Indonesia khususnya dibicarakannya pada Konperensi
Zending se Indonesia yang dilangsungkan di Karangpandan (Solo) pada tahun 1941.
Sikapnya mengenai hal ini Nampak pertama-tama dalam masalah pemilihan judul
prasatannya. Pihak Panitia memberi judul “De Ontmoeting der Rassen in de kerk”
(Pergaulan antara Ras di dalam Gereja). Menurut Dr. Leimena istilah ras
samasekali tidak tepat. Istilah ini hanya mencakup ciri-ciri biologis dari
kelompok-kelompok manusia, dan tidak memperhatikan keadaan kebudayaannya. Sebab
itu sebaiknya digunakan istilah volk atau atau bangsa yang lebih banyak
memperhatikan ciri-ciri psikologis dan budayanya disamping ciri-ciri
biologisnya. Pendapat ini diberinya landasan teologis dengan mengemukakan,
bahwa di dalam kitab Injil pun dipakai istilah volk atau bangsa untuk
membedakan pelbagai kelompok masyarakat di Timur Tengah.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menggunakan
istilah bangsa yang dalam masyarakat Indonesia pada saat itu mempunyai konotasi
politik yang sangat tajam, dikemukakannya bahwa kehadiran seseorang di dalam
suatu bangsa adalah kehendak Tuhan juga, sama seperti kehadiran seseorang dalam
gereja tertentu. Kristen yang baik bisa saja seorang nasionalis yang baik pula.
Dengan perkataan lain, agama Kristen baginya tidak merupakan antagonis dari
bangsa Indonesia seperti yang seringkali dikemukakan orang masa itu.
Terbentuknya gereja-gereja yang keanggautaannya
berasal dari salah satu sukubangsa tidak dianggapnya suatu kejanggalan. Keadaan
itu merupakan konsekwensi yang logis dari keadaan masyarakat kolonil pada waktu
itu. Namun yang lebih penting baginya adalah usaha-usaha selanjutnya. Sejalan
dengan pikiran-pikiran Oikumenis, yang selain menekankan segi penginjilan juga
mementingkan persatuan umat Kristen, ia mengemukakan di hadapan
pemimpin-pemimpin gereja di Karangpandan bahwa hendaknya diusahakan pula agar
tercapai suatu keesaan dalam organisasi gereja-gereja di Indonesia. Tetapi,
sejajar pula dengan sifatnya khas, Dr. Leimena memberi anjuran agar usaha-usaha
kearah penyatuan gereja-gereja dilakukan dengan cara-cara persuasive, bukan
dengan cara-cara paksaan. Keinginan bersatu harus datang dari kalangan
gereja-gereja yang bersangkutan, masing-masing pribadilah yang harus mengambil
keputusan sendiri-sendiri untuk bersatu. Yang dituntut di sini adalah kesadaran
dari anggauta-anggauta jemaat masing-masing gereja. Dengan sendirinya usaha
kearah itu seharusnya dimulai dari kalangan pimpinan gereja. Dalam hal inilah
Dr. Leimena meminta perhatian dari peserta Konperensi Zending di Karangpandan
itu.
Gereja-gereja yang ada di Indonesia pada waktu itu,
menurut pendapatnya dapat digolongkan dalm tiga bagian. Gereja-gereja dari
kelompok –kelompok etnis Indonesia yang sudah mulai terbentuk sejak tahun 1930,
kemudian gereja-gereja dari kalangan orang Belanda, dan gereja-gereja dari
kalangan etnis Cina. Berdasarkan hal ini, untuk tahap pertama dapat dibentuk
tiga buah gereja. Kemudian, kalau telah ada kesadaran untuk menyatukan
ketiganya, baru melangkah ke arah persatuan dari semua gereja-gereja aliran
Protestan. Cita-cita keesaan gereja ini merupakan suatu vision pula dari
Dr. Leimena. Ia senantiasa “committed” kepada visio ini dalam masa-masa
berikutnya.
Adalah suatu vision pula dari Dr. Leimena, bahwa
persatuan bangsa merupakan dasar utama bagi persatuan umat beragama, khususnya
umat Kristen-Protestan. Persatuan gereja bisa terlaksana dengan terciptanya
persatuan bangsa, dan sebaliknya. Sebab itu tidaklah mengherankan bila ia
sangat mengecam struktur masyarakat colonial. Masyarakat yang terpecah-pecah
menurut garis warna kulit itu baginya merupakan suatu keadaan yang tidak
sejalan dengan ajaran-ajaran Injil yang diyakininya. Sebagai seorang dokter
yang bergerak di kalangan Zending dan oleh sebab itu mengenal betul ciri-ciri
masyarakat Belanda di zaman colonial itu, disesalkannya pandangan-pandangan
tertentu yang muncul dari kalangan masyarakat itu. Terutama penolakan, secara
sadar ataupun tidak, terhadap pergerakan nasional Indonesia, dianggapnya
sebagai suatu kebodohan. Keadaan ini sedikit banyaknya disalahkannya pada
kalangan Kristen juga yang sebagian bersikap “netral” dalam persoalan-persoalan
yang maha penting di zaman itu. Dalam salah satu majalah Zending situasi ini
pernah dibentangkannya sebagai berikut. Dengan meminjam beberapa istilah dari
seorang psikolog Belanda yang memakainya untuk menganalisa masyarakat
Indonesia, Dr. Leimena membagi masyarakat Belanda di daerah jajahan dalam tiga
kategori. Yang pertama adalah mereka yang telah berdiam lama di Idonesia dan
bekerja secara menguntungkan bagi dirinya sendiri, tetapi samasekali tidak
pernah berusaha untuk mengenal situasi sosial politik dari masyrakat di
sekelilingnya. Mereka samasekali tidak mengetahui aspirasi-aspirasi kebangsaan
yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang ada di sekeliling mereka.
Golongan kedua adalah mereka yang sudah sudah sangat lama berdiam di Indonesia
dan mengerti perkembangan masyarakat dan aspirasi-aspirasi baru yang ada di
kalangan masyarakat Indonesia. Namun golongan ini menolak ini aspirasi-aspirasi
kebangsaan itu. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang akan membahayakan
kepentingan-kepentingan mereka. Kedua golongan tersebut sedikit bannyaknya
bersifat pasif. Sekali pun sebagian tidak setuju dengan perkembangan baru,
yaitu perkembangan nasional, mereka tidak mengeluarkan kecaman-kecaman yang
menyakitkan. Tetapi golongan ketiga, yaitu mereka yang mengerti perkembangan
baru dan tidak menerimannya, senantiasa melontarkan kecaman-kecaman yang pedas.
Setiap tindakan dari kalangan masyarakat Indonesia dilihat sebagai tindakan
pengacauan, tindakan criminal. Dan yang menyedihkan, menurut Dr. leimena adalah
kepribadian yang picik dari golongan ini. Apabila kemudian hari ternyata
kecaman-kecaman yang salah itu. Sikap berdiam diri terhadap kebenaran inilah
yang bagi Dr. Leimena bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan
dengan moral Kristen yang seharusnya dikenal pula oleh golongan ini. Sebagai
seorang Kristen yang saleh kepicikan seperti ini sangat menentukan sikap Dr.
Leimena terhadap masyarakat colonial.
Namun tidak semua orang yang menentukan perkembangan
masyarakat di masa itu dihinggapi “penyakit” seperti yang diuraikannya di atas.
Menurut Dr. Leimena, diantara anggauta-anggauta masyarakat colonial masih ada
satu dua orang yang tidak tergolong salah satu kategori tersebut di atas.
Sebagai contoh dikemukakannya Dr. Adriani, seorang ahli bahasa dari Lembaga
Alkitab Belanda yang mempunyai perhatian yang besar atau masalah-masalah
kebudayaan di Indonesia. Sarjana ini tidak menggunakan pengetahuannya
untuk menghancurkan masyarakat dan budaya yang dikenalnya. Yang menarik dari
sarjana ini, menurut Dr. Leimena, adalah tindakan-tindakan dan anjuran-anjuran
terutama pada generasi muda. Segala sifat yang baik yang ada di kalangan
generasi muda itu diusahakan agar bisa dilihatnya sebagai perkembangan yang
wajar.
Dalam hal ini perlu dikemukakan lagi
pandangan-pandangan Dr. H. Kraemer yang juga sangat menguntungkan pergerakan
nasional. Pada tahun 1931 Dr. Kraemer menulis dalam majalah “Algemen Weekblad
voor Christendom en Cultuur”: “Nasionalisme timur merupakan masalah utama bagi
Zending. Zending yang bertugas mengungkapkan semangat Kristen yang sejati,
tidak boleh mengabaikan bangkitnya rasa harga diri, dorongan dan keinginan akan
kelahiran kembali (hergeboorte) yang terwujud dalam corak yang beraneka ragam
dalam nasionalisme. Segala sesuatu yang menambahkan kehormatan dan
daya-kemampuan bangsa-bangsa di Timur berhak memperoleh dukungan yang diberikan
dengan gembira oleh pihak Zending dukungan itu berada dalam batas-batas
kemampuannya. Hanya dengan itulah dapat dinyatakan kasih yang tidak memikir
diri sendiri, yang merupakan sumber bagi Zending.” Dr. Kraemer dapat dikatakan
penerus dari cita-cita Dr. Andriani yang meninggal pada tahun 1926. Dan sedikit
banyaknya pemikiran Dr. Kraemer tentang hubungan antara Injil dan kebudayaan
sangat mempengaruhi pemikiran Dr. Leimena.
Kurangnya pengertian mengenai dinamika masyarakat
Indonesia menurut Dr. Leimena mengakibatkan timbulnya salah paham yang tidak
berkesudahan. Golongan Belanda melihat perkembangan masyarakat dengan pandangan
colonial yang kolot seolah-olahnya hanya kekuasaan Belanda-lah satu-satunya
faktor yang menentukan hidup mati masyarakat di kala itu. Keangkuhan ini telah
berkali-kali dimanifestasikan dalam kejadian-kejadian tertentu. Sikap yang
sangat keras terhadap pemimpin-pemimpin pergerakan nasional adalah salah
satu manifestasi ini. Penangkapan Ir. Sukarno dan beberapa orang pemimpin
lainnya di tahun 1929 sangat jelas melukiskan kesalahpahaman tersebut. Dalam
pengadilan di Bandung Sukarno bermasud menyatakan bahwa PNI yang dipimpinnya
sama sekali tidak bermaksud mengadakan suatu Revolusi Fisik seperti yang
dituduhkan jaksa kepadanya. Dengan panjang lebar ia membentangkan betapa
kelirunya pernyataan itu. Namun para hakim lebih mempercayai bukti-bukti yang
diajukan oleh pihak kejaksaan. Kemudian penangkapan dan pembuangan Sukarno,
Haatta, Syahrir dan lain-lain merupakan tanda yang jelas pula betapa kebodohan
merajalela di segala lapisan aparatur penjajahan.
Penolakan-penolakan terhadap bangsa Indonesia di zaman
penjajahan tidak saja dilakukan dengan alasan-alasan politik, tetapi juga
dengan alasan-alasan yang lebih mendalam. Menurut suatu kalangan tertentu di
kalangan tertentu di masa itu perbedaaan budaya antara Belanda dan Indonesia
merupakan pemisah yang kokoh kuat antara kedua golongan itu. Mereka membenarkan
ungkapan Kipling, bahwa “Barat adalah Barat dan Timur adalah Timur dan keduanya
tidak akan pernah bertemu.” Ini pun suatu kesombongan karena kebudayaan India
jelas bisa berjumpa dengan kebudayaan Barat. Unsur-unsur kedua kebudayaan Timur
itu banyak diterima oleh orang-orang Barat.
Sebagai Ketua Umum CSV op Java, Dr. Leimena mendapat
kesempatan untuk menyaksikan ciri-ciri masyarakat colonial itu di kalangan
mahasiswa. Pada umumnya mahasiswa Belanda dan mahasiswa Indonesia jarang
bergaul rapat. Keadaan ini oleh mahasiswa Belanda disalahkan pada mentalistas
mahasiswa Indonesia. Mereka berpendapat bahwa tekanan-tekanan yang setiap hari
dirasakan oleh mahasiswa Indonesia bersumber pada kebudayaan Barat yang
mendasari pendidikan tinggi mereka. Keunggulan Barat yang setiap hari mereka
saksikan di bangku sekolah itu kemudian menimbulkan rasa rendah diri dan akibat
kebencian terhadap mahasiswa-mahasiswa Belanda yang dilihat sebagai ahli waris
sesungguhnya dari ilmu dan teologi Barat. Inilah yang menyebabkan mahasiswa
Indonesia enggan bergul dengan mahasiswa Belanda.
Menurut Dr. Leimena situasi ini tepat sekali tetapi
argumen-argumen yang dipakai untuk menerangkan sebab-musabab situasi itu tidak
benar. Ia membenarkan adanya perbedaan-perbedaan keadaan kejiwaan antara
orang-orang timur dan orang-orang Barat. Orang-orang Barat, terutama kaum
intelektualnya, sangat rasional. Unsur emosi selalu dikesampingkan bila
berhadapan dengan orang lain. Unsur ini tidak memainkan peranan apapun bila
mereka mengambil keputusan-keputusan penting. Sebaliknya, bagi orang-orang
Timur unsur emosi sangat penting disamping unsur rasionalitas. Selain itu
sebagai bangsa yang terjajah dan rendah keadaan sosial-ekonominya, orang-orang
Timur sering bersifat tertutup terhadap orang-orang Barat yang dilihat
sebagai penjajah dan secara materil berlimpah. Namun ciri-ciri seperti
itu menurut Dr. leimena, janganlah disimpulkan sebagai manifestasi dari keadaan
rendah diri saja.
Sekalipun mengecam masyarakat Belanda di masa
penjajahan, ia samasekali tidak menutup mata terhadap keadaan yang jauh dari
sempurna di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Sikap kritis ini, baik
terhadap pihak-phak yang bertentangan dengannya maupun dengan pihak-pihak yang
termasuk golongannya sendiri, bukanlah sesuatu yang aneh dalam diri Dr.
Leimena. Gerakan Oikumene memang mengajurkan agar sikap kritis senantiasa
dipakai untuk menilai suasana kemasyarakatan. Umat Kristen diharuskan berdiri
dengan teguh di tempat yang telah ditentukan Tuhan bagi mereka.
Aspirasi-aspirasi politik yang membela kemerdekaan dan keadilan perlu mendapat
perhatian. Tetapi sejajar dengan itu mereka juga dianjurkan menjamin
kelangsungan keyakinan Kristen mereka di tengah-tengah suasana yang mungkin
tidak Kristen, tetapi juga bisa menghindarkan munculnya sikap sombong, angkuh
yang bertentangan dengan moral Kristen.
Dalam hubungan ini menarik untuk melihat pandangannya
mengenai sebab-musabab perkembangan pergerakan nasional dan peranan Umat
Kristen di dalamnya. Pendapat seseorang mengenai sebab-sebab timbulnya
pergerakan nasional mungkin bisa pula menerangkan pandangan orang tersebut
tentang sejarah Indonesia. Bila kita membaca tulisan Dr. Leimena yang
diterbitkan pada tahun 1936 maka jelaslah pula faktor-faktor apa yang dianggap
dominan dalam masyarakat Indonesia pada paroh pertama abad ke-20. Menurut
pikirannya ketika itu, gerakan kebangsaan timbul karena reaksi
kelompok-kelompok masyarakat tertentu terhadap lingkungannya. Pertama-tama,
reaksi kelompok itu terhadap perkembangan di wilayah-wilayah lainnya di Asia.
Perubahan-perubahan konstelasi politik di India, Turki, Jepang, Cina,
Philippina, dan lain-lain, menyadarkan kelompok-kelompok tertentu di Indonesia
tersebut akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan pula oleh pemerintah
colonial di negeri mereka. Selain itu, pemerintah colonial sejak awal abad
ke-20 memang telah mulai mengadakan perubahan-perubahan yang sangat menentukan
dalam konstelasi desentralisasi (1903), yang memungkinkan timbulnya dewan-dewa
kota dan dewan-dewan daerah, yang juga beranggautakan pemuka-pemuka masyarakat
setempat. Denga cara ini bangsa Indonesia mendapat kesempatan untuk turut
menentukan perkembangan masyarakatnya, Peranan ini meningkat lagi dengan
terbentuknya Volksraad (1918) yang mencakup wakil-wakil dari seluruh Hindia
Belanda. Patut disebut disini, bahwa perubahan-perubahan lain seperti
usaha-usaha meningkatkan kemakmuran, pendidikan, dan lain-lain kegiatan dalam
bidang sosial. Seorang pejabat Belanda pernah mengemukakan, bahwa
perubahan-perubahan yang diprakarsai pemerintah jajahan dalam dasawarsa pertama
abad ke-20 jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang mereka buat selama
300 tahun sebelumnya.
Perubahan-perubahan inilah, menurut pendapatnya,
memungkinkan timbulnya gerakan-gerakan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Ambon dan
lain-lain organisasi yang terbatas pada salah satu sukubangsa saja.
Gerakan-gerakan ini kemudian disusul oleh gerakan-gerakan lain yang menjangkau
lebih dari satu suku bangsa. Ada kelompok-kelompok yang bersifat radikal
seperti yang tergabung dalam Perhimpunan Partai-Partai Politik Indonesia
(PPPKI), ada pula yang moderat dan ada pula yang konservatif. Gerakan yang
moderat seperti Parindra hanya menekankan tindakan-tindakan konstruktif seperti
mendirikan perkoperasian, dan lain-lain. Bertentangan dengan golongan radikal,
yang senantiasa mengecam politik pemerintah jajahan, golongan moderat bekerja
tanpa banyak bicara (kritik terhadap pemerintah). Selain itu golongan radikal
juga lebih banyak berbicara tentang perubahan-perubahan masyarakat secara
menyeluruh, sedangkan golongan moderat menginginkan perubahan-perubahan secara
bertahap. Golongan konservatif sebagaian besar ingin mempertahankan keagungan
feodal dan mendekatkan kebudayan feodal dengan kebudayaan Barat.
Sebab-sebab timbulnya gerakan kebangsaan yang
dikemukakan Dr. Leimena mengingatkan kita pada falsafah sejarah Arnold Toynbee
yang menjadi terkenal dalam tahun-tahun 1950-an. Menurut ahli sejarah Inggris
ini, timbulnya sistem-sistem budaya yang agung di lembah sungai Nil, sungai
Mesopotamia, sungai Indus, sungai Yangtze, dan lain-lain disebabkan jawaban
yang tepat yang diberikan masyarakat terhadap kemungkinan-kemungkinan alamiah.
Tetapi munculnya peradaban itu hanya mungkin bila tantangan yang diberi oleh
lingkungan alam tidak terlalu kejam dan masih dalam jangkauan kemampuan manusia
untuk menanggulanginya. Sekali pun tidak sama benar, di sini ada para elisme
antara kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh pihak Belanda
(perubahan-perubahan konstelasi politik, dalam penglihatannya) dan jawaban yang
diberi oleh pelbagai kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Secara tegas baru
dalam tahun-tahun 1950-an Dr. Leimena menyatakan kekagumannya atas teori
tantangan-jawaban dari Toynbee itu.
Dalam tulisan tersebut di atas Dr. Leimena
mengemukakan juga pergumulan CSV di tengah-tengah pergerakan kebangsaan itu.
Sekalipun dalam hal tujuan tidak ada perbedaan yang besar antara golongan tua
dan generasi muda di tahun-tahun 1930-an, namun dalam cara bekerja sering ia
menyadari adanya perbedaan-perbedaan penting. Golongan muda terutama dari
kalangan mahasiswa, sering menggunakan cara-cara yang belum matang.
Konsep-konsep mereka sering diambil dari buku-buku pelajaran dan diterapkan
secara praktis tanpa memperhatikan adanya nuansa-nuansa tertentu dalam situasi.
Umpamanya sikap gerakan mahasiswa pada umumnya terhadapa CSV kurang realistis.
Gerakan mahasiswa pada umumnya kurang bersedia bekerja sama dengan CSV karena
menghadapi kenyataan adanya pimpinan Belanda di dalam gerakan mahasiswa Kristen
itu. Mereka tidak menyadari bahwa di kalangan Kristen, yang dianggap bagian
masyarakat yang paling dekat dengan pihak penjajah, adapula permasalahan-permasalahan
yang sering tidak nampak bagi orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk
organisasi mahasiswa Kristen itu. Dalam kenyataannya anggauta-anggauta CSV
sebagian besarnya juga mengalami pergumulan-pergumulan dengan problema
kolonialisme, penjajahan, ketidakadilan dan lain-lain.
Kurangnya pengertian terhadap CSV dari kalangan
masyarakat luas ini mungkin disebabkan tidak adanya program politik di dalam
perencanaa CSV. Hal ini diakuinya juga. Tetapi ia menandaskan dalam tulisan
tersebut, bahwa tugas CSV terutama adalah menyadarkan anggauta-anggautanya akan
Kekristenan mereka; tugas penginjilan, tanpa mengabaikan lingkungan masyarakat
di mana anggauta-anggautanya hidup.
Situasi umat Kristen Indonesia dalam perspektif
pegerakan nasional di tahun-tahun 1930-an menimbulkan rasa prihatin pada diri
Dr. Leimena. Masyarakat Kristen di Indonesia pada masa itu pecah belah dalam
menghadapi permasalahan pergerakan kebangsaan. Satu golongan tertentu menolak
sama sekali dan mengidentifikasikan dirinya dengan kekuasaan colonial. Secara
sadar atau tidak mereka menginginkan kelangsungan sistem colonial. Golongan
konservatif ini menganggap pergerakan kebangsaan sebagai suatu perbuatan yang
menodai agama Kristen. Bagi mereka agama Kristen yang diintrodusir oleh pihak
penjajah menjamin kedudukan-kedudukan dan penghasilan yang baik. Semboyan
politik, kalaupun mereka berpolitik, yang disenangi adalah “ketertiban”. Segala
perubahan, apalagi perubahan menguntungkan gerakan persatuan nasional, dianggap
merugikan kepentingan-kepentingan duniawi dan rohani. Lapisan inilah yang
paling tebal di kalangan masyarakat Kristen di masa penjajahan.
Selain itu ada suatu golongan yang tidak terlampau
banyak jumlahnya yang bisa mengerti aspirasi-aspirasi persatuan bangsa
Indonesia. Mereka melihat bahwa gerakan ini mempunyai masa depan baik. Mereka
merasakan kepincangan-kepincangan yang ada dalam masyarakat colonial dan
melihat pergerakan kebangsaan sebagai suatu koreksi terhadap
kepincangan-kepincangan itu. Sekalipun demikian mereka tidak berani
berpatisipasi dalam gerakan yang sedemikian kuatnya dalam bagian pertama dari
abad ke-20. Sebabnya bersifat pribadi. Mereka tidak bisa mendamaikan aspirasi
kebangsaan dengan ajaran-ajaran kitab suci yang selama ini mereka ketahui.
Golongan ini belum berkenalan dengan gerakan raksasa lainnya yang juga
berkembang di bagian pertama abad ke-20, yaitu gerakan Oikumene. Kebanyakan
dari golongan ini adalah pemuda-pelajar ataupun pegawai-pegawai yang menerima
agama Kristen sebagai tuntunan hidup pribadi saja. Mereka tidak menyadari
aspek-spek intelektual yang dikembangkan oleh CSV umpamanya.
Kemudian masih ada golongan lainnya, yaitu mereka yang
menerima gerakan persatuan kebangsaan dengan mengesampingkan agama Kristen yang
mereka peroleh dari keluarga mereka. Orang-orang Kristen yang terdapat dalam
Sarekat Ambon, Jong Ambon, dan partai-partai politik seperti Parindra dan
lain-lain termasuk dalam golongan ini. Ketegangan antara agama Kristen yang
diperoleh dari rumah, dengan pergerakan nasional yang nampak ketika mereka
berkecimpung dalam masyarakat, tidak bisa didamaikan. Jembatan yang dibangun
oleh Oikumene tidak mereka kenal. Dari orang-orang Kristen yang baik, mereka
beralih menjadi nasionalis-nasionalis yang baik, tanpa melihat kemungkinan
merangkaikan keduanya secara bertanggung jawab. Dalam perkataan-perkataan Dr.
Leimena: “Politik telah menjadi religi mereka.” Pada kalangan inilah CSV
menyerukan, bahwa Kekristenan tidak sama dengan penjajahan.” Sebagai orang
Kristen mereka berada dalam dua dunia sekaligus, yaitu bangsa Indonesia dan
“kerajaan Allah.” Pandangan sedemikian memang menimbulkan
ketegangan-ketegangan. Namun karena kedua-duanya sama-sama pemberian Tuhan,
maka adalah kewajiban seorang Kristen untuk menggumuli setiap situasi yang
dihadapinya tanpa mengorbankan salah satu anugerah Tuhan itu. Menjadi orang
Kristen memang tidak mudah, tetapi menjadi pengikut Kristus dan sekaligus
menjadi seorang Indonesia, lebih sulit lagi. Tetapi menurut keyakinan Dr.
Leimena pergumulan inilah satu-satunya jalan terhormat bagi setiap orang
Kristen yang bertanggung jawab pada Tuhan maupun masyarakat.
Tidak saja masyarakat Kristen disorot oleh Dr. Leimena
dari sudut perspektif pergerakan nasional, tetapi seluruh situasi di
tahun-tahun 1930-an itu dilihatnya dari sudut Oikumene dan pergerakan nasional.
Baginya masa itu ditandai dengan kemerosotan kehidupan politik di Eropa.
Munculnya kekuasaan-kekuasaan fasisme di Jerman dan di Italia baginya merupakan
tanda-tanda kemunduran kebudayaan Barat. Negara-negara yang dikendalikan Hitler
dan Musolini dengan mengandalkan kekuasaan semata-mata, tanpa mengindahkan hak
asazi manusia adalah sesuatu yang bertentangan dengan ciri-ciri umum kebudayaan
Eropa yang dikenal sebelumnya. Mundurnya demokrasi sebagai suatu tatakrama
politik dan sebagai pandangan hidup adalah gejala yang sangat disesalkan.
Kebudayaan Barat yang “mencanangkan kebebasan jiwa dan kebebasan individu”
mendapat gempuran-gempuran bukan saja di negara-negara fasis, tetapi juga di
Perancis dan Belanda sendiri.
Banyak teori-teori yang telah dikemukakan mengenai
mundurnya kebudayaan Barat di tahun-tahun 1930-an itu. Buku dari ahli filsafat
Spengler yang berjudul Der Untergang Des Abendlandes dengan teori
perkembangan sejarah yang mengikuti siklus biologis manusia, sudah dikenalnya
pula. Namun semua keterangan mengenai kemunduran kebudayaan Eropa itu
ditolaknya. Menurut pendapat Dr. Leimena, kemunduran itu disebabkan satu hal
saja, yaitu memudarnya keyakinan Kristen di dalam masyarakat Eropa. Sebagai
contoh dibahasnya pengertian demokrasi. Dasar demokrasi yang paling kuat dan
yang telah dilupakan Eropa adalah dasar yang diberi oleh Kristus sendiri. Dalam
Galatia 5 pasal 14, umpamanya, tekanan diletakkan pada saling kasih mengasihi.
Inilah landasan demokrasi yang paling kuat. Dengan perasaan atau sikap
sedemikian kerjasama dalam bidang politik atau pun kerjasama dalam
bidang-bidang lainnya bisa berjalan dengan baik.
Mundurnya demokrasi di Eropa disesalkannya karena,
menurut pendapatnya, pengalaman yang sedemikian lama dan berharga mengenai
demokrasi di sana, sebenarnya bisa dijadikan suri-tauladan bagi kehidupan
politik di Indonesia. Yang dimaksudkan di sini terutama adalah tradisi
menyelesaikan masalah politik tanpa menggunakan kekerasan yang sudah
dikembangkan di Eropa selama beberapa abad. Segi inilah dari demokrasi Barat
yang bisa dimanfaatkan pula oleh bangsa Indonesia yang mulai berpolitik itu.
Namun ada segi lain dari demokrasi Barat yang perlu diperhatikan dengan kritis.
Menurut pandangannya masyarakat Barat tidak pernah mengalami masa penjajahan
seperti bangsa Indonesia. Sebab itu permasalahan-permasalahan yang muncul dari
situasi penjajahan tidak pernah dipergumulkan dalam sejarah demokrasi di Eropa.
Suatu ciri yang pokok di masa penjajahan adalah, umpamanya, keadaan kemiskinan
yang sangat merata di dalam masyarakat Indonesia. Kemunduran-kemunduran dalam
bidang sosial dan ekonomi inilah yang tidak terasa oleh masyarakat Eropa. Sebab
itu, menurut Dr. Leimena, dalam mengambil unsur-unsur demokrasi Eropa tersebut,
hendaklah dipertimbangkan kenyataan sejarah di Indonesia. Berhubungan dengan
inipula Dr. Leimena membantah pendapat-pendapat yang sedang popular di kalangan
konservatif bahwa demokrasi hanya bisa dipraktekkan dalam masyarakat-masyarakat
tertentu saja. “Saya yakin bahwa demokrasi pada suatu bangsa dan jaman akan
berlainan bentuknya dengan demokrasi pada bangsa lainnya sejalan dengan
kemampuan-kemampuan masing-masing bangsa dan jaman di mana mereka hidup.”
Dalam tahun-tahun terakhir masa penjajahan, tatkala
Eropa telah dilanda peperangan, dan kemungkinan peperangan di Indonesia pun
sudah dilihat banyak orang, ia mengajukan suatu usul kepada pihak pemerintah
penjajahan. Hal inilah yang dilakukannya pada kesempatan memberi prasaran pada
Konperensi pemuda Kristen Indonesia yang ke-7 di Salatiga pada tahun 1940. Pada
kesempatan itu ia mecoba meyakinkan masyarakat Belanda di Indonesia, bahwa di
kalangan bangsa Indonesia ada pula pendapat-pendapat yang menganjurkan
kerjasama dengan pihak Belanda. Tetapi kerjasama ini harus melalui suatu wadah
tertentu. Mungkin di sini ia sedang berpikir mengenai usul-usul golongan GAPI
(Gabungan Politik Indonesia) yang juga menyerukan agar Volksraad ditingkatkan
menjadi suatu parlemen yang sesungguhnya. Semboyan yang mereka
dengung-dengungkan adalah “Indonesia Berparlemen.”
Namun bagi Dr. Leimena kerjasama politik belum cukup.
Perlu dicari saluran-saluran untuk memungkinkan kerjasama dalam bidang
kebudayaan. Untuk hal ini ia mengusulkan perbaikan sistem pendidikan. Sistem
pendidikan harus memungkinkan siswa-siswa menghayati kebudayaan Timur disamping
kebudayaan Barat. Melalui saluran inilah bisa dicapai suatu pengertian antara
kedua bangsa di Indonesia.
Dengan demikian jelas sudah, bahwa pada tahun-tahun
terakhir masa penjajahan Hindia Belanda, Dr. Leimena dapat digolongkan pihak
“cooperatie” dalam spectrum politik pergerakan nasional. Banyak
persamaan-persamaannya dengan tokoh-tokoh Parindra seperti Thamrin dan Dr.
Sutomo yang moderat, serta tokoh-tokoh Gerindo seperti kawan lamanya, Mr. Amir
Syarifuddin yang radikal.
III
PENDERITAAN DAN PERJUANGAN
Setahun sebelum Belanda menyerah tanpa syarat kepada
bala tentara Dai Nippon, Dr. Leimena dipindahkan dari Bandung ke Rumah Sakit
Zending Bayu Asih di Purwakarta. Pemindahan ini juga berarti suatu promosi
karena di tempat kerja yang baru itu, ia diserahkan jabatan direktur rumah
sakit. Seperti halnya di Bandung, di Purwakarta pun ada apa yang kemudian
dikenal dengan nama referral-sistem, yaitu suatu sistem kuratif yang terdiri
atas suatu rumah sakit pusat di dalam kota yang menunjang sejumlah poliklinik
yang tersebar di daerah pedesaan sekitar kota itu. Pengalaman-pengalamannya di
Bandung banyak membantu Dr. Leimena untuk menangani tugas yang berat itu.
Pendudukan Jepang sebenarnya tidak mengubah kedudukannya
sebagai pimpinan rumah sakit. Mula-mula memang pihak tentara Jepang menduduki
Bayu Asih untuk keperluan-keperluan mereka sendiri, tetapi kemudian Dr. Leimena
menerima kembali pimpinan rumah sakit itu. Namun beberapa bulan kemudian, pada
tahun 1943, ia ditangkap pihak Kenpeitai dan dipenjarakan di kantor pusat
mereka yang terletak di bekas gedung Rechts Hogeschool di Jl. Merdeka Barat
(sekarang dipakai Hankam). Dr. Leimena sendiri tidak mengerti benar sebab-sebab
tindakan pihak Jepang itu. Ia mengemukakan dua kemungkinan. Pertama,
hubungannya dengan Mr. Amir Syarifuddin. Beberapa waktu sebelum ditangkap ia
pernah ke Jakarta dan antara lain bertemu dengan kawan lamanya itu yang
diketahuinya banyak membantu umat Kristen di Jakarta. Sekembalinya di Purwakarta
ia mendapat kabar tentang penangkapan Amir oleh pihak Kenpeitai dengan tuduhan
mengadakan kegiatan mata-mata untuk pihak sekutu. Pada waktu itu Amir telah
dijatuhi hukuma mati. Hanya dengan perantaraan Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad
Hatta yang pada waktu itu sangat dibutuhkan Jepang, Amir tidak jadi dibunuh.
Hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup. Menurut dugaanya, mungkin
sekali pihak Kenpetai menghubung-hubungkan kunjungannya kepada Amir tersebut
dengan gerakan bawah tanah itu. Kemungkinan kedua, menurut dugaan Dr. Leimena
pula, adalah kegiatannya sendiri sebagai direktur rumah sakit di Purwakarta.
Pada saat ditangkap itu ada beberapa orang tentara Belanda yang dirawat di
sana. Mereka diangkut dalam keadaan luka-luka parah dari Kalijati di mana
pernah terjadi pertempuran yang cukup seru antara pihak Belanda dan Jepang.
Kedatangan mereka sudah barang tentu tidak dapat ditolaknya. Namun, sekali pun
kehadiran mereka di Bayu Asih dapat disembunyikan sebaik mungkin, pada akhirnya
perbuatan itu tercium juga oleh Kenpetai.
Pengalaman dalam penjara Kenpetai merupakan
penderitaan yang sangat berat baginya. Teman-temannya yang melihatnya kemudian
setelah ia dibebaskan kembali, mengatakan bahwa secara fisik ia rusak. Di
pergelangan tangannya nampak bekas-bekas luka, mungkin disebabkan kawat listrik
yang biasanya ingin dikatakannya. Namun apa yang dialaminya selama kira-kira
sekitar enam bulan dalam kurungan Kenpetai itu tidak pernah diceritakannya
kepada siapapun. Ruapnya pihak Kenpetai melarang setiap bekas tahanannya untuk
menceritakan apa yang mereka alami selama di tahanan kepada siapapun.
Sebenarnya sejak ditahan ia tidak yakin akan hidup
terus. Apapun sebab-sebab yang dijadikan alasan oleh pihak Kenpetai untuk
menahannya, ia pasti tidak akan dibebaskan lagi. Tuduhan menjadi mata-mata
untuk kepentingan pihak musuh cukup berat dalam situasi perang. Sekali pun
dalam kenyataannya ia tidak pernah menjadi anggauta gerakan semacam itu, namun
di kalangan tertentu dari masyarakat Maluku kegiatan semacam itu jelas ada.
Salah satu gerakan bawah tanah pada waktu itu dipimpin oleh Dr. Kajadu, bekas
anggauta Sarekat Ambon. Sarekat Ambon, seperti halnya semua organisasi lainnya
yang muncul dalam masa penjajahan Belanda, dibubarkan tentara Jepang segera
setelah mereka menguasai keadaan di Indonesia. Untuk kepentingan-kepentingan
perang para pemuka masyarakat diizinkan membentuk organisasi-organisasi sosial
di kalangan kelompok-kelompok etnis di kota-kota besar di Jawa. Badan
pertolongan Ambon-Timor (Bapati), yang dibentuk di kalangan masyarakat Ambon
dan Timor, adalah salah satu diantaranya yang dipimpin oleh para pemimpin
masyarakat. Tokoh-tokoh dari masa sebelum perang seperti Dr. Kajadu, Mr.
Latuharhary, Nunu Sjaranamual, Piet de Quelyu, dan lain-lain diakui sebagai
pemimpinnya. Dr. W.Z. Johannes mewakili masyarakat Timor. Sekalipun organisasi
ini secara resminya adalah orrganisasi penghubung antara pihak penguasa dan
pihak masyarakat, dan sekaligus juga dipercayakan untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan sosial-ekonomis masyarakat Ambon dan Timor, tidak dapat
disangkal bahwa banyak diantara pemimpin dan anggautanya menggunakannya sebagai
kedok untuk gerakan bawah tanah. Segi ini kemudian terkenal dengan julukan
“Gerakan Kajadu” karena dipimpin oleh Dr. Kajadu. Entah bagaimana,
gerakan ini akhirnya diketahui pihak Kenpetai. Seluruh pimpinan Bupati yang
berasal dari masyarakat Ambon ditangkap dan disiksa. Rupanya oleh karena
siksaan-siksaan itu akhirnya pihak Kenpetai mengetahui siapa pemimpinnya. Dr.
Kajadu kemudian dibunuh sebagai mata-mata musuh. Mungkin, mengetahui hubungan
Dr.Leimena dengan pemimpin-pemimpin masyarakat Maluku inilah ia mengalami
siksaan berat. Kemudian kedua, yaitu mengasuh tentara musuh, sudah barang tentu
juga memberatkannya. Ini pun bisa menyebabkannya mengalami siksaan itu. Apa pun
sebab yang sebenarnya pihak Kenpetai sudah memutuskan untuk tidak membiarkannya
hidup terus.
Namun suatu kejadian yang tidak terduga
menyelamatkannya. Pada suatu saat pimpinan Kenpetai itu jatuh sakit. Salah
seorang diantara anggauta stafnya teringat, bahwa diantara para tahanan ada
seorang dokter yang sudah terkenal. Dengan demikian Dr. Leimena diperintahkan
untuk menghadap. Setelah diperiksanya perwira Jepang tersebut nampak gejala
penyakit malaria. Tetapi untuk mendapat kepastian ia minta pada pihak Jepang
agar perwira itu diperiksa di laboratorium. Ini menimbulkan masalah lagi.
Tetapi kebetulan di salah satu ruangan gedung itu tersimpan peralatan
laboratoriuum dari seorang dokter Belanda dari Jl. Raden Saleh yang diangkut ke
sana bersama dokternya. Sebuah mikroskop yang masih utuh tersusun di antara
pelbagai botol-botol kimia, diantaranya cairan-cairan yang diperlukan untuk
menganalisa darah. Namun pihak Jepang masih belum percaya kebenaran
diagnosanya. Dengan perantaraan sebuah gambar dari salah satu buku kedokteran
yang juga terdapat di situ, keraguan ini akhirnya bisa dilenyapkan. Dengan
demikian obat yang diperlukan juga bisa dicari dan perwira itu pun akhirnya
sembuh kembali. Rasa terimakasih komandan Kenpetai itu tidak terbatas. Selain
memberi kebebasannya, Dr. Leimena juga menerima sebuah bungkusan yang berisi
barang-barang keperluan yang pada saat itu sulit diperoleh di luar seperti
sabun, korek api, singlet, celana dalam, dan lain-lain.
Selama berada dalam tahanan, keluarga Dr. Leimena yang
ditinggalkan sama sekali tidak mengetahui tempt ia ditahan, apalagi keadaannya.
Selama itu mereka mengungsi Garut, di tempat saudara Ibu Leimena, R. Aju
Poernamaningrat. Sebelum bertemu kembali dengan keluarganya di Garut. Dr.
Leimena telah melaporkan diri kepada dr. Surono yang pada waktu itu menjabat
kepala dinas kesehatan Jakarta (termasuk Tangerang). Ia dianjurkan agar jangan
kembali ke Bayu Asih lagi dan menjadi dokter pemerintah saja di salah satu
“rumah sakit” di Tangerang.
Sebenarnya “rumah sakit” di Tangerang itu lebih tepat
dikatakan sebuah poliklinik yang besar dengan fasilitas-fasilitas untuk rumah
sakit kecil. Ketika Dr. Leimena sekeluarga tiba di sana keadaan gedung dan
kegiatannya sudah tidak teratur. Tetapi hal ini rupanya samasekali tidak
mematahkan semangatnya. Situasi itu lebih banyak dilihatnya sebagai suatu
tantangan bagi diri pribadinya. Dengan susah payah rumah sakit itu dibangunnya
kembali sehingga bisa berfungsi secara normal dan berguna bagi masyarakat
sekelilingnya. Rupanya kegiatan ini banyak menolong keadaan dirinya yang secara
fisik sangat menderita itu. Optimisme yang mendasari kegiatan medisnya, serta
keyakinan yang teguh pada anugerah Tuhan memberi kegembiraan pada diri
pribadinya dan dengan demikian menggairahkannya untuk mengabdi kepada sesama
manusia di saat-saat yang sulit itu
Perubahan-perubahan dalam situasi perang di Pasifik
sebenarnya sudah diketahuinya semenjak awal Agustus 1945. Seorang teman yang
mempunyai hubungan dengan “radio gelap (gerakan bawah tanah) selalu
memberitahukan berita-berita tentang kemunduran tentara Jepang di arena Perang
Pasifik. Sekitar tanggal 10 Agustus ia mendapat berita bahwa pasukan Amerika
Serikat telah tiba di Laut Cina Selatan. Kemudian pada tanggal 15 dan 16
Agustus datang berita, bahwa kota-kota Jepang sudah dibom. Yang dimaksud di
sini tentu bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. Lalu tersiar
kabar dari mulut ke mulut, bahwa beberapa hari lagi akan terjadi sesuatu. Pada
tanggal 17 Agustus datang berita dari Jakarta tentang proklamasi kemerdekaan.
Rapat umum di Ikada tanggal 19 Agustus pun diketahuiya karena nampak rakyat
berbondong-bondong di jalan-jalan. Tidak lama kemudian terjadilah kekacauan di
Tangerang.
Pada bulan-bulan pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan
terjadi pergolakan-pergolakan di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra yang
sering secara popular dinamakan “revolusi sosial”. Salah satu gerakan semcam
ini yang berpusat di Banten menjalar pula ke Tangerang. Gerakan ini diduga ada
hubungannya dengan usaha-usaha Tan Malaka yang kembali ke Jakarta melalui
Banten pada tahun 1945 setelah merantau di luar negeri akibat hukuman buang
sejak tahun 1922. Pengikut-pengikutnya beranggapan bahwa tokoh-tokoh pemerintah
daerah yang terdiri dari bupati, wedana, camat, lurah, dan lain-lain adalah
bekas kakitangan Belanda. Selain itu mereka juga disalahkan karena bekerjasama
dengan pihak Jepang dan dianggap bertanggungjawab atas kesengsaraan yang
dialami bangsa Indonesia di kala itu. Oleh sebab itu anggauta-anggauta
pamongpraja itu diganti dengan orang-orang mereka sendiri. Hal ini tidak jarang
dilakukan dengan kekerasan senjata.
Di Tangerang dibentuk pula bagian “Republik Soviet
Indonesia” dengan Kiyai Achmad yang digelari “Bapak-Rakyat” sebagai pemimpinnya.
Sebenarnya nama Dr. Leimena telah tercantum pula dalam daftar mereka untuk
dibunuh atau disingkirkan bersama orang-orang lain yang tidak dapat mereka
percayai. Namun, sekali lagi profesinya berhasil menolong jiwanya. Kebanyakan
dari pemimpin-pemimpin baru itu adalah bekas pasiennya sehingga banyak yang
mengenalnya secara pribadi. Sikapnya yang ramah terhadap setiap orang tanpa
memandang kedudukan, kebiasaannya menggunakan bahasa Sunda bila berbicara
dengan penduduk desa, dan kemampuannya sebagai dokter, rupanya menjadikannya di
mata orang-orang itu sedikit berlainan dengan orang-orang lain yang mereka
anggap “musuh rakyat”.
Dengan sifat kepribadian yang demikian tidaklah
mengherankan bila “Bapak Rakyat” bersedia mengangkatnya menjadi penasehatnya. Kedudukan
ini pun diperolehnya dengan cara kebetulan. Pada suatu ketika seorang putra
dari “Bapak Rakyat” menderita suatu penyakit tertentu. Dr. Leimena didatangkan
dan berhasil menyembuhkan penyakitnya. Di tengah percakapan dengan “Bapak
Rakyat” Dr. Leimena melihat setumpukan wang yang aneh yang rupanya dikeluarkan
oleh pemerintah “Bapak Rakyat”. Selanjutnya ia mendapat perlakuan yang
istimewa. “Bapak Rakyat” yang telah menggantikan Bupati di kantor kabupaten
Tangerang itu memberi keluasan padanya untuk membicarakan segala kesulitan
ataupun rencana-rencana kegiatan rumah sakit pada “pemerintahnya“ melalui
sekretarisnya. Kebetulan sekretatris itupun pernah dikenalnya pula. Pertama
kalinya Dr. Leimena diundang pada suatu kenduri ketika Kepala Intel melangsungkan
perkawinannya (entah yang keberapa). Ia sudah akrab dengan pejabat-pejabat
lainnya. Kepala Polisinya adalah seorang yang pernah dikenalnya sebagai Kepala
Jaga di Rumah Sakit. Tentara “Republik Soviet Indonesia” berseragam hitam.
Kepala intelnya sendiri menggunakan semacam calana midi yang ternyata dibuat
dari kain meja bilyard.
Sebagai seorang yang tugas formalnya adalah dokter,
segi-segi kemasyarakatan ini diterimanya dengan sabar. Pada suatu ketika di
awal Oktober beberapa perwira bekas Peta menemuinya secara diam-diam. Mereka
menerangkan padanya bahwa “Bapak Rakyat” dengan tentara hitamnya tidak bersedia
mengakui pemerintah yang syah. Selanjutnya mereka minta agar Dr. Leimena
membantu menertibkan keadaan di Tangerang. Pada waktu itu antara lain nampak
Subandrio, Daan Jahya, dan Singgih. Permintaan ini diterima dan sejak saat itu
mereka mendapat perlindungan dari seorang yang justru sangat dipercaya oleh
pihak lawan. Secara bergurau Dr. Leimena kemudian mengatakan “saya jadi
penasehat untuk kedua belah pihak.”
Sebelumnya di daerah Tangerang telah ada
kegiatan-kegiatan yang diprakarsai Jepang. Sebelum terbentuk Peta pada tahun
1943 beberapa orang pemuda pernah dilatih di sini oleh Yanagawa, seorang
perwira intel Jepang, antara lain Zulkifli Lubis. Kemudian setelah terbentuknya
Peta (Pembela Tanah Air) dibentuk pula suatu battalion di Cikampek yang juga
mencakup daerah ini. Dengan bantuan Dr. Leimena bekas anggauta Peta itu
akhirnya bisa mendapat gedung yang sebelumnya dijadikan penjara untuk anak-anak
nakal (Pro Juventute). Tempat itu dijadikan suatu Akademi Militer dengan
pimpinan Daan Mogot, seorang bekas perwira Peta, dan Singgih sebagai komandan
Resimen. Kepada “Bapak Rakyat“ ia menerangkan, bahwa pasukan itu bermaksud
melindungi pemerintahnya. Tetapi di saat Dr. Leimena berbicara dengan “Bapak
Rakyat” di rumahnya, di kamar belakang selalu ada seorang anggauta TKR yang
turut mendengar dengan diam-diam. Di bawah hidung “Bapak Rakyat” para pemuda
itu mulai menyiapkan rencana-rencana untuk memulihkan ketertiban di Tangerang.
Pasukan-pasukan dan senjata yang didatangkan dari Jakarta itu akhirnkya dipakai
untuk menumpas gerakan “Bapak Rakyat” bersama Kepala Staf, Kepala Intel dan
Kepala Polisinya serta seluruh “Republik Soviet Indonesia”. Kemudian Akademi
Militer Tangerang menyiapkan penyerbuan ke Lengkong, tempat penimbunan senjata
Jepang. Dalam usaha ini pun nasehat-nasehatnya dimintakan. Ia menekankan agar
pemuda berhati –hati karena Jepang cukup kuat di sana. Penyerbuan ini, seperti
yang dapat kita baca dalam sejarah, gagal. Daan Mogot dan sejumlah kadet gugur
di sana. Letnan Jendral Kemal Idris salah seorang yang berhasil lolos dari
tembakan-tembakan Jepang , berpendapat bahwa nasehat-nasehat yang diberi Dr.
Leimena untuk menghadapi terorisme di Tangerang tidak pernah dilupakan para
perwira yang lulus dari Akademi Militer itu. Melalui pengalamannya di Tangerang
Dr. Leimena beruntung bisa mengenal perwira-perwira Indonesia yang pertama
dihasilkan di sana dan kemudian disebar di pelbagai tempat di tanah air. Ini
pun mungkin merupakan salah satu sebab mengapa ia kemudian diangkat sebagai
Ketua Delegasi Militer dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Oom Yo
tidak pernah melupakan mereka. Di mana pun ia berjumpa dengan salah seorang
perwira lulusan Tangerang, ia selalu menyapa terlebih dahulu. Perhatiannya
kepada mereka selama Perang Kemerdekaan seperti nampak dalam
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya kepada mereka mengenai keadaan pribadi
atau keluarga atau kawan seperjuangan lainnya membuatnya seseorang yang sangat
menonjol perasaaan setiakawannya. Perasaan inilah yang menjadi pengikat utama
antara Oom Yo dengan sahabat-sahabatnya sejak Perang Kemerdekaan, sehingga
sekalipun kemudian karena perbedaan-perbedaan politik mereka tidak lagi sejalan,
namun masih terasa suatu ikatan persahabatan antara mereka.
Hubungan persahabatan jugalah yang mungkin merupakan
faktor utama yang menjembatani Dr. Leimena ke dalam lingkungan tinggi dalam
pemerintahan RI. Sebelum terbentuknya Kabinet Syahrir yang kedua (Maret 1946)
ia pernah menerima telepon dan kunjungan dari Mr. Amir Syarifuddin yang dalam
Kabinet Syahrir pertama menjadi Menteri Penerangan. Kemudian Sutan Syahrir pun
berkali-kali meneloponnya agar ia mau menerima kursi Menteri Muda Kesehatan
dalam kabinet keduanya, Mula-mula Dr. Leimena menolak. Ia berpendapat bahwa
tugasnya di Tangerang lebih penting. Amir membantahnya, “ . . . itu nanti saja,
sekarang kita sedang berjuang. . . “. Akhirnya Sutan Syahrir mengirimkan sebuah
mobil untuk menjemputnya ke Jakarta di bawah Menteri Kesehatan Dr. Darma
Setiawan.
Dalam sejarah ia selalu dikenal sebagai menteri dari
Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Sebenarnya jauh sebelum terbentuknya
partai itu ia ia telah berhubungan dengan beberapa pemuda dari kalangan Kristen.
Di antara para mahasiswa dari asrama Ika Dai Gaku (Fakultas Kedokteran dalam
masa pendudukan Jepang) ada beberapa yang berasal dari kalangan Kristen. Frans
Pattiasina (kemudian menjadi dokter militer dengan pangkat Brigadir Jenderal),
Piet Mamahit (sekarang Brig.Jen.), Siddharta, dan lain-lain pernah ikut
menyiapkan proklamsi bersama-sama penghuni lainnya dari Prapatan 10 (sekarang
Dep.Kes). Mereka pun bersama-sama-sama dengan pemuda Menteng 31 mendesak
Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Malah pada malam 16
Agustus menjelang penyusunan naskah proklamasi oleh para pemimpin Indonesia
Piet Mamahit berbicara dalam salah satu rapat di Prapatan 10. Ia menekankan
bahwa saatnya telah tiba bagi kita untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan
negara kita. Jepang telah kalah dan kita tidak mau dijajah oleh siapapun.”
Proklamasi di kediaman Bung Karno (Jl. Proklamasi) pada keesokan harinya mereka
saksikan pula. Tetapi kemudian terjadi perpecahan di antara mereka. Sebagian
dari penghuni Prapatan 10 bergabung dengan Menteng 31 dan sebagian mengambil
jalan sendiri. Perpecahan di kalangan pemuda ini merupakan pertanda yang kurang
baik sehingga tidak kurang dari Drs. Mohammad Hatta sendiri yang memesankan,
antara lain kepada Tadjuluddin, Nasroen dan O.E. Engelen, agar perjuangan
jangan didasarkan kepada hal-hal lain kecuali pergerakan kebangsaan Indonesia.
Dalam situasi perpecahan inilah pada tanggal 20 Agustus para mahasiswa Kristen
di Jakarta mengirimkan Frans Pattiasina, Siddharta, dan O.E. Engelen untuk
menemui Dr. Leimena di Tangerang. Dari mereka inilah Dr. Leimena mendengar
berita-berita seputar proklamasi kemerdekaan. Berdasarkan pengalamannya ia
mengerti bahwa banyak orang Kristen tak bisa mengerti perkembangan baru itu.
Kebanyakan sangat menderita di masa pendudukan Jepang dan berita-berita tentang
akan kembalinya Belanda di Indonesia meragukan sebagian besar dari masyarakat
Kristen. Penegasan Dr. Leimena ketika itu tidak banyak berbeda dengan pesan
Drs. Mohammad Hatta. Ia berkata, “Kita wajib dan harus berjuang bersama-sama
sebagai bangsa Indonesia untuk menegakkan dan mewujudkan kemerdekaan bangsa dan
negara kita yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus baru-baru
ini.” Sejak awal Revolusi Indonesia Dr. Leimena sudah menempatkan perkembangan
bangsa dan negara di dalam konteks pemikirannya yang berkembang dalam masa
gerakan nasional, yaitu Oikumene. Persatuan Kristen dan persatuan nasional
merupakan dua hal yang sama penting baginya, yang satu bisa mengokohkan yang
lainnya. Tidak lama sesudah itu ia pun dikunjungi oleh Mr. Tan Po Goan bergaul
erat dengan tokoh-tokoh intelektual Belanda seperti Prof. Logemann, Dr.
Kollewijn, Prof. Mr. Schepper, Ds. Verkuyl dan lain-lain. Dalam penjara Jepang
di Cimahi mereka pernah membicarakan masa depan bila Jepang telah dikalahkan
Sekutu. Mereka mengimpikan suatu struktur politik baru, di mana antara lain Dr.
Leimena akan diberi tempat penting sebagai wakil dari bangsa Indonesia. Berita
inilah yang disampaikan pula oleh Mr. Tan Po Goang di Tangerang, Tetapi pada
saat itu Dr. Leimena menjawab bahwa pilihannya telah dibuat. Ia berada pada
pihak Republik. Ibu Leimenapun tidak mengerti mengapa harus memilih
Belanda.
Bagi Dr. Leimena proklamasi kemerdekaan merupakan
tindakan yang logis. Baginya peristiwa itu merupakan kelanjutan yang mau tidak
mau harus diambil sesuai dengan usaha-usaha yang sudah dirintis dalam masa
pergerakan nasional sebelumnya. Peranan yang paling jelas dalam masa Perang
Kemerdekaan Indonesia adalah sebagai delegasi Indonesia perundingan-perundingan
dengan pihak Belanda. Ia tidak terlibat dalam pertempuran-pertempuran sengit
antara para pemuda dengan pihak Inggris dan Belanda di kota-kota sejak bulan
September, atau ikut dalam percaturan politik di Jakarta atau dalam KNI-KNI
setempat. Ia langsung terlibat dalam suasana perundingan-perundingan yang
sedikit banyaknya berlangsung dalam suasana tenang dan teratur, sekalipun tidak
selalu memuaskan dan tanpa emosi dan ketegangan.
Ada beberapa sebab yang memungkinkan keadaan itu.
Pertama-tama sebagai seorang intelektual, pandangan Dr. Leimena sedikit
banyaknya sejalan dengan pandangan orang-orang sosialis seperti Syahrir dan
Amir Syarifuddin. Baginya fasisme merupakan suatu bahaya yang mengancam
kehidupan bangsa. Inilah yang merupakan salah satu sebab ia diterima di
kalangan Syahrir. Selain itu agama Kristen baginya merupakan suatu perintah
untuk mendekati segala persoalan dengan dasar kasih dan oleh sebab itu
mengharuskannya sedapat mungkin mencari cara-cara penyelesaian yang tidak
memerlukan pertumpahan darah. Wataknya sejak semula sudah mengarahkannya ke
situasi ini.
Faktor lainnya adalah peranannya sebagai pemimpin
Kristen, khususnya dalam gerakan Oikumene. Pada masa pendudukan Jepang pihak
Kristen juga pernah didekati Gunseikan. Mereka pun pernah dianjurkan membentuk
semacam organisasi tunggal umat Kristen. Salah seorang yang dipakai untuk
pembentukannya adalah Mr. Rufinus Lumban Tobing yang pernah dipenjarakan
Kenpetai. Karena berhasil meyakinkan pihak Kenpetai bahwa ia sama sekali tidak memusuhi
mereka, Mr. Rufinus dibebaskan dan dikirim ke kantor Penerangan Jepang. Di sana
ia bertemu dengan seorang Jepang yang bernama Shimizu yang memerintahkannya
mengumpulkan pemuka-pemuka Kristen di Jakarta. Dengan perantaraan Pendeta Assa
yang pernah dikenalnya dalam tawanan Kenpetai, ia berhasil menemui para pendeta
di Jakarta. Tetapi ketika ia bertemu dengan tokoh-tokoh CSV seperti Dr. Moelia
dan Sucipto untuk mendapatkan gedung di Jl. Kebon Sirih 44 bagi keperluan
organisasi yang akan dibentuknya, ia mendapat penolakan secara halus. Dr.
Leimena pun pernah dijumpainya dengan hasil yang sama pula. Tetapi dengan
perantaraan Mr. Amir Syarifuddin ia berhasil membentuk suatu organisasi
sementara yang dinamakan “Persiapan Persatuan Kaum Kristen” dengan markas di
Jl. Kramat 65 gedung yang diusahakan oleh Ir. Mananti Sitompul dari Jawatan
Pekerjaan Umum. Organisasi yang diketuai Mr. Amir Syarifuddin dengan Mr.
Rufinus sebagai wakil ketua, memang berhasil membantu banyak orang Kristen di
Jakarta dan sekitarnya sehingga tidak terlalu menderita di bawah
tekanan-tekanan Jepang. Semua gereja-gereja yang ada di Jakarta dikunjungi
kedua pimpinan PPKK itu. Juga Dr. Kajadu membantu mereka dalam hal ini di
kalangan orang-orang Ambon. Tetapi sayangnya setelah perayaan Natal pertama
pada tahun 1942 Mr. Amir Syarifuddin ditangkap Jepang dan dr. Kajadu pun
ditangkap pula. Mr. Rufinus akhirnya bertolak ke Sumatra sehingga seluruh
kegiatan Kramat 65 jatuh ke dalam tangan Dr. Sitanala.
Di gedung yang kemudian diubah namanya menjadi “Balai
Pertemuan Kristen” inilah sehari setelah proklamasi kemerdekaan umat Kristen
untuk pertama kalinya mendengar hasil pekerjaan Badan Usaha Persiapan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia berupa Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian
terkenal dengan nama UUD 45. Di sanalah mereka menyatakan dukungan
terhadap pembentukan suatu negara merdeka. Dalam pertemuan itu masalah
yang mengenai syariat Islam yang disinggung dalam Rancangan Pembukaan UUD dan
pasal tentang Presiden harus asli dan beragama Islam ditolak oleh para hadirin,
antara lain Dr. Sitanala. Hal ini agaknya ada hubungannya dengan penyelesaian
kompromis yang dicapai dalam sidang PPKI dengan pimpinan Drs. Moh. Hatta
tanggal 18 Agustus 1945.
Ketika dalam bulan Nopember 1945 Pemerintah
mengumumkan izin pembentukan partai-partai politik, umat Kristen sekitar Jl.
Kramat 65 mengambil inisiatif pula sehingga terbentuklah Partai Kristen
Nasional pada tanggal 10 Nopember 1945 dengan dr. W.Z. Johannes sebagai Ketua
Umum pertama. Kemudian dalam Kongres Solo pada bulan September tahun itu nama
parpol itu diubah menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Ds. B.
Probowinoto yang banyak berjasa dalam proses pembentukannya dipilih sebagai
Ketua Umum sampai Kongres Jakarta pada tahun 1950. Pada rapat pembentukan ini
Dr. Leimena tidak hadir, mungkin sedang terlibat dalam pembersihan “Republik
Soviet Indonesia” di Tangerang.
Sebagai seorang pemimpin Kristen Dr. Leimena bukan
seorang yang baru bagi elite Indonesia. Perannya dan pendiriannya semasa
Pergerakan Nasional sedikit banyaknya telah dikenal. Pengetahuannya yang
mendalam mengenal masyarakat colonial membuatnya seorang yang tepat untuk
dikedepankan dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Melalui
kenalan-kenalannya pihak Zending pendirian Indonesia bisa disalurkan ke
masyarakat Belanda sehingga mereka bisa mendapat gambaran yang tepat pula
tentang perjuangan kemerdekaan.
Tidak lama setelah tawanan perang dibebaskan Zendings
consulaat yang bermarkas di Jl. Teuku Umar (sekarang Goesthouse DGI) telah
mulai bergiat lagi dan Dr. Leimena sudah tentu mencari hubungan kembali dengan
kawan-kawan lamanya di sana. Kira-kira dalam bulan Oktober 1945 Mr. De Nie yang
menjabat Zendingconsul di Jakarta mengadakan suatu pertemuan di tempat itu yang
dihadiri oleh sebagian besar menteri-menteri dari Kabinet Syahrir. Selain itu
seorang uskup Inggris dari Gereja Anglikan yang kebetulan berada di Jakarta
hadir pula sehingga pertemuan itu merupakan pertemuan internasional yang
pertama di Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan. Dr. Leimena juga nampak
hadir, demikian pula O.E. Engelen yang mewakili para mahasiswa. Kemudian selama
Perang Kemerdekaan pihak Zendingconsulaat tidak pernah menutup mata terhadap
kejadian-kejadian di Indonesia. Kekejaman-kekejaman pihak tentara Belanda senantiasa
mendapat kecaman-kecaman yang pedas dalam surat-surat kabar Belanda di Jakarta.
Tokoh-tokoh Zending yang jelas memihak kepada Indonesia adalah Mr. De Niet,
Zendingconsul di Jakarta, dan Ds. Hildering serta Ds. Verkuyl.
Suatu faktor lagi yang bisa menerangkan kehadiran
Leimena dalam kabiner-kabinet selama Perang Kemerdekaan adalah persoalan suku
bangsa Ambon. Sekalipun Dr. Leimena tidak pernah menganggap dirinya wakil Ambon
namun ini tidak kurang penting. Sejak semula, di masa pergerakan nasional, Dr.
Lelimena berusaha menempatkan dirinya sebagai orang Indonesia. Ia pernah
mengemukakan, bahwa di dalam dirinya ada dua hal yang dominan pada bulan-bulan
pertama setelah proklamasai. Yang pertama adalah agama Kristen yang
diperolehnya dari keluarganya dan yang dipelajarinya sendiri (yaitu gerakan
oikumene), dan yang kedua adalah keIndonesiaannya. “Jadi walau merasa berasal
dari Maluku.” Sebab itu ia hanya berpartisipasi dalam usaha-usaha masyarakat
Maluku yang jelas bertujuan memupuk semangat persatuan kebangsaan.
Gerakan-gerakan semacam ini malah didorongnya sekuat tenaganya. Sebab itu
tidaklah mengherankan bila sejak bulan-bulan pertama Proklamasi Kemerdekaan ia
telah melibatkan dirinya dalam badan-badan perjuangan dari para pemuda
Maluku.
Sebagai akibat terbentuknya Angkatan Pemuda Indonesia
(API) di Menteng 31, beberapa orang Ambon membentuk pula API – Ambon yang
beranggautakan pemuda-pelajar Ambon. Pmpinannya yang terkenal adalah Nani de
Fretes, Frans Pattiasina, Robert Akyuwen, dan lain-lain. Tujuan utama API-Ambon
adalah mencegah masyarakat Ambon menjadi korban revolusi karena adanya salah
paham di kalangan masyarakat yang menyamakan begitu saja semua orang Ambon
dengan pihak Belanda dalam konflik fisik yang timbul sejak bulan September
1945. Organisasi perjuangan ini juga melancarkan penerangan-penerangan pada
orang Ambon yang belum mengerti perkembangan baru karena terpikat pada alam
pikiran lama yang didominir oleh pemerintah Hindia Belanda dan KNIL-nya. Di
Surabaya terbentuk PRI-Maluku dengan tujuan yang sama. Di sana pemimpinnya
adalah dr. Siwabessy, Mohammad Padang, M. Kalibonso, dan lain-lain.
Kemudian ketika timbul pertempuran di Surabaya,
PRI-Maluku juga terseret dalam peristiwa yang kemudian dinamakan Pertempuran
Surabaya itu. Di kota-kota lainnya muncul pula organisasi-organisasi
serupa.
Koordinasi masyarakat Maluku secara resmi sebenarnya
dipegang oleh Mr. J. Latuharhary yang sejak bulan Agustus 1945 diangkat sebagai
Gubernur Maluku. Atas prakarsa Kantor Gubernur Maluku di Yogya, pada bulan
Februari 1946 diadakan suatu konperensi antara semua badan perjuangan itu
dengan tujuan menyatukan dalam satu pimpinan. Oganisasi yang dinamakan Pemuda
Indonesia Maluku (PIM) dan berpusat di Yogyakarta itu untuk pertama kalinya
memilih Nani de Fretes sebagai ketuanya dengan Robert Akyuwen sebagai
sekretaris. Ketika Dr. Leimena diangkat sebagai Menteri Muda Kesehatan Nani de
Fretes mendekatinya dengan permintaan agar ia mau menjadi ketua PIM pada masa
kepengurusan berikutnya. Hal ini diterima Dr. Leimena dengan syarat agar Nani
de Fretes menjadi sekretarisnya.
Kemudian bersama-sama dengan Mr. Latuharhary, Dr.
Leimena memimpin rapat pembentukan Divisi Pattimura di Malang pada tahun 1947.
Dr. Pattiradjawane dari Malang (ex PRIM) dijadikan panglimanya dengan dr.
Siwabessy (juga ex PRIM) menjadi Kepala Stafnya. Kepala Operasi adalah Herman
Pieters dan Minggus Nanlohy, Kepala Intel dijabat Wim Hukom serta Mohammad
Padang menjadi Kepala Logistik. Laskar-laskar Hukom serta Laskar-laskar PRIM
dan API-Ambon dikoordinir menjadi tiga batalion, masing-masing Batalion Jawa
Timur dengan kedudukan di Malang dipimpin Kalibonso. Batalion Jawa Tengah
dengan kedudukan di Magelang dipimpin Pelupessy.
Sebagai anggota cabinet, Dr. Leimena pun berkewajiban
pindah ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet
Syahrir telah pindah ke sana karena keadaan di Jakarta tidak aman. Tetapi
ketika beberapa bulan kemudian Dr. Leimena berusaha menemui keluarganya yang
ditinggalkannya di Tangerang, ternyata Ibu Leimena dan putra-putranya telah
mengungsi karena keadaan di sana pun tidak aman. Dengan menggendong Nanda
yang baru berusia enam bulan Ibu Leimena berhasil diungsikan oleh pihak tentara
ke Balaraja. Dengan susah payah Dr. Leimena bisa melalui pos-pos penjagaan Belanda
dengan menumpang sebuah mobil PMI. Kemudian mereka diangkut ke Jakarta dan
menumpang di keluarga Ibu Leimena sampai pihak TKR menyediakan sebuah rumah di
Jl. Bonang. Selama perang kemerdekaan Ibu Leimena beserta putra-putranya
berdiam di sana sementara Dr. Leimena mondar-mandir Yogya-Jakarta dalam rangka
perundingan-perundingan dengan Belanda.
Demikianlah, selama Perang Kemerdekaan Indonesia Dr.
Leimena dikenal dan berjasa dalam perundingan-perundingan diplomatik antara
Indonesia dan Belanda dari tahun 1946 sampai tercapainya KMB pada tahun 1949.
Dalam kabinet Syahrir kedua dan ketiga ia bertindak sebagai anggauta pengganti
disamping anggauta pengganti lainnya seperti Amir Syarifuddin dan Sudarsono
(kemudian ditambahkan pula dengan Setiadjit). Delegasi Indonesia yang utama
pada waktu itu terdiri dari Sutan Syahrir, Mr. Mohammad Roem, dan Mr. Susanto
Tirtiprodjo. Tetapi dalam perundingan Linggarjati Dr. Leimena ikut sebagai
peserta penuh.
Namun sesudah tercapinya persetujuan diplomatik itu
ternyata permusuhan antara Indonesia dan Belanda tidak berhenti.
Pelanggaran-pelanggaran garis demarkasi dilakukan oleh kedua belah pihak
sehingga perlu diselesaikan pula. Untuk itu dibentuklah panitia-panitia teknis
yang terdiri dari wakil-wakil tentara kedua belah pihak . Sesungguhnya
Indonesia sudah mengetahui sebelumnya bahwa Linggarjati tidak akan
menyelesaikan seluruh masalah. Naskah itu ditandatangani dewan
pertimbangan agar Indonesia diakui di mata dunia sebagai negara yang dalam
kenyataannya ada (ide facto). Pengakuan internasional inilah yang dipentingkan
pada waktu itu, bukan isi dari perjanjian tersebut, yang sudah jelas tidak
dapat dilaksanakan. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila pada tanggal 21
Juli 1947 Belanda mengadakan serangan besar-besaran. Peperangan ini dapat
dihentikan dengan perantaraan Dewan Keamanan PBB. Selanjutnya PBB juga
membentuk suatu panitia “Komisi Tiga Negara” untuk memimpin
perundingan-perundingan selanjutnya.’
Boleh dikatakan sejak perundingan-perundingan inilah
Dr. Leimena turut sebagai salah satu peserta utama. Sejak bubarnya Kabinet
Syahrir III akibat pertentangan pendapat mengenai Linggarjati, Dr. Leimena
dipilih sebagai salah seorang menteri dengan tugas sebagai Menteri Kesehatan
dalam kabinet Amir Syarifuddin. Kedudukan ini sebenarnya tidak dikehendakinya,
tetapi atas desakan berulang-ulang dari Presiden Sukarno yang menghendaki
seorang yang bisa mewakili umat Kristen, akhirnya diterimanya juga.
Delegasi Indonesia pada waktu itu dibagi dalam empat
komisi, yaitu Komisi Politik, Komisi Militer, Komisi Ekonomi dan Keuangan,
serta Komisi Sosial-Budaya. Komisi Militer dipimpin oleh Dr. Leimena, sesuai
dengan anjuran Mr. Mohammad Roem kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Wakil
Ketua Komisi Militer adalah Kolonel T.B. Simatupang (kini Dr., Ketua DGI) yang
merupakan orang yang sesungguhnya memahami permasalahan intern dari TNI dan
yang mendapat mandat dari TNI untuk turut dalam perundingan-perundingan.
Kemungkinan besar pertimbangan untuk menjadikan Dr. Leimena sebagai ketua
Komisi Militer ada hubungan dengan pandangan serta sikapnya. Sebagai seorang
tokoh gerakan Oikumene yang mengetahui benar, bahwa di kalangan Belanda ada
pula orang-orang yang bersimpati kepada aspirasi perjuangan bangsa Indonesia,
Dr. Leimena adalah orang yang bisa diharapkan mengadakan kontak dengan
pihak-pihak itu, atau paling tidak bisa membantu menciptakan suasana yang baik
di kalangan Belanda melalui kenalan-kenalannya yang bersimpati kepada Indonesia
itu. Selain itu sifat ketenangannya yang luar biasa juga sangat cocok untuk
dijadikan ketua Komisi. Kahin menyebutkan bahwa di antara semua anggauta
delegasi Indoesia Dr. Leimena-lah orang yang “most dispassionate” (paling
tenang). Istilah “rustig” yang kemudian sangat sering dikaitkan dengan dirinya rupanya
sudah lahir jauh sebelumnya. Menurut pendapat Dr. Simatupang, pilihan itu
sangat tepat justru karena sifat-sifat pribadi itulah. Berbeda dengan
anggauta-anggauta komisi lainnya yang masih muda-muda, seperti Kolonel
Simatupang sendiri, Dr. Leimena adalah orang yang paling bisa mengendalikan
emosinya. Malah tidak jarang ia pun bertindak sebagai “Bapak” dan menenangkan
anggauta-anggauta lainnya (dari kedua belah pihak) yang sedang tidak sabar dan
marah.
Orang-orang lain yang mengenalnya dalam kegiatan-kegiatan
diplomasi itu mempunyai kesimpulan yang sama. Mr. Abdul Wahab Suryodiningrat
yang menjadi Sekretaris Delegasi Indonesia sejak tahun 1947 menandaskan, bahwa
Dr. Leimena adalah seorang yang berjiwa besar, tidak mengejar pamrih dan
mengutamakan kepentingan-kepentingan nasional. Dalam perundingan-perundingan
itu Dr. Leimena hanya memikirkan bagaimana memimpin Komisi Militer RI. Selain
itu Dr. Leimena pun berhasil memelihara hubungan yang akrab dengan ketua-ketua
delegasi lainnya. Pada umumnya suasana persahabatan, saling percaya adalah ciri
yang menonjol pada ketua-ketua delegasi RI. Mr. Ali Budiardjo yang mengenal Dr.
Leimena pada masa perundingan-perundingan Linggarjati berpendapat bahwa segi
yang positif adalah sifat human dan tidak berprasangka serta keinginan yang
kuat untuk mencegah pertumpahan darah, serta bisa mengendalikan emosinya. Dr.
Leimena seorang yang loyal terhadap teman-temannya, tetapi sejajar dengan itu
ia juga sangat kritis. Kejujuran dan tingkah laku kependetaan juga sudah
menonjol dalam masa-masa perundingan ini. Jendral Hidayat yang pernah menjadi
anggauta Panitia Militer juga terkesan pada sikap-sikap human dan bijaksana
dalam kedudukannya sebagai anggauta delegasi maupun ketua Panitia.
Persoalan pokok yang dihadapi Komisi Militer sebenarnya
cukup ruwet. Tidak lama setelah Linggarjati disepakati, Jendral Spoor, Panglima
tentara Belanda di Indonesia, mengajukan suatu nota mengenai sistem
ketentaraan. Menurut pendapatnya dalam struktur politik baru harus diciptakan
pula suatu “Unie-leger” (tentara Uni). Tentara ini akan terdiri dari KNIL
sebagai intinya dengan orang-orang TNI yang tidak lulus seleksi itu
dikembalikan ke masyarakat atau dijadikan tentara daerah model tentara
Mangkungaran umpamanya. Di sini nampak jelas bahwa bagi Belanda, Uni
Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda itu merupakan faktor yang
paling penting dalam sistem politik yang akan dibangun itu (negara
federal).
Pihak Indonesia sudah barang tentu tidak bisa menerima
gagasan itu. Sudah sejak itu pula Kolonel Simatupang mengeluarkan nota balasan
yang berisi pendirian pihak TNI. Ketentaraan yang akan dibangun dalam sistem
politik baru itu harus berintikan TNI dengan anggauta-anggauta KNIL sendiri
sebagai alat dari pemerintah Belanda harus dibubarkan. Boleh dikatakan
perbedaan paham mengenai struktur ketentaraan inilah yang menjadi pokok pangkal
perbedaan pendapat sejak tahun 1946 sampai 1949. Selama itu pula pihak Belanda
mempertahankan gagasan yang berasal dari Spoor sedangkan delegasi Indonesia
selalu mempertahankan gagasan Simatupang.
Perundingan-perundingan militer yang dilakukan di
bawah pengawasan KTN pun mengambil pokok-pokok yang sama pula. Sebelum diadakan
perundingan di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville, Komisi Milliter
telah mengadakan perundingan-perundingan mendahului Komisi Politik.
Perundingan-perundingan yang diadakan di Jakarta ini penuh dengan ketegangan
dan emosi. Kedua belah pihak saling mempertahankan pendapatnya. Di sinilah
tampak sekali peranan Dr. Leimena sebagai orang yang bisa menciptakan suasana
tenang. Pada saat tertentu ia berdiri dari kursinya dan merangkul salah seorang
anggauta delegasi (Indonesia maupun Belanda) dan mengajaknya berbicara di suatu
sudut yang terpencil. Sesudah itu nampak orang itu kembali ke kursinya dengan
wajah yang tenang sehingga perundingan dapat dilanjutkan lagi.
Permasalahan yang menimbulkan kesulitan dalam
perundingan-perundingan Komisi Militer ini adalah usul Belanda agar TNI menarik
diri dari daerah pantai utara pulau Jawa dan Sumatra. Inilah yang mereka
namakan “Garis van Mook” sesuai dengan nama Letnan Gubernur Jenderal mereka
ketika itu. Pihak TNI sudah barang tentu tidak bisa menerima usul ini. Sebab
itu Panitia Militer tidak bisa sampai kepada suatu keputusan. Masalah ini
kemudian diambil oper oleh Amir Syarifuddin, Ketua Komisi Politik, untuk
dibicarakan secara keseluruhan bersama-sama dengan masalah-masalah lainnya
dalam perundingan Renville. Perjanjian Renville pun ditandatangani dengan
“Garis van Mook” sebagai salah satu pasalnya. Dengan demikian diharuskan
menarik tentaranya dari “kantong-kantong” seperti di Jawa Barat, dan
lain-lain.
Kolonel Simatupang pernah menanyakan kepada Amir
Syarifuddin mengapa ia sampai menyetujui usul Belanda itu. Alasan yang
dikemukakannya pada waktu itu adalah diplomatis pula. Usul Belanda itu diterima
agar perjanjian Renville bisa disetujui secepatnya sehingga dengan demikian
terbukalah kesempatan untuk perundingan-perundingan selanjutnya sehingga
tercapai suatu struktur politik baru. Amir Syarifuddin ketika itu yakin bahwa
Dr. Frank Graham, anggauta KTN dari Amerika Serikat, akan menjamin agar
perundingan –perundingan yang akan menyelesaikan persoalan secara tuntas bisa
dilakukan.
Tetapi ternyata kemudian dugaan Amir Syarifuddin
keliru. Tidak lama sesudah tercapainya persetujuan Renville, State Department
(Deplu Amerika Serikat) menarik Dr. Graham sehingga Amir Syarifuddin kehilangan
dukungan. Hal ini antara lain mengakibatkan krisis kabinet sehingga Presiden
Sukarno terpaksa mengangkat Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri untuk
menyelesaikan persoalan yang masih tertunda.
Tatkala Dr. Simatupang bertemu kembali dengan Dr.
Graham di New York pada tahun 1968 permasalahan ini pernah ditanyakan. Dr.
Graham ketika itu mengungkapkan beberapa hal yang mungkin merupakan sebab
mengapa Amir Syarifuddin menerima usul Belanda. Ketka perundingan masih
berlangsung di atas kapal Renville pada suatu malam Amir dan Graham bertemu.
Sebenarnya para delegasi tidak pernah menginap di atas kapal tersebut sekalipun
bagi mereka masing-masing disediakan kamar tidur. Tetapi pada malam itu Amir
Syarifuddin menginap di sana dan demikian pun Frank Graham. Ketika
berjalan-jalan sambil memikirkan permasalahan yang akan dibahas keesokan
harinya, Dr. Graham melihat salah satu jendela kamar diterangi lampu. Ketika
ditengoknya ternyata Amir Syarifuddin sedang membaca. Dr. Graham masuk dan agak
heran melihat buku yang dibaca itu adalah Kitab Injil. Pada saat itulah terjadi
percakapan yang santai. Amir dan Graham ternyata pernah mejadi anggauta gerakan
mahasiswa Kristen di negeri masing-masing. Hal ini rupanya menimbulkan hubungan
batin sehingga keduanya bertekad untuk menyelesaikan konflik Indonesia –
Belanda itu dengan semangat kekristenan tanpa membiarkan jatuhnya korban dan mengalirnya
darah di kedua belah pihak. Menurut Dr. Graham mungkin suasana inilah yang
menimbulkan kesimpulan pada diri Amir Syarifuddin bahwa Dr. Graham akan
menyokongnya dalam langkah-langkah berikutnya. Namun, rupanya sikap Dr. Graham
yang condong kepada Indonesia itu tidak disenangi pihak Belanda. Mereka
memprotes kepada State Department dan Dr. Graham pun ditarik kembali dari
posnya.
Mr. Amir Syarifuddin dan Dr. Leimena adalah kawan
lama. Mereka telah berkenalan sejak menjadi anggauta CSV, Malah ketika Dr.
Leimena mempertahankan disertasinya pada tahun 1939 Amir Syarifuddin pun
dimintanya sebagai pendampingnya (paranymph) bersama-sama dengan Amir
Syarifuddin sebagai orang yang dalam pandangan politiknya berdiri ke sebelah
“kiri”, sekalipun bukan komunis. Kesan inipun terdapat pada Dr. Abu Hanifah
yang mengenalnya juga semenjak bersama-sama mondok di asrama Indonesische
Studieclub (sekarang Gedung Pemuda). Suatu hal yang sampai sekarang tidak dapat
dipecahkan dengan memuaskan adalah mengapa pada tahun 1948 Amir Syarifuddin
menyatakan dirinya sebagai komunis dan menyokong Muso? Seperti halnya dengan
Dr. Abu Hanifah, Dr. Leimena pun berpendapat bahwa Amir Syarifuddin yang
ambisius itu tidak dapat mentolerir pendapat bahwa hanya Sutan Syahrir yang
bisa menjadi Perdana Menteri.” Ketika Bung Karno mengangkat Bung Hatta sebagai
Perdana Menteri Amir pernah dipanggil ke Kaliurang untuk ditawarkan kedudukan
“Menteri Daerah Seberang”. Tawaran ini ditolaknya. Ia ingin menduduki kursi
Menteri Pertahanan.
Sejarah mencatat bahwa Perjanjian Renville ternyata
tidak bisa menyelesaikan persoalan. Sekalipun demikian perundingan-perundingan
dengan pengawasan KTN terus dilakukan. Protes-memprotes senantisa timbul
sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran garis demarkasi. Kedua belah pihak
tidak mau mengalah. Apabila pihak Belanda mengirim nota protes dengan tuduhan
bahwa pihak Indonesia melakukan 30 kali pelanggaran, pihak Dr. Leimena dan Kol.
Simatupang membalas bahwa Belanda melakukan 35 kali pelanggaran, demikian
seterusnya.
Perbedaan-perbedaan pokok antara pihak Indonesia dan
pihak Belanda pernah diuraikan oleh Dr. Leimena dalam sebuah buku kecilnya yang
berjudul The Dutch-Indonesian Conflict. Menurut pendapat Dr. Leimena
kegagalan Linggarjati sebenarnya terletak pada persoalan kemiliteran , yaitu
keinginan delegasi Belanda agar dibentuk “Gendarmerie bersama” atau polisi
bersama. Demikian pula Renville gagal karena persoalan militernya, yaitu
keinginan Belanda untuk mengawasi “keamanan” wilayah RI. Pihak Indonesia sudah
tentu tidak bersedia membiarkan pasukan-pasukan Belanda memasuki daerahnya
untuk “menjamin keamanan”. Dalam hal ini memang sejak semula Komisi Militer
yang dipimpin Dr. Leimena dan Kol. Simatupang tidak pernah memberi konsesi
apapun kepada pihak Belanda.
Di atas segala-galanya Dr. Leimena berpendapat bahwa
pihak Belanda tidak bisa mengerti bahwa permasalahan yang sesungguhnya bersifat
psikologis. Seharusnya bangsa-bangsa Barat, termasuk Belanda, mengubah sikapnya
dengan munculnya negara-negara baru di Asia sesuai Perang Pasifik.” Tidak dapat
disangkal, bahwa kedua perang dunia yang baru lalu, terutama yang terakhir,
mengakibatkan pergerseran-pergeseran dalam masalah kekuasaan, secara politis
maupun secara rohaniah, dari Barat ke Timur. Mungkin benar, dalam masalah-masalah
politik global pihak Barat masih memimpin karena keunggulan-keunggulan ekonomi
dan ilmunya, tetapi tidak diragukan lagi bahwa berangsur-angsur pihak Timur
mulai mendesak peranan dominan dari pihak Barat itu.” Pihak RI, kata Dr.
Leimena, memang pernah membuat kesalahan-kesalahan, malah ada
kesalahan-kesalahan yang besar. Tetapi kesalahan Belanda adalah tidak dapat
memahami bahwa Indonesia ingin membangun negaranya dengan kekuatannya sendiri
sekalipun dengan bantuan dari Belanda. Bukan sebaliknya.
Dengan demikian tidaklah mengherankan pula bila pada
pertengahan Desember 1948 pihak Belanda mengadakan serbuan besar-besaran yang
kedua kalinya. Sebelumnya pihak RI telah yakin bahwa serangan itu cepat atau
lambat pasti akan datang. Sebab itu pula disamping tukar-menukar nota dan
perundingan oleh Komisi Militer, pihak TNI pun mulai menyiapkan perang gerilya
dengan menurut-sertakan seluruh unsur masyarakat. Dengan demikian sekalipun
pimpinan negara dengan sengaja membiarkan dirinya tertangkap di Yogya, perlawanan
secara gerilya masih bisa diteruskan sehingga Belanda tidak berhasil mematahkan
seluruh kekuatan RI.
Dr. Leimena termasuk salah seorang menteri yang
membiarkan dirinya ditangkap di Yogya. Pertimbangan pimpnan negara dan Kabinet
pada waktu itu adalah sangat pragmatis. Betapapun mereka akan berusaha
bersembunyi di daerah pedalaman Belanda pasti akan mengarahkan seluruh
kekuatannya untuk mencari mereka dan lambat atau cepat pasti akan berhasil
juga. Sebaliknya segera tertangkapnya pimpinan negara pihak luar negeri yang
bersimpati pada Indonesia pasti akan turut campur sehingga permasalahannya akan
dibahas lagi di PBB.
Setelah ditangkap lagi di Yogya Dr. Leimena kemudian
dibebaskan dan kembali ke Jakarta untuk berdiam bersama keluarganya yang sejak
tahun 1946 berdiam di Jl. Bonang. Sejak itu ia mulai didekati oleh pelbagai
pihak dari kalangan Zending yang ingin membantu menyelesaikan konflik Indonesia
– Belanda. Pembicaraan-pembicaraan secara informal ini mungkin sangat
bermanfaat pula bagi langkah-langkah berikutnya. Melalui PBB akhirnya Bung
Karno dan Bung Hatta dikembalikan lagi ke Yogyakarta (Roem-Royen Statement)
sehingga perundingan-perundingan dapat dilanjutkan lagi secara formal.
Dalam mempersiapkan perundingan KMB di Den Haag pernah
diadakan Konferensi Antar Indonesia sebanyak dua kali, pertama di Yogyakarta,
kedua di Jakarta. Dalam perundingan-perundingan ini pihak RI berhadapan dengan
wakil-wakil dari pelbagai negara bagian ciptaan van Mook yang tergabung dalam
BFO (Bijenkomst voor Federaal Overleg). Diantara komisi-komisinya
terdapat pula Komisi Militer yang dari pihak RI dipimpin oleh Dr. Leimnena dan
Kol. Simatupang pula. Konperensi ini membicarakan sikap bersama dalam
menghadapi Belanda di Den Haag. Di sinilah Komisi Militer RI berhasil menganjurkan
pihak BFO agar menerima gagasan RI yang telah diajukan setelah Linggarjati
ditandatangani. Pada waktu itu disetujui agar KNIL dibubarkan dan TNI menjadi
“intisari” dari pasukan RIS. Anggauta-anggauta KNIL yang masih dibutuhkan bisa
diterima secara perorangan maupun satuan dalam TNI (APRIS). Suatu catatan yang
menarik: dalam perundingan-perundingan selau dipakai istilah “kern:, tetapi
ketika datang waktunya untuk pernyataan yang dalam bahasa Indonesia, perkataan
itu perlu diterjemahkan. Ada yang mengajukan kata inti sebagai terjemahannya,
ada pula yang mengajukan sari. Keduanya digabung menjadi intisari. Ini
suatu hal yang sebenarnya tidak logis sebab inti adalah suatu yang keras dan
utuh, sedangkan sari adalah hasil perasan. Namun istilah intisari sampai
sekarang masih dipakai juga.
Dengan tercapainya kesepakatan mengenai persoalan
militer ini, perundingan-perundingan di KMB dapat berjalan cepat pula. Di
antara komisi-komisi KMB, Komisi Militerlah yang berhasil menyelesaikan
persoala-persoalannya secara sempurna dan cepat. Komisi politik umumnya tidak
bisa menyelesaikan masalah Irian Jaya. Komisi Ekonomi dan Keuangan mengalami
permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan pula. Komisi militer
dipimpin oleh Dr. Leimena ternyata tidak memberi satu konsesi pun kepada pihak
Belanda. APRIS berintikan TNI sedangkan KNIL dibubarkan dan
anggauta-anggautanya yang masih bersedia meneruskan karirnya dalam bidang
ketentaraan diterima dalam APRIS. Mula-mula pihak Belanda tidak bisa menerima
pembubaran KNIL dengan alasan anggauta-anggautanya terdiri dari orang-orang
Indonesia pula. Pihak Indonesia membalas dengan mengatakan bahwa KNIL adalah
tentara Belanda bukan tentara Indonesia. Buktinya sewaktu Belanda
menggunakannnya untuk menyerang RI pihak Parlemen Belandalah yang memberi
persetujuannya. Kemudian Belanda juga ingin mempertahankan pangkalan Angkatan
Laut Surabaya selama tentaranya dipulangkan ke Belanda. Komisi Militer RI tidak
setuju dengan alasan Surabaya adalah wilayah RIS, tetapi selama proses pemulangan
tentara Belanda pangkalan itu dapat dipakai mereka dengan pengawasan seorang
perwira Belanda yang diangkat RI. Selain itu dengan ada masalah Misi Militer
Belanda yang disepakati dalam Konperensi Antar Indonesia di Yogya. Menurut
ketentuan itu Belanda akan membiarkan sejumlah tentaranya di Indonesia untuk
melatih prajurit-prajurit TNI. Melalui Misi Militer inipun Belanda ingin
mempertahankan kekuasaannya. Pihak Komisi Militer RI mencegah hal ini dengan
menandaskan bahwa Misi Militer itu berada sepenuhnya di bawah pengawasan RI.
Mereka dibayar oleh RI dan akan dipertahankan oleh Komisi Militer ini sejak
tahun 1946 sampai 1949. Inilah salah satu jasa yang paling baik dari Dr.
Leimena selama masa Perang Kemerdekaan. Tetapi peranan ini tidak mungkin dilakukannya
dengan baik tanpa didampingi oleh para pimpinan TNI yang mengetahui seluk-beluk
yang terdapat dalam tubuh TNI itu sendiri. Umpamanya masalah yang sulit adalah
penerimaan bekas anggauta KNIL dalam APRIS. Pada saat terakhir Julius Tahya,
wakil BFO untuk masalah-masalah politik dan militer, pernahkah bertanya kepada
Kol. Simatupang apakah pimpinan TNI di Yogya bersedia menerima keputusan itu.
Kolonel Simatupang menjawab bahwa “Itu adalah masalah saya”. Dan satu hal yang
dibicarakan di Yogya segera setelah ia kembali adalah permasalahan ini pula.
Sebenarnya banyak suara-suara yang tidak bisa menerima keputusan itu. Tetapi
hanya karena kepercayaan sebagian besar dari pimpinan TNI atas Kol.
Simatupanglah hal itu akhirnya bisa diterima pula.
Kemenangan-kemenangan dalam sidang-sidang Komisi
Militer ini tidak dapat tiada menimbulkan kejengkelan pada pihak-pihak tertentu
di kalangan KNIL maupun KL. Hal ini nampak jelas dalam beberapa peristiwa
seperti pemberontakan Westerling di Bandung. Pemberontakan Andi Aziz di Ujung
Pandang, dan Pemberontakan RMS di Ambon. Selain itu ada pula peristiwa yang
menyangkut Sultan Hamid. Tokoh ini merupakan salah seorang perwira tinggi dalam
KNIL yang merasa tidak puas dengan perkembangan tersebut. Selama perundingan
KMB ia pernah mengadakan lobbying dengan maksud menggagalkan usul-usul dari
Komisi Militer RI. Dari pihak dialah muncul isu yang menghendaki agar setelah
terbentuknya RIS, satuan-satuan TNI tetap dipertahankan di wilayah RI sedangkan
satuan-satuan KNIL di daerah BFO dijadikan TNI untuk mengawal daerah tersebut.
Hal ini tidak pernah dibicarakan secara formal dalam sidang-sidang, dan sudah
sejak semula pihak RI menandaskan bahwa TNI, yang merupakan inti APRIS itu
sudah selayaknya berhak pula ditempatkan di setiap daerah RIS. Itulah sebabnya
pihak APRIS mengirim Batalion Worang ke Ujung Pandang dalam peristiwa
pemberontakan Andi Azis. Ini pula sebabnya APRIS tidak segan-segan mengirimkan
satuan-satuan TNI untuk menumpas pemberontakan RMS di Ambon.
Persoalan RMS muncul di Ambon di tahun 1950 karena
beberapa tokoh dari kalangan masyarakat Maluku tidak bersedia menerima negara
kesatuan RI yang diperjuangkan antara lain oleh orang-orang Ambon juga sejak
tahun 1945. Tokoh-tokoh yang melahirkan gagasan RMS dalam kategorisasi Dr. Leimena
termasuk orang-orang yang sama sekali tidak mau tahu menahu tentang suatu
gerakan yang besar dalam abad ke-20, yaitu pergerakan nasional. Dr. Soumokil
dan Ir. Manusama tergolong dalam kategori ini, bukan saja sejak tahun 1945
tetapi jauh sebelum itu di tahun-tahun 1930-an. Sesudah yakin bahwa negara
Indonesia Timur tidak dapat dipertahankan lagi karena unsur-unsur Republikein
dalam Parlemen NIT akhirnya akan berhasil memasukkan Indonesia Timur ke dalam
wilayah RI, Dr. Soumokil bertolak ke Ambon dan melakukan serangkaian
pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintah daerah maupun pendidikan untuk
melepaskan Maluku Tengah dari Negara Indonesia Timur maupun dari Republik
Indonesia. Proklamasi RMS yang dikeluarkan di Ambon pda tanggal 25 April 1950
itu sebenarnya hanya mungkin dengan paksaan senjata pasukan-pasukan para KNIL
yang ditempatkan di Ambon beberapa bulan sebelumnya dengan maksud-maksud yang
tidak jelas.
Segera setelah berita itu tiba di Ibukota Jakarta
pemerintah membentuk suatu panitia di bawah pimpinan Dr. Leimena untuk
mengadakan pembicaraan dengan Dr. Soumokil cs. A.M. Pelupessy yang pernah
menjabat Reside di Ambon dan kemudian menjadi Ketua Senat RIS juga menjadi
anggauta Misi Leimena disamping dr. Rehatta yang berdiam di Surabaya dan Ir. Putuhena.
Rombongan bertolak dengan sebuah pesawat bom, ke Ujung Pandang dan dari sana
menumpang Fregat Hang Tuah terus ke Ambon. Setiba di Teluk Ambon Hang Tuah
mengirimkan kawat dengan sandi lampu bahwa Misi Leimena bermaksud berbicara
dengan pemimpin-pemimpin di Ambon. Beberapa kali pesan itu diulangi sampai
datang sebuah kapal motor membawa Shahbandar Ambon, dengan sepucuk surat yang
menandaskan bahwa pihak pemberontak hanya bersedia berunding di atas sebuah
kapal yang netral dan dengan pengawasan panitia PBB. Hal ini sudah barang tentu
tidak dapat diterima oleh Dr. Leimena. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke
Saparua di mana mereka pun disambut dengan sikap yang sama. Penolakan atas
uluran tangan ini sangat disesalkan pelbagai pihak.
Sekembalinya misi Leimena di Jakarta, pemerintah
mengadakan blokade laut atas kepulauan Ambon dan sekitarnya dengan maksud
memaksakan pihak pemberontak untuk mengadakan perundingan. Namun pihak
pemberontak tetap pada pendirian mereka semula. Sebab itu pemerintah memutuskan
unntuk mengadakan serangan terhadap pusat kekuasaan RMS di Ambon. Sebelum
serangan ini dimulai Kol. Simatupang yang waktu itu menjabat pejabat KSAP
(setelah Jenderal Sudirman wafat, pada bulan Januari 1950), mengajukan pada
para pemimpin masyarakat Ambon di pulau Jawa untuk membicarakan niat tersebut.
Pertemuan ini disiapkan oleh J. de Fretes bersama anggauta-anggauata dari
Kantor Gubernur Maluku. Konperensi yang diadakan di Semarang pada tanggal 12
dan 13 Juni 1950 itu dihadiri oleh pemuka-pemuka Maluku dari angkatan
Pergerakan Nasional maupun dari kalangan pemuda yang tergabung dalam PIM dan
bekas laskar Pattimura. Dalam perundingan ini terjadilah suatu perdebatan yang
sengit antara Dr. Leimena dengan Mr. Latuharhary mengenai Misi Leimena
tersebut. Sesudah itu rencana pemerintah untuk mengadakan operasi le Maluku
Tengah dibicarakan semalam suntuk. Rencana itu disetujui dengan pertumpahan
darah yang berlebih-lebihan dapat dihindarkan. Selain itu konperensi juga
mengeluarkan beberapa seruan lain serta membentuk suatu putusan yang akan
mencoba mengadakan hubungan lagi dengan kaum pemberontak. Tetapi keputusan itu
tidask dapat menunaikan tugasnya karena tidak lama kemudian APRIS mulai
mengadakan operasi penumpasan RMS.
Permintaan pemuka-pemuka masyarakat Maluku agar
perwira-perwira yang berasal dari Maluku Tengah diturut-sertakan dikabulkan
oleh pemerintah. Kapten J. Muskita (kemudian may.Jen. TNI), Letnan Leo Lopulisa
(kemudian Let.Jen. TNI), May Herman Pieters (kemudian Kol. TNI) diikut-sertakan
bersama pasukan-pasukan Batalion Pattimura. Pada mulanya Kol. Simatupang
mengharapkan agar Mayor Harry Sitanala menjadi komandan operasi itu. Tetapi
karena perwira itu tidak sampai hati melakukannya, maka dipilihlah Kol. A.
Kawilarang. Pilihan inipun mempunyai motivasi lain disamping motivasi
kemiliteran. Nama Kawilarang, seorang bekas KNIL pula yang selama Perang
Kemerdekaan memimpin pasukan-pasukan TNI di Jawa Barat dan kemudian di Sumatra,
bisa memberi kesan kepada pihak KNIL bahwa RI Dan TNI-nya bukan terdiri dari
orang Jawa atau orang Islam saja seperti yang sering dipropagandakan oleh para
pemimpin RMS. Pasukan-pasukan Pattimura, pasukan asal Minahasa dan Batak pun
dikerahkan disamping pasukan dari daerah-daerah lain dengan maksud
tersebut.
Pada saat-saat terakhir sebelum TNI mendarat di Ambon
Dr. Leimena masih berusaha mencegah pertumpahan darah. Dengan menggunakan
sebuah pesawat udara ia bertolak ke Maluku, untuk mencari Komandan Operasi.
Setiba di Piru (Seram) ia mendapat berita bahwa kapal perang ditumpangi Kol. Kawilarang
sedang menuju ke Ambon. Dengan menumpang kapal “Anggang” akhirnya ia berhasil
menemukan Komandan Operasi di Baguala. Pesan yang disampaikannya ketika itu,
ialah agar sedapat mungkin pertumpahan darah yang berlebih-lebihan jangan
terjadi. Sejak itu Kapten J. Muskita, seorang perwira KNIL yang juga masuk ke
dalam dinas TNI mendampingi Kol. Kawilarang untuk memikirkan strategi dan
taktik operasi.
Mengenai pemberontakan RMS ini Dr. Leimena pernah
menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Soal Ambon. Berdasarkan hasil
peninjauannya ke Ambon ia yakin bahwa persoalan RMS adalah bagian dari
persoalan KNIL yang merupakan salah satu pokok utama timbulnya peperangan
sampai duakali dengan pihak Belanda. Dengan tegas ia menolak campur tangan
Panitia PBB yang diminta oleh pihak RMS maupun oleh pihak Belanda. Dr. Leimena
menganggap masalah ini adalah masalah intern Republik yang bisa diselesaikan
sendiri. Dan sejarah mencatat bahwa pemberontakan di Ambon itu juga dapat
diakhiri dalam beberapa bulan sekalipun Soumokil baru tertangkap pada tahun
1962.
IV
“RENCANA LEIMENA”
Apabila diperlihatkan sejarah politik Indonesia,
nampak antara lain bahwa Dr. Leimena pernah menjabat Menteri Kesehatan sebanyak
delapan kali, mulai dari tahun 1947 sampai 1956, kecuali antara 1953 sampai
1955 selama masa kabinet Ali pertama. Sebelumnya sejak tahun 1946 ia juga telah
menjadi Menteri Muda dalam Kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Namun
kegiatan-kegiatannya selama masa perjuangan fisik itu sedikit banyaknya
bersifat rutin. Dinas kesehatan pada waktu itu terdiri dari dua bagian,
pertama, dinas kesehatan di wilayah kekuasaan RI, dan kedua, di wilayah
kekuasaan Belanda. Antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Selama
Perang Kemerdekaan, dan terutama selama empat tahun pendudukan Jepang
sebelumnya, bidang kesehatan di Indonesia banyak mengalami kemunduran. Di masa
Jepang seluruh kegiatan dinas kesehatan yang diwarisi dari pihak Belanda
diarahkan untuk kepentingan perang melawan Sekutu. Sesudah itu, di masa Perang
Kemerdekaan, kekacauan ini tidak sempat diatasi karena diplomasi dengan Belanda
lebih banyak membutuhkan tenaga dan waktu. Selama kurang lebih delapan tahun
itu gedung-gedung, rumah sakit-rumah sakit , poliklinik-poliklinik, serta
lembaga-lembaga penelitian hancur sebagian atau seluruhnya. Selain itu, setelah
masa Perang Kemerdekaan, Kementrian Kesehatan menghadapi kekurangan tenaga
dokter, para-medis, pegawai administrasi dll. Keadaan ini dipersulit lagi
dengan kesimpang-siuran yang muncul akibat dimasukkannya dinas kesehatan federal
ke dalam lingkungan kementrian Kesehatan RI. Sebagai akibatnya hubungan antara
instansi-instansi pusat tidak lagi sinkron dengan dinas-dinas kesehatan yang
tersebar di daerah-daerah.
Tumpang tindih (overlaping) antara pelbagai instasi
yang menangani bidang kesehatan rakyat ini perlu mendapat perhatian khusus.
Dalam masa antara 1949 sampai 1953 Dr. Leimena memusatkan perhatiannya kepada
tugas-tugas “unifikasi” ini. Dalam rangka pembinaan suatu sistem kesehatan
masyarakat itu langkah pertama yang dilakukannya adalah mengadakan suatu survey
atau pendaftaran dari semua peralatan dan personalia yang ada dalam lingkungan
Kementrian Kesehatan. Dengan demikian nampaklah, pertama-tama, bahwa di seluruh
Indonesia terdapat 680 buah rumah sakit saja dengan 60.000 tempat tidur. Jumlah
ini sudah termasuk rumah sakit swasta yang jumlahnya lebih besar. Dengan
demikian bagi setiap 10.000 orang hanya tersedia delapan buah tempat tidur atau
0,8 per mil. Kenyataan ini sangat menyedihkan bila diketahui bahwa di
Srilanka, umpamanya, prosentasi jumlah tempat tidur di rumah-sakit dengan
jumlah penduduk adalah 2 per mil , di Jepang 3, 5 per mil, di Inggris 7,1
per mil, dan Amerika Serikat 10,4 per mil. Angka-angka ini menunjuk pada
perlunya penambahan jumlah rumah-sakit.
Angka-angka mengenai personalia juga sangat
menyedihkan. Jumlah dokter pada waktu itu hanya 12.000 orang dan dokter gigi
hanya 150 orang. Seluruh tenaga para-medis hanya berjumlah 4976 orang, apoteker
80 orang dan asisten apoteker 650 orang. Jumlah ini diharuskan melayani 75 juta
penduduk Indonesia. Kenyataan ini lebih menyedihkan lagi bila diingat bahwa
sebagian besar dari peralatan dan personalia tsb. berada di daerah perkotaan
yang hanya menampung 30% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Selain peralatan dan tenaga, sistem kesehatan rakyat
yang diwarisi pada tahun 1950 juga tidak memuaskan. Dua istilah yang penting
untuk menguraikan sistem kesehatan ini adalah “usaha-usaha preventif” dan
“usaha-usaha kuratif”. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1916
adalah menitikberatkan kegiatan bidang kesehatan pada usaha-usaha preventif
atau pencegahan penyakit-penyakit menular dan penyakit rakyat. Segi kuratif
atau pengobatan yang dilakukan dalam rumah sakit-rumah sakit dan
poliklinik-poliklinik sebagian besar diserahkan kepada pihak swasta.
Kebijaksanaan ini disesuaikan dengan perkembangan ilmu kedokteran pada waktu
itu. Di awal abad ke-20 kemajuan-kemajuan dalam penelitian bakteriologi dan
epidemologi memberi pengertian yang lebih lengkap mengenai sebab-sebab penyakit
menular dan cara pencegahannya. Perkembangan yang lebih pesat dalam bidang ini
dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian dari perusahaan-perusahaan
perkebunan di Sumatera Timur. Kemungkinan-kemungkinan yang baru dalam bidang
preventif ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengubah kebijaksanaannya
pada tahun 1916. Perkembangan ini pun menyebabkan pemerintah itu mengubah
Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1901 menjadi Stovia.
Dalam tangan pihak swasta kegiatan kuratif meningkat
di Indonesia. Pihak misi, zending, organisasi-organisasi Islam, dan pihak-pihak
lainnya mulai mendirikan pelbagai rumah sakit dan poliklinik di kota-kota besar
di Indonesia. Suatu contoh yang baik adalah Rumah Sakit Zending Imanuel di mana
Dr. Leimena pernah bekerja selama sebelas tahun. Perkembangan survey 1950 bahwa
di antara 60.000 tempat tidur itu, 38.000 adalah milik swasta dan hanya 22.000
tempat tidur saja yang dimiliki oleh rumah sakit pemerintah. Sekalipun dalam
tahun 1937 pihak pemerintah Hindia Belanda mengubah sedikit policynya dengan
memberi kelonggaran kepada daerah-daerah untuk menangani sebagian dari kegiatan
kuratif itu. Namun peranan pihak pemerintah tetap tidak sebanding dengan
peranan pihak swasta dalam bidang ini.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan ini Dr. Leimena
memutuskan agar “unifikasi” yang mulai dijalankan dalam bidang kesehatan sejak
ktahun 1950 menitik beratkan segi preventif juga. Dengan demikian nampaklah
bahwa maksud semula adalah hanya menggiatkan kembali keadaan yang telah mundur
selama kira-kira delapan tahun tersebut. Pada waktu itu belum ada
rencana-rencana besar-besaran untuk meningkatkan pembangunan dalam bidang
kesehatan. Selain situasi politik yang lebih banyak memerlukan perhatian, juga
kemampuan dalam bidang keuangan belum memungkinkannya.
Sejak semula Dr. Leimena telah menyadari bahwa
kegiatan pereventif ini hanya bisa berhasil bila beberapa syarat yang non-medis
terpenuhi. Pertama-tama kegiatan preventif yang sebagian besar merupakan
pencegahan penyakit rakyat dan penyakit menular, hanya bisa berhasil bila
rakyat yang bersangkutan menyokongnya. Hambatan di sini sangat terasa karena
rakyat pada umumnya lebih banyak menginginkan tindakan-tindakan preventif
seperti kebersihan, penyediaan air minum yang bersih, jamban, tidak dikaitkan
dengan kesehatan. Syarat lainnya yang diperlukan untuk mensukseskan kesehatan
rakyat adalah peningkatan taraf hidup (quality of life). Bidang ini dengan
sendirinya tidak bisa ditangani oleh Kementrian Kesehatan. Sebab itu nyatalah
bahwa keberhasilan juga bergantung pada keberhasilan seluruh aparatur
pemerintah. Selain itu, karena sebagian besar penduduk Indonesia berdiam di
daerah pedesaan, maka dengan sendirinya seluruh kegiatan preventif harus
dialihkan dari kota ke desa.
Perobahan orientasi dari daerah perkotaan ke daerah
pedesaan sama sekali tidak mudah bagi kementrian Kesehatan pada waktu itu.
Perobahan ini menyangkut pembangunan rumah-rumah sakit di daerah pedesaan yang
tidak sedikit biayanya. Selain itu diperlukan pula personalia yang mempunyai
orientasi ke desa pula. Untuk maksud inilah Menteri Kesehatan menciptakan dua
instansi baru dalam Kementrian Kesehatan Rakyat, dan instansi kedua adalah
Jawatan Usaha Higiene.
Jawatan Pendidikan Kesehatan Rakyat bertugas
mempelajari cara-cara dan peralatan yang dapat digunakan secara efisien dalam
usaha-usaha peningkatan kesehatan rakyat di pedesaan dan di kota-kota yang
banyak penduduk desanya. Selain itu jawatan ini juga bertugas untuk mencari
jalan yang paling baik untuk mendidik tenaga-tenaga para-medis serta cara-cara
yang baik untuk mengadakan penerangan kesehatan di daerah pedesaan. Cara-cara
dan peralatan yang dikemukakan oleh Jawatan Pendidikan Kesehatan Rakyat
kemudian diterapkan di daerah-daerah pedesaan oleh Jawatan Usaha Higiene.
Salah satu usaha dari Jawatan Usaha Higiene adalah
mengadakan pusat-pusat percontohan (pilot project) adalah apa yang dinamakan
“Plan Bandung”. Rencana yang dimulai pada tahun 1951 ini sesungguhnya sudah
lebih meningkat lagi dari sekedar rehabilitasi dan unifikasi saja. Dalam “plan”
atau rencana ini tidak saja segi preventif mendapat perhatian, tetapi juga segi
kuratif. Dalam menyusun rencana ini Dr. Leimena sangat dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalamannya di Rumah Sakit Imanuel (Bandung). Dalam bab ke II telah
dibentangkan, bahwa RS Imanuel lebih menekankan segi kuratif. Tetapi disamping
rumah sakit tsb., pihak Zending juga membangun berbagai poliklik di daerah
Kabupaten Bandung dan sekitarnya yang langsung menangani kebutuhan rakyat
pedesaan. Dengan demikian sudah sejak semula dokter-dokter RS Imanuel terlibat
dalam kegiatan-kegiatan preventif pula.
Kegiatan RS Imanuel dan rumahsakit-rumahsakit lainnya
di Bandung selama berpuluh tahun sebelumnya menimbulkan suatu keadaan di mana
rakyat sudah menjadi terbiasa dengan usaha kesehatan. Dalam perkataan Dr.
Leimena: mereka telah “medicine minded”. Inilah sebabnya pula pertama mengapa
Kabupaten Bandung dijadikan percontohan karena tanpa partisipasi yang konkrit
dari rakyat yang bersangkutan, mustahil usaha-usaha kesehatan rakyat bisa
berhasil. Sebab kedua mengapa Kabupaten Bandung dipilih oleh Dr. Leimena adalah
keadaan ekonomi rakyatnya yang relatif lebih baik. Faktor ini sangat diperlukan
karena sebagian dari pembiayaan kegiatan di daerah pedesaan diharapkan datang
dari pihak daerah.
Berdasarkan prinsip penggabungan antara segi preventif
yang biasanya dilakukan oleh pemerntah di masa lampau, dan segi kuratif yang
dalam masa lampau lebih banyak ditangani pihak swasta itulah, maka Rencana
Bandung tsb terdiri pula dari dua bagian besar. Bagian pertama mencakup
usaha-usaha kuratif. Kegiatan ini dipusatkan di rumah sakit pemerintah di
Bandung (RSU). Rumahsakit dari pihak swasta diminta kesediaannya pula untuk
mengarahkan kegiatannya sejalan dengan Rencana Bandung tsb. Untuk memenuhi
kebutuhan rakyat pedesaan, di setiap Kawedanan pemerintah harus membangun
sebuah Rumah Sakit Pembantu dengan 40 sampai 70 tempat tidur untuk menampung
kasus-kasus enteng saja. Di setiap kecamatan perlu dibangun pula sebuah Balai
Pengobatan yang ditangani seorang jururawat dari Rumah Sakit Pembantu tsb.
Rumah Sakit Pembantu maupun Balai Pengobatan tsb diawasi oleh seorang dokter
dari RSU.
Bagian kedua dari rencana Bandung mencakup usaha-usaha
preventif yang terutama berpusat di daerah pedesaan. Agar kegiatan ini mendapat
dukungan dari rakyat pedesaan, maka segala sepak terjangnya harus disesuaikan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di daerah pedesaan. Juru Higiene (Juru
Kesehatan) yang bertugas di suatu desa tertentu sebaiknya seorang yang dipilih
oleh penduduk desa tsb di antara kalangan mereka sendiri. Ia harus dianggap
sebagai pamong desa seperti halnya kepala desa. Ini berarti bahwa semua
keputusannya dalam menyelenggarakan kesehatan rakyat perlu dimusyawarahkan
dengan penduduk desa dan mendapat persetujuan mereka. Dengan sendirinya
pembiayaan hidupnya harus ditanggung oleh desa yang bersangkutan pula.
Tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang juru
Higiene mencakup pendidikan kesehatan, pengawasan kebersihan rumah, pasar dan
warung, pencatatan sumber-sumber penyakit seperti nyamuk, lalat, dll. Juru
Higiene di desa diawasi dan sebelumnya dilatih selama kurang lebih enam bulan,
oleh Mantri Kesehatan yang ditempatkan di ibukota kecamatan. Berbeda dengan
Juru Higiene, Mantri Kesehatan adalah pegawai negeri.
Rencana Bandung mula-mula dicoba di dua kecamatan dari
Kabupaten Bandung, yaitu Kecamatan Rancaekek dan Kecamatan Majalaya. Satu
sampai tiga desa dalam satu kecamatan mendapat sebuah Balai Pengobatan yang
dibangun di ibukota kecamatan juga mengawasi kegiatan kuratif di daerah
pedesaan.
Selain rencana Bandung, sejak tahun 1951 Kementrian
Kesehatan mengaktifkan beberapa lembaga preventif yang dibangun pada masa
penjajahan. Sejak tahun 1932 pemerintah Belanda telah membangun sebuah pusat
percontohan dan pendidikan kesehatan pedesaan di Purwokerto. Pekerjaan yang
terhenti pada masa pendudukan Jepang dan masa Perang Kemerdekaan itu digiatkan
lagi oleh Menteri Kesehatan. Selain itu di Yogyakarta juga dibangun suatu
sistem kesehatan rakyat yang mirip dengan Rencana Bandung. Sampai tahun 1954
sistem itu telah berhasil tujuh buah kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejak tahun 1948 di Magelang telah ada pula suatu sistem kesehatan rakyat yang
pada tahun 1954 telah meluas pula sampai tujuh kecamatan. Selain itu di sana
terdapat sebuah Sekolah Pendidikan Higiene yang menggunakan Balai-Balai
Pengobatan di kecamatan-kecamatan itu sebagai tempat praktek.
Suatu lembaga lain yang diaktifkan kembali adalah
Balai Penelitian Kesehatan Masyarakat di Jakarta yang dibangun pada tahun 1937.
“Hygiene Study Ward Centre” ini menyediakan fasilitas-fasilitas untuk
pendidikan para pegawai kesehatan masyarakat serta para mahasiswa kedokteran.
Selain itu data-data dikumpulkannya juga berguna bagi perluasan sistem kesehatan
masyarakat yang dibangun sejak tahun 1951 itu.
Perluasan proyek-proyek percontohan ke seluruh
Indonesia memang tidak dapat dibayangkan tanpa penelitian dan perencanaan yang
matang. Setiap daerah mempunyai ciri tersendiri yang harus diperhitungkan bagi keberhasilan
usaha itu. Selain itu perencanaan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia juga
membutuhkan kerjasama yang erat ditingkat pusat. Pembentukan Biro
Perancang.
Rencana yang mulai disusun pada awal tahun 1954 itu
mengambil Rencana Bandung sebagai inti yang disebarluaskan ke daerah-daerah
lain di Indonesia. Efisiensi bekerja yang dimungkinkan oleh rencana tsb dan
pembiayaan yang relatif rendah menyebabkan rencana itu terpilih sebagai contoh
yang berhasil. Untuk mudahnya kita dapat menamakan rencana yang disusun pada
tahun 1954 itu sebagai “Rencana Leimena”.
“Rencana Leimena” mencakup dua prinsip pokok. Pertama
adalah penggabungan antara usaha-usaha preventif dan usaha-usaha kuratif
seperti yang telah dilaksanakan dalam Rencana Bandung. Prinsip kedua adalah
perimnbangan antara kegiatan-kegiatan di daerah pedesaan dan daerah kota.
Prinsip kedua ini dilandaskan pada kenyataan, bahwa di Indonesia batas antara
kota (urban) dan desa (rural) tidak bisa ditarik secara tegas. Kedua lingkungan
itu tumpang-tindih (overlapping). Sebab itu, seperti halnya dengan Rencana
Bandung pula, unit kegiatan dipusatkan di ibukota Kabupaten dengan jaringan
yang mencakup kecamatan dan pedesaan.
Untuk menerapkan “Rencana Bandung” ke seluruh
Indonesia. Dr. Leimena dan stafnya menghadapi dua persoalan penting. Pertama
adalah soal pembiayaan, dan kedua adalah penentuan kabupaten mana yang
dijadikan bagian dari rencana itu. Hal ini disebabkan adanya
syarat-syarat obyektif untuk keberhasilan suatu proyek kesehatan masyarakat.
Seperti telah disinggung di atas, syarat-syarat itu adalah: partisipasi
masyarakat dan tingkat ekonomi masyarakat. Dalam hal pembiayaan Dr. Leimena dan
stafnya menghadapi satu alternatif, yaitu seluruh biaya dipikul oleh pemerintah
pusat, atau seluruh biaya dipikul oleh pemerintah daerah dengan pemerintah
pusat sebagai pemberi biaya intensif saja ataupun sebagai pemberi bantuan
tehnis saja. Kemungkinan terakhir mengandung pengertian bahwa terutama bagi
usaha-usaha preventif, desalah yang menjadi juru bayarnya.
Menentukan kabupaten-kabupaten mana yang bisa
disertakan dalam Rencana Leimena juga tidak mudah. Tiga kriteria yang dipakai
untuk memilih kabupaten-kabupaten itu adalah, pertama kabupaten yang rakyatnya
relatif makmur agar pembiayaannya sebagaian dapat berjalan secara swasembada.
Kedua, kesediaan rakyat untuk berpartisipasi dalam rencana-rencana kesehatan
rakyat yang sering tidak segera memperlihatkan hasil-hasil kongkrit. Ketiga,
sistem perhubungan yang baik dalam seluruh kabupaten yang memungkinkan rakyat
maupun pejabat pergi dan datang ke tempat-tempat pengobatan.
Dengan dasar kriteria itulah akhirnya terpilih sebelas
kabupaten, masing-masing Lahat (Sumatera Selatan), Agam (Sumatera Tengah),
Tapanuli Utara (Sumatera Utara), Aceh Besar (Sumatera Utara). Banjarmasin
(Kalimantan), Kutai (Kalimantan), Makasar (Sulawesi), Tomohon (Sulawesi), Ambon
(Maluku Tengah), Denpasar (Nusa Tenggara), Timor kupang (Nusa Tenggara),
Bondowoso (Jawa Timur), dan Kota Besar Jakarta (Jakarta Raya). Di daerah Jawa
Tengah pusat-pusat percontohan Yogyakarta dan Magelang diperluas pula.
Pilihan yang perlu ditentukan juga adalah perimbangan
antara usaha-usaha kuratif dan usaha-usaha preventif. Masalah di sini adalah
keuangan pula. Bila usaha-usaha kuratif dipentingkan, hal mana berarti
pembangungan rumah-rumah sakit, akan berarti pula pengeluaran yang lebih banyak
bidang itu. Para ahli WHO berpenfapat bahwa untuk daerah-daerah di Asia
sebaiknya segi preventif yang dipentingkan. Prinsip “it is better to prevent
than to cure” (lebih baik mencegah daripada menyembukan) dianut oleh Dr.
Leimena pula. Namun ia juga menyadari perkembangan sejarah kesehatan di
Indonesia di mana bidang kuratif sangat dilalaikan oleh pemerintah sehingga
merugikan rakyat di daerah pedesaan. Dengan mengingat sedikitnya dana yang
tersedia, maka akhirnya Dr. Leimena mencari jalan lain. Segi preventif
diutamakan, tetapi bersamaan dengan itu dikaitkan pula usaha-usaha kuratif.
Sebab itu diputuskan untuk lebih banyak membangun Pusat Kesehatan di daerah
pedesaan dan mengurangi pembangunan Rumahsakit Pembantu di ibukota kecamatan.
Setiap Pusat Kesehatan tsb dilengkapi dengan fasilitas tempat tidur sebanyak 10
sampai 15 buah untuk kegiatan-kegiatan kuratif. Kegiatan utama berupa
usaha-usaha preventif merupakan titik pusat dari Pusat Kesehatan ybs.
Rencana lima tahun (1954 – 1960) yang akhirnya
tersusun adalah sebagai berikut. Dalam tahun pertama, setiap kabupaten yang
telah terpilih tsb akan mendapat sebuah Pusat Kesehatan di sebuah kecamatannya.
Kemudian setiap dua tahun sekali ditambah lagi dengan sebuah Pusat Kesehatan
lain dalam kecamatan lain pula di Kabupaten ybs. Di ibukota Kabupaten, pada
awal rencana, akan dibangun sebuah Rumah Sakit Pembantu, dan setiap lima tahun
sekali ditambahkan dengan sebuah lagi. Dengan demikian pada akhir rencana lima
tahun itu disetiap kabupaten yang terpilih akan tersedia tiga buah Pusat
Kesehatan dan dua buah Rumah sakit Pembantu.
Disamping pembangunan gedung-gedung Pusat Kesehatan
dan Rumah sakit Pembantu dengan sendirinya pembangunan Rumah Sakit Pusat dan
Poliklinik diusahakan pula dalam Rencana tsb. Demikian pula perbaikan dan
perluasan rumahsakit-rumahsakit yang telah ada. Selain itu rencana tsb juga
mencakup usaha-usaha lain seperti pemberantasan pelbagai penyakit menular dan
penyakit rakyat. Di antara penyakit rakyat yang mendapat perhatian khusus
adalah malaria. Menurut perhitungan pada waktu itu penyakit ini merupakan
pembunuh terbesar di Indonesia. Diperkirakan setiap tahun terjadi 120.000
kematian disebabkan malaria. Selain itu ternyata pula bahwa kira-kira 30 juta
penduduk Indonesia menderita penyakit itu. Untuk mengatasinya para ahli WHO
menganjurkan penyemprotan DDT sebagai tindakan utama disamping menelan pil
kina. Perencanaan yang terperinci untuk penyemprotan daerah-daerah yang paling
berbahaya selama jangka waktu lima tahun diambil karena dalam waktu itulah
kekebalan DDT bisa bertahan. Sesudah itu perlu diadakan penyemprotan lagi di
tempat-tempat yang masih mengandung bibit malaria.
Suatu bagian lain dari Rencana Leimena yang menarik
adalah “environmental sanitation” atau kesehatan lingkungan hidup. Usaha ini
bermaksud untuk mengawasi faktor-faktor di alam sekeliling manusia yang
mempengaruhi kehidiupannya sehingga tidak membahayakan kesehatannya. Termasuk
di sini adalah faktor-faktor biologis seperti tumbuhan dan hewan yang membawa
bibit penyakit, dan sosiologis atau pergaulan hidup yang juga bisa
mengakibatkan gangguan kesehatan. Terutama untuk kesehatan di daerah pedesaan
segi ini perlu sekali diperhatikan. Air bersih, udara bersih, makanan sehat dan
perumahan yang baik merupakan usaha-usaha yang kongkrit untuk menjamin
kesehatan lingkungan hidup.
Sehubungan dengan kesehatan lingkungan hidup adalah
kesehatan industri (industrial hygiene) atau lebih tepat kesehatan buruh. Segi
ini memang sudah mulai diperhatikan pada masa-masa sebelumnya, terutama di
Sumatera Timur. Pihak pemerintah Hindia Belanda pun tidak melalaikannya
sekalipun belum ada usaha secara besar-besaran ketika itu. Sejak 1950 pihak RI
juga tidak mau ketinggalan. Kementerian Kesehatan membentuk Jawatan Keselamatan
Kerja dan Jawatan Pengawasan Keselamatan Kerja. Juga Kementrian Perburuhan dan
Kementrian Sosial mempunyai jawatan-jawatan serupa. Dr. Leimena mengemukakan
bahwa keadaan ini perlu diubah dan disederhanakan. Dalam rencananya ia
menganjurkan agar dibentuk satu badan saja di dalam Kementerian Perburuhan yang
dapat menyalurkan tenaga-tenaga medis ke daerah perindustrian. Badan yang
dinamakan Lembaga Hygiene Perusahaan (LHP) itu dilengkapi dengan suatu dewan direksi
yang terdiri dari unsur-unsur ketiga kementerian tadi.
Masalah partisipasi rakyat dalam rencana-rencana
kesehatan masyarakat juga menjadi suatu pokok yang penting dari rencana tsb.
Adalah suatu faktor yang penting bagi keberhasilan rencana kesehatan masyarakat
bila rakyat dengan rela dan penuh perhatian menyokong setiap usaha mulai dari
tingkat pusat sampai ke desa-desa. Dengan demikian rencana-rencana kesehatan
perlu dilengkapi dengan rencana-rencana penerangan. Persoalannnya di sini,
menurut Dr. Leimena, adalah cara-cara yang harus digunakan untuk memberi
penerangan. Sudah barang tentu cara-caranya harus dimengerti oleh rakyat dan
bersifat persuasif. Hasil yang segera tidak akan nampak sehingga perlulah
dicari cara-cara yang lebih efektif untuk menginsafkan rakyat bahwa perencanan
ini dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka juga. Untuk
kepentingan-kepentingan penerangan yang efektif inilah Dr. Leimena menganjurkan
agar pejabat-pejabat Kesehatan Masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial-budaya.
Pengetahuan mengenai sosiologi, antropologi, adat-istiadat adalah
suatu syarat mutlak bagi pejabat-pejabat kesehatan yang bertugas di daerah
pedesaan.
Sejarah mencatat bahwa “Rencana leimena” maupun
rencana-rencana lainnya dalam masa Orde Lama tidak terlaksana seluruhnya.
Terpikatnya Bung Karno dengan masalah-masalah luar negeri seperti perjuangan
“ganyang malaysia” menyerap sebagian besar dari energi kabinet. Selain itu
keuangan yang diperlukan juga tidak ada karena pihak luar negeri pada waktu itu
tidak bersedia memberi pinjaman-pinjaman kepada Indonesia. Namun demikian, pola
dasar pembinaan kesehatan masyarakat disusun Dr. Leimena kemudian dipakai pula
pada masa orde baru. Buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia yang disusun
oleh sebuah panitia dengan koordinator Dr. Leimena sejak tahun 1975, mengakui
bahwa sistem Puskesmas sekarang adalah pertumbuhan dari “Plan Bandung”.
Permasalahan lain yang tidak kurang penting dalam
tahun 1950-an adalah masalah kesusilaan dokter (etika kedokteran atau
deontologi). Pada waktu itu nampak jelas adanya kecenderungan ke arah
merosotnya segi ini dari profesi kedokteran sehingga IDI memandang perlu
mencantumkan matapelajaran etika kedokteran dalam kursus-kursusnya. Sebagai
Menteri Kesehatan Dr. Leimena pun memperhatikannya seperti nampak dari sebuah
ceramahnya kepada IDI di tahun 1951. Ia berpendapat bahwa Sumpah Hipokrates
tetap masih merupakan dasar dari etika kedokteran. Sebagai etika Sumpah
Hipokrates bisa digolongkan dalam falsafah, tetapi karena di dalamnya diakui
pula ajaran-ajaran agama sebagai sumber etika maka Sumpah Jabatan itu tidak
bisa dilepaskan dari agama yang dianut seorang dokter. Tiga soko-gurunya adalah
hubungan dokter-pasien, tugas utama dokter, dan rahasia jabatan. Dokter harus
bersifat “gentleman” terhadap pasiennya dan tidak menganggap sekedar “kasus
yang menarik”, sedangkan tugas utamanya adalah menyembuhkan. Memperpendek usia
seorang pasien walau dengan maksud meringankan bebannya, adalah tindakan yang
bertentangan dengan etik kedokteran. Mengenai rahasia jabatan Dr. Leimena
mengemukakan beberapa pasal dari KUHP dan peraturan-peraturanyang
menetapkannya. Namun kesimpang-siuran dalam pelbagai peraturan itu, dan
kenyataan bahwa pada saat itu tradisi kedokteran belum terlalu panjang usianya
di Indonesia, maka pasal-pasal tsb tidak akan banyak membantu seorang dokter
dalam menentukan kapan rahasia jabatan harus dipegang teguh dan kapan tidak,
umpamanya jika ia wajib memberi keterangan-keterangan kepada kepolisian. Sebab
itu Dr. Leimena berusaha memberi suatu pedoman yang dapat digunakan untuk
mengatasi keadaan yang membingungkan itu.
Menurut pedoman Leimena mengenai Sumpah Jabatan,
keterangan-keterangan medis yang bersifat rahasia hanya bisa diberikan kepada
seorang hakim, dan itupun harus tertulis. Itu sebabnya ia berpendapat bahwa
rahasia jabatan seorang dokter bukanlah rahasia yang mutlak. Namun sekalipun
bukan rahasia mutlak, seorang dokter harus pula mempertimbangkan kepentingan
masyarakat pada umumnya. Dengan demikian tergantung pada kesadaran seorang
dokter-lah kapan ia bisa membuka rahasia jabatan dan kapan tidak. Tekanan pada
kesadaran masing-masing orang ini merupakan titik tolak pada kesadaran
seseorang, ia beranggapan bahwa setiap krisis yang menimpa masyarakat, bangsa,
dan pribadi, dapat diatasi dengan kebijaksanaan.
V
DR. LEIMENA SEBAGAI NEGARAWAN
Pembawaan Dr. Leimena yang tenang, hati-hati, prasaja
dan penuh dedikasi tidak pernah berubah dalam masa-masa berikutnya. Istilah
“rustig-rustig” (tenang-tenang) pernah di-identikkan dengan nama Leimena. Setia
kawan dan akrab juga merupakan ciri-ciri yang tidak pernah luntur dalam situasi
apapun. Sesuai ajaran-ajaran Kristen kasih selalu nampak dalam hidupnya.
Dalam pandangan mengencai negara dan masyarakat kita
bisa juga melihat adanya kontinuitas. Dalam kamus politik Indonesia
istilah-istilah “nation-building” dan “character-building” pernah merupakan dua
perkataan yang mencakup hampir keseluruhan kehidupan politik. Bidang-bidang
atau rencana-rencana apapun yang keluar dari pemerintah pada waktu itu tidak
dapat tidak akan dilandaskan kepada tujuan pembinaan bangsa dan kepribadian
nasional. Usaha memberi warna yang khas pada bangsa Indonesia sehingga nampak
jelas kehadirannya dalam panggung sejarah bangsa-bangsa modern merupakan tujuan
yang sangat didambakan ketika itu.
Dengan latar belakang pergerakan Oikumene dan
pergerakan Nasional sudah barang tentu usaha-usaha menjadikan masyarakat
Indonesia suatu bangsa yang bermartabat tinggi menarik Dr. Leimena pula.
Perhatian yang utamanya adalah orang-orang Kristen. Tujuan perorangan adalah
menjadikan orang-orang Kristen bagian yang mutlak dari bangsa Indonesia.
Kedudukan sebagai “minoritas” Kristen diusahakan tidak nampak karena menurut
pendapatnya “minoritas” berarti menyendiri (isolasi) sedangkan tugas seorang
Kristen justru adalah menjadi “saksi” dalam masyarakat. Landasan itulah,
menurut pendapatnya, mengharuskan orang-orang Kristen berpartisipasi dalm
setiap segi kehidupan bangsa Indonesia. Dasar pandangan ini tetap konstan sampai
akhir hidupnya. Hanya bila kita melihat pengalaman-pengalamannya dalam politik
praktis, maka nampaklah ada perbedaan besar antara masa sebelum dan sesudah
1957, terutama sejak 1959.
Permasalahan masyarakat Kristen dalam pembinaan bangsa
sebenarnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Ia beranggapan, bahwa
setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya orang-orang Kristen di Indonesia
tidak serempak menerima keanggautannya dalam bangsa yang baru merdeka itu.
Perbedaan-perbedaan yang tajam yang nampak antara pelbagai bagian dalam
masyarakat Kristen mengenai masalah persatuan kebangsaan masih tetap sama
seperti dalam tahun-tahun 1930-an. Perbedaannya kini, setelah Indonesia
merdeka, adalah, bahwa umat Kristen telah memiliki beberapa wahana yang dapat dijadikan
alat perjuangan kesatuan nasional yang ampuh. Wahana perjuangan yang pertama
adalah Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan yang kedua adalah Dewan
Gereja-Gereja di Indoenesia (DGI). Selain itu organisasi mahasiswa Kristen
(GMKI) juga dianggapnya suatu alat yang tidak kurang penting bagi gerakan
Oikumene dan persatuan nasional seperti CSV sebelumnya.
Sejak menjabat Menteri Muda Kesehatan dalam Kabinet
Syahrir kedua (1946) Dr . Leimena sudah menjadi orang penting dalam Parkindo.
Setahun sesudah namanya tercantum pula dalam deretan nama-nama pengurus
pusatnya yang dipimpin Ds. Basuki Probowinoto. Kemudian antara tahun 1950
sampai 1957 ia menggantikan Ds. Prabowinoto sebagai ketua pimpinan Parkindo.
Sejak itu nama Dr. Leimena dan nama Mr. Tambunan tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan orpol itu. Ada yang malah menamakan mereka berdua “dwitunggal”
Parkindo. Dr. Leimena mewakilinya dalam bidang eksekutif sedangkan Mr. Tambunan
mewakilinya dalam bidang legislatif. Dengan latarbelakang itu pulalah masing-masing
mencoba menyoroti permasalahan-permasalahan nasional dan mencari jalan
penyelesaiannya. Dengan latar-belakang itu pulalah timbul perbedaan-perbedaan
antara keduanya. Dengan menelusuri sejarah kehidupan kedua tokoh Parkindo ini
kita sebenarnya bisa menemukan seluruh permasalahan-permasalahan nasional yang
dihadapi bangsa Indonesia. Cita-cita perjuangan, perbedaan-perbedaan pandangan,
polarisasi kepartaian, yang merupakan ciri-ciri pokok sejarah masa itu, dapat
kita temukan kembali dalam diri kedua sesepuh Parkindo itu. Dalam tahun 1959
Dr. Leimena memilih “Demokrasi Terpimpin” sedangkan Mr. Tambunan memilih “Liga
Demokrasi”, dua macam tafsiran dari permasalahan yang sama.
Selain Parkindo sebagai suastu wahana pembinaan bangsa
di kalangan Kristen, ada pula Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI). Berbeda
sekali dengan pembentukan Parkindo, dalam rapat pembentukan DGI, Dr. Leimena
turut hadir dan memainkan peranan yang penting. Gerakan pembentukan suatu
gereja yang esa di Indonesia sebenarnya sudah timbul sejak sebelum Perang
Pasifik. Selain itu selama Konperensi Dewan Zending Internasional (IMC) di
tambaram pada tahun 1938 ia pun sudah berpartisipasi dalam usaha-usaha
pembentukan wadah kesatuan suatu wadah kesatuan gereja-gereja sedunia. Dan
sekembali di Indonesia Dr. Leimena turut dalam sebuah rapat yang bertujuan
membentuk Dewan Gereja-Gereja dan Zending. Tetapi karena situasi perang dunia
kedua, tak lama sesudah itu usaha itu pun gagal. Pada tahun 1948, beberapa
tokoh Oikumene di Indonesia mengambil prakarsa untuk melontarkan kembali ide
keesaan kepada pelbagai gereja di Indonesia dalam suatu konperensi di Jakarta.
Setahun kemudian mereka berhasil menyelenggarakan suatu konperensi yang
dihadiri tokoh-tokoh gereja lainnya. Tiga tokoh gereja yagn memainkan peranan
terpenting dalam usaha-usaha persiapan itu adalah Pendeta T.S. Sihombing yagn
mewakili Majelis-majelis Gereja di Sumatera, Pendeta B. Probowinoto, salah
seorang pendiri Parkindo, yang mewakili majelis-majelis Gereja di Indonesia
bagian Timur. Mereka mengirim surat-surat kepada pelbagai gereja di Indoensia
dengan usul untuk membentuk suatu Panitia Perancang yang akan membentuk suatu
“Majelis Gereja-Gerja di Indonesia”. Panitia Perancang yang kemudian terbentuk
dengan pimpinan Prof. Dr. Mulia, berhasil mengadakan rapat-rapat persiapan di
Jakarta pada bulan Nopember 1949. Tidak kurang dari 29 organisasi gereja yang
tersebar di Indonesia mengirimkan wakil-wakilnya. Sekretaris Jenderal Dewan
Gereja-Gereja se-Dunia, Dr. Visser ‘t Hooft, juga hadir pada waktu itu bersama
Sekretaris Jenderal Dewan Pekabaran Injil Internasional. Pada saat itulah
diputuskan untuk membentuk suatu Dewan Gereja-gereja di Indonesia sebagai
“tempat permusyawaratan dan usaha bersama.” Selain “tempat musyawarah” seperti
halnya dengan dewan-dewan gereja di negara-negara lainnya di dunia ini, “DGI di
Indonesia itu haruslah dipandang sebagai jembatan yang akan membawa keesaan
Gereja di Indonesia.”
Adanya banyak gereja di Indonesia disebabkan oleh dua
hal: pertama adanya perbedaan bahasa dan adat antar suku-suku; dan kedua adanya
perbedaan-perbedaan konfensional (Hervormd, Lutheran, Methodis, Baptis,
d.l.l.). Bagi Dr. Leimena yang sejak semula telah mempunyai kesadaran nasional
yang tinggi, adanya gereja-gereja suku dan konfensional ini merupakan suatu
kejanggalan. Baginya persatuan bangsa harus juga berarti persatuan dalam
gereja. Ini merupakan suatu konsekwensi logis dari pendirian-pendiriannya yang
tidak saja berdasarkan nasionalisme, tetapi terutama berdasarkan cita-cita
gerakan Oikumene.
Pengesahan berdirinya DGI ditunda sampai bulan Mei
1950 karena keputusan-keputusan Konperensi persiapan itu perlu dibahas dan
diterima oleh masing-masing gereja. Tanggal 25 Mei 1950 dianggap sebagai hari
lahirnya DGI. Pada kesempatan itu Dr. Leimena memberi pengarahan dengan judul
“Hubungan Gereja dan Negara”. Sayang sekali ceramah ini tidak dapat ditemukan
kembali, tetapi rupanya isinya tidak berbeda dengan ceramah-ceramah lainnya
yang masih tersimpan karena dicetak oleh Badan Penerbit Kristen. Sejak Konperensi
pembentukan ini Dr. Leimena terpilih sebagai Wakil Ketua DGI dan sebagai ketua
salah satu Komisi DGI, yaitu Komisi Gereja dan Negara. Tugas kedua ini
dijalankannya sampai tahun 1958 ketika timbul perbedaan pandangannya tentang
masalah politik dengan anggauta pimpinan DGI lainnya. Anggauta-anggauta lainnya
dari Komisi ini adalah Mr. A.M. tambunan, Ds. Probowinoto, Dr. Verkuyl, Ds.
Rumambi, Ds. Susilo, Bapak Abednego dan Fet Mien sebagai Bendahara. Dr. Leimena
menjabat pula sebagai anggota badan Pengurus harian disamping tokoh-tokoh
Oikumene di Indonesia lainnya seperti Mr. Tine Frans, Ds. Tjan Tong Ho dan Dr.
C. Nainggolan. Ketua Umum pertama dari DGI adalah Prof. Dr. Mr. Todung Sutan
Gunung Mulia seorang ahli pendidikan dan kebudayaan yang telah berkecimpung
dalam dunia Zending dan oikumene sejak tahun 1920-an. Dalam konperensi Zending
di Jerusalem kpada tahun 1928 ia menjadi salah seorang utusan dari Indoensia.
Pada masa pergerakan nasional ia berkecimpung dalam Volksraad dan salah seorang
anggauta ComMisie Visman bersama Prof. Dr. Mr. Supomo yang bertugas
mengajukan saran –saran untuk penyempurnaan sistem pemerintahan pada masa itu.
Tetapi perhatiannya pada bidang pendidikan dan kebudayaan lebih banyak menonjol
di samping kegiatan gerejani. Ia pernah menjabat Menteri Pengajaran dalam
Kabinet Syahrir I sebagai wakil Parkindo (Nopember 1945 sampai Maret 1946).
Kemudian selain sebagai Ketua Umum DGI ia juga dikenal sebagai Rektor UKI yang
pertama.
Dalam masa pertama, yaitu sampai tahun 1957, nampak
jelas kesejajaran perjuangan Dr. Leimena dengan aspirasi-aspirasi politik yang
nampak dalam Parkindo maupun dalam DGI. Sejak semula nampak jelas bahwa bagi
para pemimpin partai maupun pemimpin gereja serta Dr. Leimena pribadi, ciri
pokok jaman itu adalah ketidakpastian dalam segala bidang. DGI dalam Sidang
Rayanya yang kedua pada tahun 1953 menggaris-bawahi adanya “kegoncangan yang
besar” di seluruh Asia, khususnya di Indonesia. Keadaan di Indonesia ini
terutama disebabkan suasana post-revolution yang menempatkan masyarakat
Indonesia pada “tingkat peralihan”. Dalam situasi itulah DGI berpendapat bahwa
umat Kristen mempunyai tanggung jawab untuk membangun suatu masyarakat baru,
bersama orang-orang Indonesia lainnya. Sikap ini kemudian dinamakan sikap
“masyarakat yang bertanggung jawab” yang merupakan inti dari perjuangan gerakan
tahun 1950-an.
Dr. Leimena lebih senang menggunakan istilah “krisis”
dan melihatnya dari sudut kedudukannya sebagai anggauta lembaga pemerintah.
Dari sudut itu nampak jelas bahwa keadaan di Indonesia, memang jauh dari
memuaskan. Sebagai seorang dokter aspek-aspek buruk itu dilihatnya sebagai
“penyakit”. Pergolakan “RMS” di Maluku Tengah, pergolakan DI/TII di Jawa Barat,
krisis-krisis kabinet, pertikaian-pertikaian dan polarisasi kepartaian, temasuk
dalam jenis krisis itu. Krisis-krisis ini berkembang sampai mencatat bahwa Dr.
Leimena akhirnya memilih Sukarno dalam polarisasi politik di tahun-tahun
1950-an itu dan muncul juga dalam masa yang sering dinamakan masa “Demokrasi
Terpimpin”.
Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai
pemikiran Dr. Leimena pada masa- masa 1950-an ini ada baiknya kita lihat
beberapa tulisannya yang diterbitkan antara tahun 1952 dan 1954. Menurut
pendapatnya krisis di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari krisis yang sedang
melanda dunia pada umumnya. Ketergantungan pada perkembangan dunia tersebut,
menurut Dr. Leimena, disebabkan beberapa faktor. Pertama-tama adalah
kolonialisme. Kolonialisme Barat yang dihadapi bangsa-bangsa di Timur itu
“rupanya mempunyai suatu fungsi dalam sejarah”, yaitu mengikat kepulauan
Nusantara kita dengan perkembangan di Eropa. Faktor lainnya, adalah masuknya
pelbagai agama besar seperti Islam dan agama Kristen yang mengkaitkan penduduk
Nusantara secara rohaniah dengan penduduk di bagian-bagian lain dari muka bumi
ini. Faktor ketiga adalah perkembangan ilmu dan teknologi yang menghasilkan
mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, radio dan alat-alat komunikasi
modern lainnya. Penemuan-penemuan ini menyebabkan manusia bisa dengan cepat
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Jarak antara kota-kota besar di
Indonesia, maupun antara Indonesia dan Eropa kini dapat ditempuh dalam waktu
singkat saja.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan dunia menjadi
kecil dan satu (one world). Tetapi bersamaan dengan itu
pertentangan-pertentangan di satu bagian dari dunia kita terasas pula di
bagian-bagian lainnya. Jadi ada segi-segi baik dan ada pula segi-segi yang
buruk dari perkembangan itu.
Dr. Leimena tidak menyangkal pendapat dari kalangan
intelektuil tertentu bahwa situasi di Indonesia sebenarnya adalah situasi
peralihan. Masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita kemerdekaan,
umpamanya, belum ada bentuknya pada masa itu. Untuk mencapai tujuan-tujuan
perjuangan kemerdekaan memang dibutuhkan juga suatu “omschakeling can de
geest” (perubahan mentalitas). Menurut Dr. Leimena hal itu disebabkan,
pertama-tama, sejak penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda (1949), kita
menerima warisan dari pihak kolonial yang sebenarnya tidak ada isinya. Negara kita
kekurangan tenaga ahli di semua bidang, ketentaraan kita tidak teratur dan
pamongpraja perlu disusun lagi. Kedua, revolusi nasional kita mengakibatkan
perubahan-perubahan dalam pelapisan masyarakat. Lapisan yang dalam masa
kolonial selalu ditekan kini muncul memegang pimpinan. Selain itu ada pula
masalah-masalah khusus seperti masalah pemuda, masalah pembangunan daerah
pedesaan, perkembangan perkotaan. Faktor ketiga adalah masuknya faham-faham
baru dalam kebudayaan kita seperti faham kemerdekaan, demokrasi dan keadilan
sosial. Faktor keempat adalah belum adanya persesuaian pendapat mengenai dasar
negara yang paling baik bagi bangsa Indonesia. Apakah negara kita harus
didasarkan pada agama Islam, atau pada Komunisme, ataukah tetap pada Pancasila.
Ia menambahkan, faktor-faktor ini memang bersifat sementara dan oleh sebab itu
masa yang sedang kita hadapi ini mengandung ciri-ciri peralihan.
Tetapi Dr. Leimena berpendapat, bahwa sejajar dengan
faktor peralihan tersebut ada faktor-faktor yang lebih berbahaya, faktor-faktor
yang menimbulkan krisis atau penyakit. Korupsi dan apatisme (sikap masa bodoh)
termasuk dalam kategori penyakit sosial. Demikian pula tidak adanya persatuan
dalam lapangan politik dan belum adanya keseimbangan antara kekuasaan dan
kewibawaan. Selain itu belum ada kesepakatan mengenai apa yang dianggap ekonomi
nasional, pendidikan nasional, kebudayaan nasional. Kemiskinan yang merajalela
juga merupakan suatu faktor krisis yagn perlu ditangani secara khusus pula.
Ada pendapat-pendapat yang menekankan, bahwa pada
dasarnya semua gejala krisis tersebut dapat disatukan menjadi krisis
kebudayaan. Ada juga yang menandaskan, bahwa dasarnya adalah krisis
kepemimpinan. Dr. Leimena menambahkan bahwa sesungguhnya dasar-dasar kebudayaan
dan kepemimpinan tersebut masih harus ditambahkan dengan dasar keagamaan.
Krisis kepemimpinan, umpamanya, menunjukan kekurangan nilai-nilai etika. Dalam
hal ini ia setuju dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya pada
Diskusi Besar Demoralisasi Pelajar pada tanggal 28 Februari 1955 di Yogya. Dr.
Hatta pada waktu itu menunjuk pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar
yang harus lebih banyak diperhatikan.
Salah satu faktor lain yang sering dilihat sebagai
sumber krisis adalah komunisme. Dalam situasi di mana kemiskinan merupakan
suatu gejala umum dan kenyataan bahwa hanya satu golongan saja yang menikmati
kekayaan alam, komunisme bisa mendapat tempat yang subur. Gejala-gejala yang
nampak pada golongan atas seperti kecenderungan untuk menekankan segi-segi
materi saja, kurang pengertian mengenai aspirasi-aspirasi golongan tani dan
buruh sekularisasi, bisa pula menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan
komunisme. Khususnya golongan pemuda yang tidak merasa betah dalam masyarakat
merupakan tempat yang baik bagi perkembangan ideologi itu, karena pada umumnya
para pemuda membutuhkan suatu idealisme untuk memberi arti dalam hidupnya.
Penekanan kaum komunisme pada usaha-usaha pemberantasan kemiskinan bisa
merupakan suatu daya tarik yang kuat di kalangan pemuda yang ingin berbuat
sesuatu bagi masyarakat. Lebih kuat dari itu, komunisme dengan slogan-slogan
dan ajaran-ajarannya sering menimbulkan kesan adanya harapan di ujung jalan
yang mereka berikan. Unsur harapan inilah yang sering tidak ada dalam situasi
krisis itu. Sejarah dunia membuktikan bahwa faktor-faktor yang memungkinkan
timbulnya komunisme tersebut bukan sekedar teori. Di Rusia Lenin dan Stalin
berhasil membangun suatu sistem pemerintahan komunis justru karena golongan
tani dalam masyarakat Rusia tidak lagi menaruh harapan pada sistem pemerintahan
Tsar. Sistem komunisme bangkit pula di Cina karena rakyat menjadi sinis,
kehilangan kepercayaan, kehilangan tujuan, sementara korupsi merajalela di
kalangan pemerintahan. Di daerah-daerah tertentu di India muncul kekuasaan
komunis karena adanya perbedaan yang menyolok antara kehidupan tuan tanah yang
mewah dan buruh tani yang melarat. Kemudian, Dr. Leimena menandaskan, bahwa di
Indonesia pengaruh komunisme jangan diremehkan karena ternyata sebagian dari
golongan buruh dan tani sudah terperangah oleh propagandanya.
Untuk mengatasi sumber krisis ini memang sangat perlu
adanya usaha-usaha yang lebih besar untuk meningkatkan kemakmuran. Terutama
daerah pedesaan memerlukan perhatian khusus dengan proyek-proyek yang bisa
membangkitkan penyediaan makanan, pakaian, perumahan dan keamanan. Selain itu
korupsi di kalangan pemerintah dan swasta perlu pula dihilangkan disamping
menghilangkan perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam kehidupan politik.
Suatu cara lain untuk mengatasi krisis yang bersumber
pada komunisme adalah dengan cara mempelajari dengan seksama ajaran-ajaran yagn
termaktub di dalam komunisme. Konperensi Gereja-gereja Anglikan di tahun 1930,
umpamannya, telah menekankan agar umat Kristen mempelajari ajaran itu agar tidak
terjebak oleh rayuan-rayaunnya. Ajaran itu bisa menyesatkan, karena di samping
segi yang jelas bertentangan dengan ajaran Kristus (yaitu pandangan tentang
manusia dan sejarahnya), komunisme mengandung segi-segi yang riil seperti
gugatan-gugatannya mengenai kepincangan-kepincangan dalam masyarakat.
Dalam uraiannya mengenai komunisme, Dr. Leimena
membedakan antara filsafat komunisme mengenai manusia dan sejarah dan teori
sosial ekonominya. Ia berusaha menelusuri jalan pikiran Marx yagn dipengaruhi
oleh beberapa faktor dari kebudayaan Eropa seperti revolusi Industri abad
ke-19, politik kekerasan (power politics) abad ke-19, mesianisme Jahudi,
filsafat Hegel, dan sosialisme Perancis. Inti-inti pokok dari ajaran Marxisme
adalah sanggahan atas teori nilai lebih dari ajaran kapitalisme, sosialisme
(alat produksi harus dalam tangan umum), metode analisa dialektis materialisme,
filsafat sejarah dengan determinasi ekonomi, perjuangan kelas, revolusi,
relativitas ajaran-ajaran moral, kediktatoran proletariat, masyarakat tanpa
kelas, atheisme, “tujuan menghalalkan cara-cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu”.
Seluruh ajaran komunis mengenai masyarakat, sejarah
dan manusia itu jelas bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Menurut paham
Kristen sejarah ditentukan oleh kemauan Tuhan dan manusia diciptakan menurut
peta dan gambar Allah. Namun menurut Dr. Leimena, kritik ajaran komunis
mengenai masyarakat dan keadaan ekonominya ada kebenarannya. Segi itulah yang
merupakan sumber krisis yang sesungguhnya dari kehidupan kita.
Menurut tanggapan Dr. Leimena sumber luar yang
menyebabkan krisis di Indonesia itu harus ditambahkan dengan sumber-sumber
krisis yang ada di Indonesia sendiri. Salah satu sumber krisis itu muncul di
kalangan masyarakat Kristen. Pada tahun-tahun pertama sesudah revolusi banyak
orang Kristen di Indonesia bermental apatis, tidak mau tahu tentang bangsanya
dan negaranya. Golongan Kristen seperti ini bermacam-macam, paling kurang ada
tiga macam. Pertama, golongan yang kecewa. Golongan ini tidak bisa membedakan
antara faktor-faktor peralihan dan faktor-faktor krisis. Mereka melihat seluruh
pergolakan sebagai suatu krisis dan mengidap nostalgia pada masa lampau di kala
penjajah bisa menjamin ketenangan dan kehidupan. Golongan kedua adalah mereka
yang takut. Golongan ini tidak bisa menempatkan peristiwa-peristiwa
politik, ekonomi dan sosial, serta keamanan di Indonesia pada perspektif yagn
benar. Golongan ketiga adalah yang ingin menyendiri. Mereka adalah
orang-orang yang saleh (pietistis-individualistis) yang berpendapat bahwa
gereja dan negara adalah dua bidang yang terpisah sama sekali.
Menurut Dr. Leimena, sebab-sebab munculnya ketiga
golongan tersebut diantara golongan Kristen lainnya yang bisa mengerti suasana
tahun 1950-an itu adalah, pertama kurang pemahaman tentang sejarah
Indonesia. Kedua, kurang pemahaman tentang revolusi Indonesia. Ketiga,
kurang pemahamanan tentang kewajiban mereka sebagai anggauta Gereja.
Untuk menerangkan sebab pertama ia menguraikan lagi pahamnya mengenai sejarah.
Sejarah dilihat secara metodologis adalah “rangkaian yang logis dari
fakta-fakta” sekalipun kadang-kadang ada pula faktor ”kebetulan” yang tidak
terduga sebelumnya. Secara filosofis sejarah dilihat dari sudut ajaran-ajaran
Kristus, yaitu suatu proses perjalanan umat manusia yang telah digariskan
Tuhan. Namun dalam proses itu manusia masih mempunyai kebebasan untuk mengambil
inisiatif, mereka harus menanggulangi tantangan (challenge) yang timbul dalam
lingkungan mereka. Penanggulangan (respons) yang didasarkan iman itu akan
memberi corak dari kehidupan mereka sebagai individu ataupun sebagai
bangsa.
Mengenai revolusi nasional dikemukakannya, bahwa yang
dimaksud di sini adalah perubahan bentuk negara. Contohnya dalam sejarah dunia
adalah Revolusi Cina, Rusia, Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. Tetapi
revolusi nasional Indonesia mempunyai suatu segi yang tidak terdapat dalam
revolusi negara-negara tersebut di atas, yaitu perlawanan terhadap penjajah
asing. Dasar-dasar teologis dari revolusi ini sudah dirumuskan dalam konperensi
Gereja di Bogor (1948) dan konperensi Gereja di bangkok (1949). Orang Kristen
diharuskan berpartisipasi dalam segala lapangan hidup untuk mewujudkan
peranannya sebagai saksi dari kebesaran Kristus di dunia ini. Sikap orang
Kristen harus “dialektis” karena situasi mereka yang mendua itu, yaitu berada
“di dunia ini” dan sekaligus menjadi bagian dari “kerajaan Allah”. Sebagai
bagian dari “kerajaan Allah” ia harus mampu menilai apa yang baik dan apa yang
buruk, menerima yang baik dan menolak yang buruk “di dunia ini”.
Tentang sebab yang ketiga mengapa ada orang-orang
Kristen Indonesia tidak mau tahu atau menolak perkembangan negara dan bangsanya
Dr. Leimena membuat suatu analisa yang khusus. Dalam tulisannya yang berjudul Kewarganegaraan
Yang Bertanggungjawab (1955) keseluruhan persoalam ditinjaunnya dari segi
yang lebih luas, yaitu hasil-hasil pembahasan Dewan Gereja-Gereja se Dunia
dalam Sidang Raya 1948 di Amsterdam. Sejak berdirinya Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia pada tahun 1950, dan terutama sejak Sidang ke – II pada tahun 1953,
konsep kewarganegaraan yagn bertanggungjawab sudah dijadikan mlandasan pokok
perjuangan Oikumene di Indonesia pula. Sekalipun mengenai masalah masalah
sebab-sebab kegoncangan di tahun-tahun 1950-an Dr. Leimena sedikit-banyaknya
berbeda pendapat dengan DGI yang melihat zaman itu sebagai zaman peralihan,
tetapi mengenai cara orang Kristen berpartisipasi dalam kehidupan negara dan
masyarakat, rupanya tidak terdapat perbedaan-perbedaan yang pokok. Menurut
pengertian Oikumenis itu, warga-warga dari suatu negara diwajibkan turut
bertanggungjawab atas maju mundurnya keadaan bangsa mereka. Termasuk dalam
pengertian itu adalah hak untuk menyatakan ketidak-setujuan dengan keadaan atau
peristiwa-peristiwa yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan Kristen.
Rumusan “kewarganegaraan yang bertanggungjawab”
tersebut jelas mencakup masalah-masalah politik. Berhubungan dengan itu adalah
menarik pula untuk mengetengahkan pandangan Dr. Leimena tentang negaranya
seperti yang dilihatnya dari sudut pandang keyakinannya. Dalam tulisan tersebut
di atas ia menolak teori-teori mengenai negara yang dikemukakan oleh para
teolog Barat seperti Calvin, Luther dan Karl Barth. Ia berpendapat, bahwa teori
dua lingkungan yang mereka kemukakan, kurang tepat bagi situasi di Indonesia.
Memisahkan samasekali antara lingkungan Gereja di satu pihak dan lingkungan
Negara di pihak lain tidak akan memungkinkan orang-orang Kristen di Indonesia
berpartisipasi dalam kehidupan negara secara bertanggungjawab. Memisahkan tanggungjawab
dalam soal-soal gereja degnan tanggungjawab dalam soal-soal negara tidak
mungkin. Selain itu pengalaman-pengalaman di Eropa, seperti di Jerman
misalanya, tidaklah menggembirakan. Berdasarkan uraian Luther mengenai
pemisahan tanggungjawab itu, nampaklah bahwa Jerman kemudian menjurus ke
fasisme karena orang Kristen di sana tidak mau tahu tentang perkembangan
politik. Ajaran-ajaran Calvin, menurut Dr. Leimena, sebenarnya telah mencoba
menghindarkan hal itu. Kemudian Barth pun mencoba melihat permasalahannya
dengan kacamata yang lebih luas. Tetapi bagi Barth seluruh proses kenegaraan
harus dilihat secara teologis pula, yaitu dari sudut kelahiran Kristus dan
kematian Kristus sekaligus. Sekalipun Gereja dan Negara di sini dipisahkan,
namun keduanya dilihat sebagai suatu proses yang tidak terpisahkan.
Dr. Leimena sendiri berpendapat, bahwa teori-teori
tersebut memang cocok untuk kehidupan masyarakat di Eropa di mana sebagian
besar anggauta-anggautanya memahami dasar-dasar teori-teori yang bersumber pada
teologi di sana. Tetapi bagi Indonesia, dan daerah-daerah lainnya di Asia pada
umumnya, perlu sekali dipikirkan landasan-landasan teoritis lain yang lebih
cocok dengan masyarakat. Sebab itu ia mengemukakan teori “konsentrik”,
atau lingkaran dalam lingkaran. Gereja menurut teori ini adalah lingkaran dalam
dengan Jesus Kristus sebagai titik pusatnya, dan negara atau masyarakat pada
umumnya adalah lingkaran luarnya. Umat Kristen yang berada dalam lingkaran
dalam memancarkan sinar kasih Kristus ke dalam masyarakat melalui partisipasi
mereka. Mereka tidak berdiri terpisah di luar masyarakat dan negara, mereka
adalah bagiannya juga mencakup kehidupan mereka (lingkaran luar). Tugas umat
Kristen dalam berpartisipasi itu adalah sebagai “saksi-saksi” dari kebesaran Kristus
dalam masyarakat maupun negara.
Dengan demikian jelaslah bahwa Dr. Leimena menemukan
dalam teori konsentrik itu suatu rumusan teologis mengenai kehidupan
kenegaraan. Cara penglihatan inilah yang dipakainya dalam menghadapi setiap
persoalan politik di dalam maupun di luar gereja. Melalui pengertian
tersebutlah ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang negarawan.
Salah satu persoalan yang penting di awal tahun 1950
yang dihadapi umat Kristen adalah persoalan kepemudaan. Sebagai seorang yang
turut aktif dalam Revolusi Dr. Leimena paham benar akan fenomena baru yang
muncul dalam situasi itu dengan nama “pemuda”. Sesungguhnya, seperti yang
disaksikannya sendiri, para pemuda-lah yang menjadi motor dalam awal Revolusi,
merekalah yang menggerakan partisipasi masyarakat di mana-mana. Tanpa
partisipasi pemuda perkembangan Revolusi tidak mungkin dibayangkan. Revolusi
Indonesia dibedakan degnan revolusi-revolusi lain justru karena peranan pemuda
yang dominan. Tetapi bersamaan itu tidak jarang Dr. Leimena menyaksikan
pertentangan-pertentangan yang tajam antara pemuda sendiri maupun antara pemuda
dengan golongan-golongan masyarakat lainnya. Keadaan ini sering menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit dalam perjuangan. Sesuai dengan pendapat dasarnya,
kerugian-kerugian itu hanya bisa diatasi dengan “persatuan”.
Masalah dinamika pemuda ini pun muncul di kalangan
DGI. Suatu hal yang menonjol sejak pembentukan DGI adalah tidak diciptakannya
suatu Komisi Pemuda di samping komisi-komisi lainnya. Urusan kepemudaan waktu
itu diserahkan kepada kedua organisasi pemuda Kristen yang ada pada saat itu
yakni Majelis Pemuda Kristen Oikumene (MPKO) dan Persatuan Pemuda Kristen
Indonesia (PPKI). Namun dalam kenyataannya kedua organisasi pemuda ini tidak
berhasil menelorkan suatu kebijaksanaan tunggal bagi kehidupan kepemudaan di
Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama-tama PPKI dan MPKO
mempunyai latar belakang sejarah yang berlainan. PPKI muncul di masa
memuncaknya semangat perjuangan pada bulan Nopember 1945. Organisasi yang dibentuk
di Yogyakarta itu pada mulanya bermaksud untuk memilih wakil-wakil pemuda
Kristen yang akan menghadiri Kongres Pemuda pertama di bulan Nopember 1945.
Kemudian organisasi ini berkembang menjadi semacam kelaskaran yang turut
berpartisipasi dengan para pemuda lainnya dalam kancah perang kemerdekaan. MPKO
dibentuk di Jakarta pada tahun 1947 untuk menghimpun organisasi-organisasi
pemuda gerejani. Jadi PPKI bersifat extra gerejani dan MPKO bersifat intra
gerejani. Setelah perang kemerdekaan, timbul usaha-usaha untuk menyatukan kedua
organisasi pemuda Kristen itu. Usaha-usaha itu ternyata tidak berjalan lancar.
Oleh sebab itu dalam Sidang Raya ke III (1956) DGI mengundang kedua organisasi
itu untuk membentangkan pendirian masing-masing. MPKO diwakili oleh Lee Sian
Hui, Ketua Umumnya, dan PPKI diwakili oleh Alex Wenas. Kedua tokoh pemuda itu
menyesalkan kegagalan usaha-usaha penggabungan dan menunjuk pada kekurangan
yang ada pada DGI yang tidak membentuk Komisi Pemuda. Keduanya menyerukan agar
DGI memberi bimbingan yang lebih kongkrit dalam permasalahan kepemudaan.
Dalam menghadapi permasalahan itu Dr. Leimena
pertama-tama membenarkan gugatan kedua organsiasi pemuda tersebut. Ia pun
menganjurkan agar DGI membentuk suatu Komisi Pemuda. Ia menandaskan bahwa perpecahan
di kalangan pemuda Kristen akan menghambat perkembangan gereja karena para
pemuda adalah harapan gereja di masa mendatang. Bila para pemuda tidak bersatu
sekarang juga, maka di masa kemudian perpecahan di antara mereka itu akan
merembet pula ke dalam tubuh gereja. Namun, untuk menyatukannya, menurut Dr.
Leimena, perlu sekali dipahami latar belakang sejarah masing-masing organisasi
itu. Dan seperti biasanya, ia menganjurkan agar penyatuan itu janganlah
dilakukan dengan cara paksaan. Yang penting adalah, bahwa kedua belah pihak
telah menyatakan pendirian masing-masing dan pokoknya tidak melihat adanya
perbedaan-perbedaan prinsipil yang menghalangi suatu fusi. Kemudian ide fusi
itu harus dibahas dalam organisasi masing-masing setelah Sidang Raya tersebut.
Selanjutnya Sidang Raya III menugaskan Dr. Leimena untuk mengusahakan
penggabungan tersebut.
Usaha itu dilangsungkan dalam dua kali rapat bertempat
di kediaman Dr. Leimena di Jl. Teuku Umar 36 Jakarta. Pertemuan itu dihadiri
oleh enam orang anggauta Pengurus Harian MPKO dan sepuluh anggauta Pucuk
Pimpinan PPKI. Sebagai kata pembukaan Dr. Leimena menandaskan lagi bahwa dasar
perjuangan kedua organsasi itu sama, yaitu Injil, “sumber kekuatannya” tidak
berbeda. Tetapi terutama dunia luar tidak dapat mengerti mengapa keduanya tidak
bersatu. Ini merupakan suatu kejanggalan. Sebaiknya masing-masing menguaraikan
secara terbuka alasan-alasan pokok yang menyebabkan tidak tercapainya kata
sepakat untuk fusi. Ds. Lee Sian Hui yang mewakili MPKO sekali lagi menegaskan
bahwa MPKO lahir untuk mengkoordinir organisasi-organisasi “inter-gerejani”
yang juga bergerak di bidang sosial. Bagi MPKO cita-cita fusi belum dapat
dilaksanakan. Langkah pertama yang dapat dilakukan saat itu adalah pembentukan
suatu badan federasi dengan PPKI sebagai salah satu bagiannya dan MPKO sebagai
bagian lainnya.
PPKI yang diwakili antara lain oleh Eliander Dantji
mengemukakan dasar-dasar dan ruang lingkup kegiatan PPKI. Kemudian
dikemukakannya juga usaha-usaha yang sudah dirintis kedua organisasi itu untuk
menyatukan diri. Awal pendekatan telah dimulai sesaat setelah Kongres Pemuda
Kristen Indonesia di Yogya pada tahun 1949. Kemudian dalam Kongres PPKI di
Yogya tahun itu juga MPKO mengirimkan utusannya sebagai peninjau. Di sana telah
terjadi kesepakatan untuk mencari jalan keluar secara bersama. Usaha-usaha
selanjutnya dilakukan terus menerus oleh MPKO maupun oleh PPKI. Kemudian pada
tahun 1952 diadakan Kongres Pemuda Kristen Indonesia dengan maksud mencari
jalan selanjutnya. Namun seusai kongres itu MPKO mengeluarkan surat edaran
tertanggal 20 Juli 1952 yang pada dasarnya membatalkan semua usaha kerjasama
dengan PPKI. Hal ini mungkin disebabkan jalannya kongres itu terlampau banyak
didominir oleh PPKI.
Dalam pertemuan di kediaman Dr. Leimena PPKI menuntut
agar surat edaran tersebut dicabut sebelum diambil langkah-langkah berikutnya.
Sebab itu Dr. Leimena minta agar rapat tersebut ditunda untuk memberi
kesempatan kepada MPKO membicarakan usul PPKI tersebut dengan cara wajar sesuai
prosedur organisasinya.
Rapat berikutnya diadakan tanggal 23 Nopember 1955 di
tempat yang sama. Dalam rapat inilah dikeluarkan pernyataan bersama bahwa surat
edaran tersebut telah dicabut dan terbuka usaha-usaha selanjutnya untuk mencari
jalan ke arah fusi. Perlu ditambahkan di sini bahwa usaha-usaha ini tidak
pernah berhasil sekalipun DGI membentuk Komisi Pemuda dalam Sidang Raya ke-IV.
Fusi baru berhasil dalam suasana lain di tahun 1964 dengan nama GAMKI (Gerakan
Angkatan Muda Kristen Indonesia).
Usaha penggabungan lainnya yang lebih berhasil adalah
dalam kalangan mahasiswa Kristen. Hal ini mungkin disebabkan peranan Dr.
Leimena dalam CSV sejak terbentuknya organisasi itu pada tahun 1926. Dalam masa
pendudukan Jepang organisasi ini dapat dikatakan tidak ada lagi. Terutama
setelah Dr. Leimena ditangkap Kenpetai dan Sucipto meninggal. Sekalipun
demikian masih ada usaha-usaha seperti Hari Doa Sedunia yang sering
dilangsungkan di Gedung STT di Jl. Pegangsaan Timur 27 dengan pimpinan Mr. Tine
Frans. Sesudah proklamasi kemerdekaan Dr. Leimena kembali muncul sebagai
ketuanya dengan kantor pusatnya di Jl. Pegangsaan Timur 27. Nama organisasi itu
diubah menjadi Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI). Dekatnya kantor
PMKI tersebut dengan kediaman para pejabat RI yang sering berunding dengan
Belanda itu (mereka berdiam di Pegangsaan Timur 56) memungkinkan Dr. Leimena
mondar-mandir dari tugas resmi ke tugas kemahasiswaan.
Namun tidak lama sesudah itu Belanda membentuk “Nood
Universiteit” di Jakarta. PMKI dengan sendirinya dilarang meluaskan kegiatannya
ke perguruan tinggi karena dicap “republikeins” (yang bagi pihak Belanda pada
waktu itu mempunyai konotasi yang buruk). Sekalipun demikian Dr. Leimena dan
Mr. Tine Fransz tidak kehilangan akal. Dengan tibanya Ds. Boland di Jakarta
mereka mengusulkan agar pendeta itu menghidupkan suatu organisasi mahasiswa di
perguruan tinggi tersebut. Dengan demikian CSV muncul kembali. Sekalipun dalam
kehidupan sehari-hari tidak ada hubungan sama sekali antara kedua organisasi
mahasiswa Kristen itu, namun bagi para pemimpinnya keadaan itu dilihat sebagai
sementara.
Namun demikian ketegangan tidak dapat dihindarkan
sejalan dengan ketegangan-ketegangan yang muncul dalam situasi itu. Kegiatan
PMKI boleh dikatakan mundur samasekali karena organisasi itu hanya bisa
bergerak di Jakarta dan Yogyakarta saja. Anggautanya pun tidak lebih dari 60
orang ketika itu. Sebaliknya CSV yang bebas bergerak di kota-kota yang dikuasai
Belanda makin bertambah saja keanggautaannya. Banyak anggauta PMKI yang “menyeberang”
ke CSV, dan CSV pun memungkiri janjinya semula pada PMKI bahwa organisasi itu
tidak akan mencaplok angauta-anggautanya.
PMKI dengan pimpinan Dr. Leimena tetap berpartisipasi
dalam suka dukanya Perang Kemerdekaan. Sebab itu bersamaan dengan dimulainya
Konperensi Meja Bundar di Den Haag, pada bulan Agsutus 1949 para pemuda Kristen
se-Indonesia melangsungkan kongresnya pula di Yogyakarta. PMKI pada waktu itu
diwakili oleh F. Tahalele, seorang mahasiswa kedokteran di Jakarta. Salah satu
keputusan konperensi itu adalah suatu manifesto yang antara alin mencanangkan
pendirian para pemuda Kristen bahwa “Kesempurnaan negara Republik Indonesia
yang satu, merdeka, dan berdaulat ke luar dan ke dalam, yang meliputi seluruh
kepualuan Indonesia (termasuk Irian Barat) dan berdasarkan Pancasila.”
Sesuai konperensi itu dibentuklah suatu panitia yang
bertujuan mengadakan penggabungan antara PMKI dan CSV. Panitia ini terdiri atas
J. L. Ch. Abineno, O.E. Engelen dan Ds. Boland. Namun kesepakatan tidak bisa
tercapai. Sekalipun pada akhir tahun 1949 telah ternyata bahwa CSV yang muncul
untuk sementara di kala pertikaian di tahun 1946 itu sudah tidak mempunyai hak
hidup lagi dalam negara Indonesia yang berdaulat itu, namun pengurus CSV masih
mempertahankan status organisasi dan tidak mau melebur begitu saja dalam
PMKI.
Untuk mengatasi kemacetan inilah pada tanggal 9
Februari 1950 diadakan suatu rapat bersama di kediaman Dr. Leimena. Dengan
pengarahan Dr. Leimena pada saat itu dicapai suatu kompromi yang memuaskan
kedua belah pihak. Usaha-usaha kedua belah pihak akan dilanjutkan dalam satu
organisasi yang mendapat nama baru, yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.
Pada kesempatan itu Dr. Leimena mengatakan:
“Tindakan ini dalah suatu tindakan historis bagi dunia
mahasiswa pada umumnya dan masyarakat Kristen pada khususnya. GMKI menjadilah
pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di
Indonesia. GMKI jadilah suatu pusat, tempat latihan, dari mereka yang bersedia
bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan dan
kebaikan negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukan merupakan suatu gesellschaft,
tetapi ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan
demikian, ia berakar baik dalam gereja maupun dalam nusa dan bangsa Indonesia.
Sebagai suatu bagian dari pada iman dan roh, ia berdiri di tengah-tengah dua
proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional, dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus
dengan Injilnya, yaitu Injil Kehidupan, Kematian, dan Kebangkitan.”
Selanjutnya Dr. Leimena menyerahkan pimpinan ketua
GMKI kepada dr. J.E. Siregar yang berada di Bandung. Pilihan atas dr. Siregar
merupakan suatu hasil kompromi antara kedua belah oihak. Ia sendiri tidak hadir
ketika itu dan mendengar keputusan itu dari sejumlah perutusan PMKI yang
menemuinya di Bandung. Sekalipun selanjutnya De. Leimena tidak lagi
berkecimpung secara aktif dalam kehidupan mahasiswa Kristen di Indonesia, namun
GMKI tetap mengakuinya sebagai sesepuh dan nasehat-nasehatnya selalu dimintakan
untuk menghadapi pelbagai situasi. Pribadinya selalu terbuka bagi para
mahasiswa yang dianggapnya sebagai unsur yang sangat penting bagi perkembangan
Oikumene.
Dalam situasi 1950-an yang dinamakannya “situasi
krisis” itu, Dr. Leimena melihat adanya tantangan-tantangan baru yang harus
ditanggulangi oleh umat Kristen secara bertanggungjawab demi kebaikan seluruh
bangsa Indonesia. Tantangan yang timbul pada waktu itu berpusat pada masalah
bentuk negara dari bangsa Indonesia. Sekalipun pada tahun 1945 masalah ini
sudah diselesaikan, namun akibat pergolakan dalam masa Perang Kedua RI pada
bulan Agustus 1950. Tetapi dasar-dasar negara pada waktu itu masih bersifat
“sementara” sesuai dengan UUDS. Sebab itu timbul pertikaian politik mengenai
dasar-dasar negara yang sebaiknya. Pada saat itu muncul pelbagai pandangan di
kalangan masyarakat. Dengan tegas Dr. Leimena tetap memilih Pancasila sebagai
landasan yang paling cocok bagi masyarakat Kristen dan bangsa Indonesia pada
umumnya. Baginya sila Ketuahanan Yang Maha Esa dalam Pancasila merupakan unsur
pokok yang harus menyinari sila-sila lainnya. Sekalipun diakuinya pada waktu
itu, bahwa Pancasila masih memerlukan penafsiran yang lebih jelas, tetapi
baginya tidak diragukan lagi bahwa Pancasila tidak bertentangan degnan
keyakinan Kristen. Sebagai dasar negara Pancasila bisa menampung partisipasi
umat Kristen seperti yang dirumuskannya dalam teori konsentrik tersebut.
Permasalahan dasar-dasar idiil dan struktural dari
negara RI senantiasa mendapat perhatian dari Dr. Leimena dimasa itu. Selain
perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Pada masa itu ada pula pendapat yang
oleh Dr. Leimena dinamakan rumusan “teokrasi” dari golongan Islam. Kemudian
terdapat juga rumusan yang dilontarkan oleh golongan Komunis. Sebagai Ketua
Parkindo Dr. Leimena menganjurkan agar Umat Kristen memilih Pancasila dan tidak
mengajukan perumusan tersendiri. Pancasila sebagai landasan ideal bisa menjamin
partisipasi umat Kristen seperti yang dirumuskan oleh gerakan Oikumene.
Alternatif lainnya bagi Dr. Leimena tidak akan memungkinkan umat Kristen
berpartisipasi sepenuhnya secara langsung dalam kehidupan kenegaraan. Sebab itu
tidak mengherankan bahwa pada mulanya ia diberi tugas untuk mengemukakan
pandangan Pancasila dalam Konstituante yang dibentuk pada tahun 1955 itu. Sejak
itu istilah persatuan dan Pancasila bagi Dr. Leimena mengandung arti politik
yang sama.
Dalam proses perkembangan politik sampai tahun 1957
Dr. Leimena dapat kita golongkan pada orang-orang yang mempertahankan persatuan
di atas segala-galanya. Selama periode itu boleh dikatakan pihak-pihak
yang bertentangan dalam arena politik Indonesia sama kuat. Namun dengan
jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II bulan April 1957 nampaklah
perubahan-perubahan yang menentukan. Ketika itu Dr. Leiemna masih berbicara atas
nama Parkindo. Menurut pendapatnya pada waktu itu, perpecahan hanya bisa
diatasi bila pemerintah yang akan dibentuk mewakili golongan-golongan yang
tersisih selama ini. Mereka itu adalah, Dr. Hatta (bekas Wakil Presiden), pihak
Angkatan Bersenjata, pihak Masyumi, dan akhirnya pihak daerah-daerah luar Jawa.
Tetapi sejarah mencatat bahwa Presiden Sukarno tetap memilih seorang PNI
(Suwirjo) sebagai formatur sehingga kabinet yang harus dibentuknya pun tidak
terwujud. Sesudah itu Presiden mengangkat dirinya sendiri menjadi formatur
dengan hasil terbentuknya kabinet Djuanda.
Kabinet Djuanda merupakan keistimewaan karena
menteri-menteri yang bersangkutan tidak dipilih atas nama partai-partai tetapi
atas kemampuan mereka masing-masing untuk menyelesaikan suatu tugas (kabinet
Karya). Sejarah mencatat bahwa kabinet ini merupakan peralihan ke arah
penguasaan yang menyeluruh Presiden Sukarno.
Sesungguhnya sejak tahun 1957, yaitu sejak ia menjadi
anggauta Kabinet Djuanda, peranan Dr. Leimena dalam bidang eksekutif sudah
tidak tergantung lagi pada Parkindo. Sejak inilah perbedaan-perbedaannya dengan
Mr. Tambunan, umpamanya, makin nampak jelas. Sejak inilah ia melepaskan (non
aktif) tugas-tugasnya sebagai Ketua Umum Parkindo dan kemudian digantikan oleh
Mr. Tambunan. Sekalipun nampak jelas perbedaan-perbedaannya dengan pimpinan
partai, namun pribadinya yang luwes itu bisa menghindarkan suatu perpecahan
yang nyata. Perbedaan faham antara “dwi-tunggal” Parkindo tidak separah dan
tidak menjalar ke lapisan-lapisan lainnya seperti halnya perpecahan antara
“dwi-tunggal” pimpinan negara.
Permasalahan yang cukup penting dalam masa ini adalah
permberotakan PRRI/Permesta. Peristiwa ini terutama terasa dalam tubuh DGI
karena sebagian umat Kristen terlibat di dalamnya (Tapanuli, Sulawesi Utara).
Komisi Gereja dan Negara yang dipimpin Dr. Leimena berusaha memberi
pengarahan-pengarahan untuk menyelesaikan pertentangan dalam gereja di
daerah bersangkutan, tetapi rupanya usaha itu kurang kena. Sekali pun demikian
dalam sidang-sidang DGI ia pertahankan pendapatnya bahwa masalah pokoknya
bukanlah pertentangan dalam gereja di daerah bersangkutan, tetapi rupanya
usahanya itu kurang kena. Sekalipun demikian dalam sidang-sidang DGI ia
pertahankan pendapatnya bahwa masalah pokok baginya adalah perpecahan pimpinan
negara (“dwi-tunggal”), antagonisme dalam kehidupan kepartaian, masalah
kedudukan ABRI, dan soal-soal sosial dan ekonomis. Apabila hal-hal tersebut
bisa diselesaikan, maka dengan sendirinya masalah hubungan pusat-daerah juga
turut diselesaikan. Dengan perkataan lain ia melihat permasalahannya dari
perspektif persatuan nasional. Dalam Sidang Lengkap DGI yang membahas masalah
ini ada beberapa pihak yang mengajukan pertimbangan-pertimbangan. Salah satu
pihak mengkaitkan keadaan itu dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur pemerintah pusat di Jakarta. Kecenderungan di Jakarta dilihat sebagai
mengarah ke sistem kediktatoran yang bisa membahayakan. Dr. Leimena tidak
sepaham dengan pendapat itu. Keadaan politik pada masa itu menurut pendapatnya
tidak akan menghalangi atau merugikan kegiatan gereja-gereja di Indonesia.
Sejak timbulnya masalah ini dalam DGI boleh dikatakan hubungannya dengan
organisasi Oikumene itu mulai merenggang. Kedudukannya sebagai Ketua Komisi
Gereja dan Negara pun dilepaskannya dan sejak itu ia bertindak sebagai
penasehatnya saja.
Kemudian sejarah juga mencatat bahwa Konstituante yang
bermula dengan penuh optimisme itu akhirnya juga berakhir dengan menyedihkan.
Kekuatan-kekuatan politik yang bertarung dalam wadah itu tidak sanggup mencapai
suatu kompromi. Menghadapi keadaan yang semakin krisis itu pihak TNI-AD dengan
pimpinan Jenderal Nasution mengusulkan kepada Presiden agar menyatakan
berlakunya kembali UUD 45. Hal ini dilakukan melalui Dekrit 5 Juli 1959 sehingga
sejak itu Dewan Konstituante pun praktis bubar.
Sejak perubahan-perubahan yang mulai dalam tahun 1957
itu nampak bahwa pendirian-pendirian dan dan sikap terjang Dr. Leimena lebih
condong untuk memihak kepada Presiden Sukarno. Sudah barang tentu sikap ini
dibarengi dengan sikap kritis. Pernyataan-pernyataannya sejak tahun 1957 jelas
membuktikannya. Pendirian di atas bisa menerangkan mengapa ia tidak turut aktif
dalam pembicaraan-pembicaraan di Konstituante, padahal ia menduduki jabatan
Ketua Fraksi Parkindo dan Wakil Ketua III badan tersebut. Tindakan selanjutnya
adalah akibat logis dari sikap itu.
Sebenarnya sudah sejak masa Perang Kemerdekaan Bung
Karno pun sudah sangat tertarik pada pribadi Dr. Leimena. Dalam biografinya
yang ditulis oleh Cindy Adams jelas nampak bahwa sifat kejujuran dari Dr.
Leimena lah yang menyebabkan Presiden RI yang pertama itu menyenanginya. Selain
itu dengan terus terang Bung Karno mengatakan, bahwa Dr. Leimena dibutuhkannya
untuk mewakili umat Kristen dalam pimpinan negara. Inilah gaya Bung Karno.
Pertikaian antar partai kurang menarik perhatiannya. Ia tidak mengandalkan
kedudukannya pada salah satu partai karena menganggap dirinya berada di atas
semua kepartaian. Percaturan politik melalui struktur kepartaian baginya
bersifat kebarat-baratan. Sebaliknya ia melihat person-person tertentu sebagai
simbol-simbol dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan
merangkul Dr. Leimena, ia mengharapkan bisa mendapat simpati dari sebagian umat
Kristen Protestan, sehingga dengan demikian menimbulkan kesan terwujudnya
persatuan nasional paling kurang dari segi umat Kristennya. Golongan-golongan
lain pun dilihatnya dengan cara yang sama.
Penekanan atas persatuan bangsa inilah yang rupanya
menyebabkan Dr. Leimena pun tertarik kepada Presiden Sukarno. Sebenarnya
kecenderungannya kepada kBung Karno sudah jelas nampak dalam awal tahun
1950-an. Dengan menanamkan masa itu sebagi “masa krisis: mengikuti Bung Karno
yang pada waktu itu pun menggunakan istilah “panca krisis” sedikit banyaknya
Dr. Leimena melihat keadaan politik itu dalam perspektif yang tidak terlalu
berbeda dengan Presiden Sukarno. Golongan-golongan lain – termasuk DGI ketika
itu – menggunakan istilah “peralihan” untuk menamakan situasi di tahun 1950-an
itu.
Selain itu, sejalan dengan Bung Karno, Dr. Leimena
melihat, bahwa alternatif lain daripada Pancasila tidak ada. Pada waktu itu
hanya terbuka dua pilihan lain. Seperti dikatakan di atas, pilihan itu,
pertama, adalah negara Islam dan pilihan kedua adalah negara Komunis. Sekalipun
sejumlah negara Islam yang dikenalnya waktu itu mencoba meyakinkannya bahwa
dalam struktur negara yang mereka perjuangkan kebebasan agama tetap dijamin,
namun menurut pengertian Dr. Leimena hal itu tidak akan mungkin. Memilih
Komunisme sudah barang tentu lebih berbahaya lagi seperti yang diuraikan di
atas. Tetapi sikapnya terhadap golongan terakhir ini pun sejalan dengan Bung
Karno. Dr. Leimena menganggap, bahwa untuk sementara pihak komunis bisa
dikatakan tidak terlalu berbahaya, karena sejak masa Dewan Konstituante pada
tahun 1956, mereka telah menyatakan kesediaan menerima Pancasila pula.
Memilih Bung Karno, bagi Dr. Leimena pada saat itu,
adalah konsekwensi logis karena memilih Pancasila. Bung Karno dilihatnya
sebagai “penggali” Pancasila yang utama. Selama penggali Pancasila itu masih
hidup, maka penggali itulah yang bisa menjamin dipertahankannya terus idealisme
Pancasila.
Alasan-alasan lain yang menyebabkan Dr. Leimena
memihak mendampingi Bung Karno sejak tahun 1957 masih banyak. Salah satunya
adalah persamaan dalam menilai demokrasi. Sejak tahun 1930-an Dr. Leimena telah
berpendapat bahwa sistem demokrasi yang selama itu dikembangkan di dunia Barat
tidak akan mungkin bertumbuh subur dalam situasi-situasi di Asia dan di
Indonesia pada saat itu. Sejarah demokrasi di Barat pertama-tama tidak mengenal
akibat-akibat yang timbul karena sistem penjajahan yang lama. Masalah-masalah
kemasyarakatan yang muncul karena sistem penjajahan belum pernah dihadapi dalam
sejarah demokrasi Barat. Kemudian, dalam ceramahnya DGI di tahun 1956 berhubung
dengan Sidang Raya ke III dan menjelang sidang Konstituante, Dr. Leimena
mengemukakan lagi pendapatnya itu. Eksperimen Sukarno dnegan Demokrasi
Terpimpin yang jelas mempertimbangkan unsur penjajahan itu rupanya merupakan
suatu hal yang menarik bagi Dr. Leimena. Tetapi mungkin tidak kurang penting
dari pelbagai alasan yang rasional itu, adalah pernyataan Dr. Leimena sendiri
bahwa langkah itu dilakukannya setelah memohon kekuatan dan bimbingan dari
Tuhan. Ia melakukannya dengan tulus sehingga tidak ada lagi keraguan dan
pertentangan batin seperti yang timbul pada saat-saat tertentu di tahun-tahun
sebelumnya.
Sejarah Demokrasi Terpimpin belum diselidiki secara
mendalam oleh para ahli ilmu politik. Apa yang muncul secara gamblang dari
pelbagai pidato-pidato Bung Karno dari masa ini adalah pertentangan antara
penjajah dan dijajah seperti yang telah dirumuskannya dalam masa pergerakan,
kini menjadi dasar pula bagi pandangan dan sikap politiknya. Apabila dulu
pertentangan itu dilihatnya sebagai pertentangan antara Indonesia dan Belanda,
kini setelah mencapai kemerdekaan, Bung Karno menganggap seluruh
kekuatan-kekuatan kapitalis sebagai musuh Indonesia yang masih lemah dalam
segala bidang. Satu-satunya jalan keluar bagi Indonesia adalah sistem
sosialisme yang berurat dan berakar dalam kebudayaan Indonesia sendiri, bukan
dari Barat dan bukan dari Timur (komunisme).
Bung Karno menerapkan pikirannya dalam bidang politik
dalam negeri dengan cara mengetatkan pengawasan atas kegiatan-kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya orang-orang asing; dan di luar negeri dengan memisahkan
kekuatan-kekuatan mana yang bergantung pada kapitalis dan mana yang tidak.
Salah satu contoh yang menonjol dari sikap politik ini adalah perjuangan
membebaskan Irian Barat yang mempunyai akibat-akibat ke dalam mau pun ke luar
negeri. Kemudian perjuangan Dwikora untuk menentang berdirinya Federasi
Malaysia juga merupakan contoh lainnya. Tidak dapat disangkal bahwa dalam
proses ini Bung Karno makin lama makin kuat kedudukan politiknya. Partai-partai
“disederhanakan”, kemudian pegawai tinggi dilarang berpolitik, aparat-aparat
non-konstitusional seperti Koti (Komando Operasi Tertinggi) memungkinkannya
memainkan peranan dalam bidang ketentaraan. Usaha-usaha mengendalikan unsur-unsur
dari luar negeri itu, terutama dimaksudkan untuk menghindari pertentangan dalam
negeri dan dengan demikian menjamin persatuan nasional.
Di dalam proses ini Dr. Leimena memegang peranan yang
penting pula. Dalam kabinet-kabinet yang langsung dipimpin oleh Bung Karno
beliau selalu menempati kedudukan salah satu Wakil Menteri Pertama (Wampa).
Dalam kedudukan ini sudah barang tentu hubungannya dengan Bung Karno sangat
dekat. Adalah sangat menarik untuk mengetahui hubungan ini secara lengkap.
Tetapi sebelum seluruh periode Demokrasi Terpimpin dipelajari secara mendalam
tidaklah mungkin kita mendapatkan gambaran yang memuaskan. Sementara itu
beberapa hal bisa kita ketahui dari orang-orang yang pernah menyaksikan
hubungan ini secara langsung. Menurut pendapat itu, Bung Karno sering menamakan
Dr. Leimena “Domine Leimena” (Pendeta Leimena). Rupanya segi-segi keagamaan
itulah yang menurut Bung Karno merupakan ciri pokok dari kawannya itu. Ia
sendiri pernah mengatakan kepada Cindy Adams bahwa yang paling menarik pada
Johannes Leimena adalah kejujurannya seperti “Yesus dari Nazaret”. Dapatlah
kita mengerti bahwa dalam hubungannya dengan Bung Karno, Dr. Leimena tidak
pernah melepaskan tugas-tugas pastoralnya sebagai orang Kristen yang baik.
Tingkah laku seperti yang diinginkan dari orang Kristen menonjol di sini.
Menurut penglihatan beberapa orang menteri dari masa itu tidak selalu Dr.
Leimena mengiyakan begitu saja setiap keinginan Bung Karno. Ia tidak
segan-segan mengemukakan pendapatnya secara terus terang dan jujur.
Tidak perlu disangkal bahwa antara tahun 1957 sampai
dengan tahun 1966, jadi selama kurang lebih sembilan tahun Dr. Leimena adalah
pengikut yang setia dari Bung Karno. Politik Bung Karno seperti yang dirumuskan
dalam Manipol-USDEK (Manifesto Politik, Undang-Undang Dasar 45, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional)
merupakan politik dari Dr. Leimena. Pidato-pidato yang diucapkan Dr. Leimena
pada pelbagai kesempatan memperlihatkan hal ini. Jargon-jargon politik yang
dilontarkan Bung Karno dalam saat itu diikuti pula oleh pengikut-pengikutnya,
termasuk Dr. Leimena. Istilah-istilah seperti Revolusi Belum Selesai, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Old Established Forces, New Emerging Forces,
Retooling, dan lain-lain mengandung pengertian-pengertian politik yang berasal
dari alam pikiran Bung Karno.
Tidak jarang pula Dr. Leimena berperanan sebagai
“penengah” antara Bung Karno dengan pembantu-pembantunya yang terdekat yang
sering juga tidak membuntut Bung Karno begitu saja. Menjelang
diselenggarakannya Asian Games di tahun 1962 pernah terjadi selisih pendapat
antara Bung Karno dan Ir. Djuanda yang waktu itu menjabat sebagai Menteri
Pertama. Ketika itu Ir Djuanda tidak setuju diadakannya pesta olahraga itu berhubung
devisa negara pada waktu itu sangat minim. Bung Karno yang menginginkan
terselenggaranya peristiwa olahraga itu sebagai usaha menonjolkan Indonesia di
mata dunia, berkeras pula. Dalam membicarakan masalah ini Dr. Leimena
menganjurkan agar sebaiknya masing-masing pihak mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa timbul bila pihak ketiga menggunakan masalah
ini sebagai isu untuk memukul pemerintah. Melalui pertimbangan inilah
permasalahan ini akhirnya bisa diselesaikan tanpa terjadinya pertentangan
politik yang besar. Sikap seperti inilah yang menyebabkan Dr. Leimena bisa
diterima pula sebagai Pejabat Presiden sebanyak tujuh kali di saat-saat Bung
Karno berhalangan karena ke luar negeri.
Kesederhanaan yang telah deperlihatkan sejak than
1930-an itu tidak pernah berubah sekalipun beberapa kali menjabat sebagai
Pejabat Presiden. Para pembantu terdekatnya sering kewalahan karena sikap ini.
Umpamanya ia tidak pernah mau berkantor di Istana dan menggunakan rumahnya
sendiri sebagai “Kantor Pejabat Presiden”. Suatu hal yang menonjol pada waktu
ini adalah urusan mengenai rumahnya di Jl. Teuku Umar. Berkat usaha Drs.
Djunarsa MA ia akhirnya – sesuai dengan peraturan – membeli rumah itu secara
cicil dengan jaminan Bank Indonesia. Setelah surat-suratnya selesai dan tiba
saatnya untuk menandatangani kontrak dengan pihak Bank, Dr. Leimena mendesak ia
sendiri ke bank untuk maksud itu seperti setiap orang lainnya. Untung saja hal
itu bisa dicegah oleh pihak protokol setelah menandaskan bahwa sebagai Pejabat
Presiden ia berhak memanggil pejabat bank untuk menyelesaikan urusan-urusan
tersebut. Dr. Leimena mula-mula menolak dengan pertimbangan, bahwa urusan itu
bukanlah urusan negara tetapi urusan pribadinya.
Drs. Djunarsa pernah pula menyaksikan bagaimana Dr.
Leimena menghadapi situasi kritis di dalam hidupnya. Ketika Ir. Djuanda
meninggal dunia di tahun 1963 ia sendiri yang menyampaikan berita itu pada Dr.
Leimena di tempat kediamannya. Pada waku itu nampak Dr. Leimena tertegun selama
lima sampai sepuluh menit. Jelas kelihatan air matanya mengalir di pipinya.
Kemudian ia mengajak istrinya dan Drs. Djunarsa ke kamar tidurnya untuk
berdoa meminta kekuatan dalam menghadapi situasi yang berat itu. Setelah
itu ia bertolak ke istana untuk menemui Bung Karno. Di tengah perjalanan ia
berkata : “Mas Djunarsa, setelah Pak Djuanda wafat ini akan terjadi
perubahan-perubahan besar yang negatif. Yang saya takutkan adalah bahwa pak
Djuanda adalah orang yang besar tanpa memberi keterangan-keterangan lebih
lanjut. Rupanya pada saat itu ia sedang memikirkan siapa yang akan menggantikan
Ir. Djuanda sebagai pembantu pertama dari Bung Karno. Pada waktu itu sudah
mulai nampak bahwa Dr. Soebandrio yang menjabat Wakil Perdana Menteri III
mempunyai ambisi yang sangat kuat untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar
lagi. Untuk itu tidak segan-segan ia berkolaborasi dengan pihak PKI. Inilah
yang dikhawatirkan Dr. Leimena sebagai perubahan-perubahan negatif. Ternyata
kemudian memang Dr. Soebandrio-lah yang terpilih sebagai pengganti Ir. Djuanda.
Ketika Chaerul Saleh diangkat sebagai Waperdam III
(1963) nampak jelas meningkatnya serangan-serangan PKI terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Serangan-serangan yang makin lama makin gencar
ini juga diarahkan kepada Adam Malik yang waktu itu menjadi Menteri
Perdagangan. Demikian hebatnya agitasi PKI sehingga akhirnya Bung Karno
terpaksa harus melepaskan Adan Malik. Sejak saat itu tidak ada yang berani
mendekati Adam Malik dalam resepsi-resepsi atau pertemuan-pertemuan umum.
Serangan-serangan PKI yang sering melanggar tatakesopanan itu menyebabkan
banyak orang menghindarkan diri individu-individu yang tidak disukai PKI. Namun
hal ini itidak berlaku bagi Dr. Leimena. Dalam kesempatan-kesempatan umum
seperti resepsi dan lain-lain ia tidak segan-segan duduk di samping Adam Malik
dan berbicara seperti biasa.
Setia kawan dan rasa hutang budi adalah suatu sifat
yang jelas menonjol. Hal inilah yang bisa menerangkan mengapa hubungannya
dengan Dr. Soebandrio yang telah memihak kepada PKI itu tidak pernah
goyah pula. Jauh sebelumnya, ketika Dr. Soebandrio masih menjabat sebagai Duta
Besar Indonesia di London, pernah terjadi suatu peristiwa yang tidak dapat
dilupakan Dr. Leimena. Dalam perjalanannya ke Nederland ia pernah terjatuh
sakit di London. Pada saat itu ia mendapat perhatian dan perawatan yang sangat
baik dan dan teliti dari Dr. Soebandrio bersama isterinya yang juga seorang
dokter. Sejak itu perasaan terimakasihnya kepada Dr. Soebandrio tidak pernah
luntur. Perasaan terima-kasih ini tidak luntur, sekalipun isteri Dr. Soebandrio
mengambil bagian aktif dalam demonstrasi-demonstrasi yang diselenggarakan
ormas-ormas PKI. Pada suatu ketika terjadi suatu demonstrasi yang menentang
kebijaksanaan Menteri Perdagangan mengenai soal sandang-pangan yang termasuk
kompartmen Distribusi di bawah koordinator Waperdam II Dr. Leimena. Salah
seorang pemimpin demonstrasi itu adalah dr. Hurustiati Soebandrio, isteri
Waperdam I. Keadaan ini menimbulkan kemarahan pembantu-pembantu Dr. Leimena,
tetapi beliau sendiri mengatakan tanpa mengeluarkan emosi yang
berlebih-lebihan: “yah, kalau dikehendakinya begitu, bagaimana”. Dalam
kesempatan-kesempatan tertentu bila beliau bertemu dengan Hurustiati Soebandrio
tidak nampak sedikitpun dendamnya kepada orang yang secara terang-terangan mengambil
bagian dalam usaha-usaha mendongkelnya.
Kemarahannya timbul bila serangan-serangan politik itu
dilancarkan kepada pembantu-pembantunya yang melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepada mereka. Dalam suatu rapat yang membicarakan kebijaksanaan
Badan Urusan Bahan Makanan, Dr. Soebandrio pernah melontarkan suatu serangan
politik yang cukup keras. Seobandrio menuduh seolah-olah mahalnya harga beras
di pasar-pasar disebabkan pengurus BUBM mengambil komisi dari pembelian beras
ke luar negeri. Serangan ini jelas diamanatkan kepada Drs. Djunarsa, bekas
pembantu terdekat dari Dr. Leimena, yang saat itu menduduki tempat pimpinan
dalam lembaga tersebut. Dengan sendirinya ia membela diri dan bersedia
mengundurkan diri bila tuduhan itu benar. Dr. Leimena pun merasa tersinggung
sehingga sejak saat itu ia tidak berbicara lagi dengan Dr. Soebandrio. Dua
minggu kemudian ketika Dr. Soebandrio minta maaf kepada Dr. Leimena, barulah ia
bersedia mengadakan pembicaraan-pembicaraan lagi dengan Waperdam I itu. Sifat
setiakawan kepada bawahan-bawahan inilah yang selalu merupakan faktor yang
menarik dalam hubungan Dr. Leimena dengan anggauta-anggauta stafnya.
Sifat luwes inilah yang mungkin menyebabkan Dr.
Leimena selalu mendapat tugas-tugas yang menyangkut persoalan hubungan antar
manusia. Salah satu tugas pelik seperti itu umpamanya menyangkut Bung Hatta.
Kita ketahui bahwa hubungan antara Bung Hatta dan Bung Karno selalu diliputi
perbedaan-perbedaan politik, kepribadian, dan lain-lain. Masing-masing
mempunyai tempat dalam sejarah Indonesia, mula-mula di jaman pergerakan
nasional, kemudian pada saat-saat proklamasi kemerdekaan, kemudian di masa
Revolusi. Kedudukan yang sama ini dirumuskan dengan tepat dalam istilah
“Dwi-tunggal”. Ketika RIS dibubarkan pada tahun 1950, pernah timbul suatu
masalah pelik mengenai kedudukan bekas Perdana Menteri RIS, yaitu Bung Hatta.
Tidak jelas pada waktu itu kedudukan apakah yang harus diberikan kepada beliau.
Suatu kemungkinan dan hal yang wajar, adalah kedudukan Wakil Presiden seperti
sebelumnya. Tetapi bagaimanakah hal ini harus disampaikan kepada Bung Hatta
tanpa menyinggung perasaan beliau dan tanpa mengurangi martabat Bung Karno
pula. Pada saat itu Bung Karno tidak mempercayai orang lain kecuali Oom Yo
untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menimbulkan permasalahan-permasalahan
baru. Bersama-sama dengan Mr. Abdul Wahab Suryodinigrat, Dr. Leimena bertemu
dengan Bung Hatta sehingga permintaan Bung Karno itu dapat diterima dengan
wajar oleh Bung Hatta. Tetapi kali ini Bung Hatta menolak. Perbedaannya dengan
Bung Karno sudah terlalu jauh untuk dapat menerima ajakan itu. Beliau bersedia
membantu dalam situasi di mana bantuan itu diperlukan, tetapi untuk menjadi
Wakil Presiden lagi sudah tidak mungkin. Pertemuan yang mengharukan ini terjadi
di kediaman Bung Hatta di Jl. Dipenogoro.
Sikap yang menonjol dari Dr. Leimena adalah sikap
human, kemanusiaan, akrab. Mencela Dr. Leimena bagi banyak kawan-lawannya
adalah tindakan yang sebenarnya menunjukan bahwa pencelanya tidak mengenal
Leimena. Di tengah-tengah suasana politik yang antara lain melontarkan apa yang
dinamakan “Gerakan Hidup Baru”, kesederhanaan, dan lain-lain sifat-sifat itu
telah menjadi darah daging pada Dr. Leimena. Kesederhanaan dalam hidup telah
menjadi “way of life”nya. Sesungguhnya sifat-sifat ini tidak diperolehnya dari
pelbagai filsafat yang menandaskan humanisme, tetapi sumbernya adalah Injil
seperti yang dimengertinya dan dihayatinya sejak masa mudanya.
Selain menduduki jabatan “Wampa: sejak tahun 1959
sampai 1966, dalam tahun-tahun itu pula ia menjabat kedudukan sebagai Menteri
Koordinator Distribusi. Secara sepintas lalu hal ini memang aneh: dari
Menteri Kesehatan kemudian beralih ke bidang samasekali yang biasanya dikaitkan
dengan perekonomian. Namun sesungguhnya lah ini mudah dimengerti. Sebagai
Menteri Kesehatan Dr. Leimena terkenal karena usaha-usahanya dalam pengembangan
kesehatan masyarakat seperti nampak pada “Bandung Plan” dan “Rencana Leimena”
yang diuraikan dalam bab ke-IV. Keberhasilan kesejahteraan masyarakat tidak
bisa dilepaskan dari keberhasilan dalam bidang-bidang lainnya, terutama dalam
peningkatan taraf hidup anggauta-anggauta masyarakat. Salah satu tugas pokok
dari Menteri Distribusi adalah peningkatan taraf hidup itu, bukan dengan cara
peningkatan per capita, tetapi dengan cara membangun saluran-saluran untuk
mengalirkan barang-barang kebutuhan masyarakat. Kegiatan ini masih berada dalam
rangka pemikiran keadilan sosial Bung Karno. Tetapi pengalaman-pengalaman Dr.
Leimena mengenai keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia tidak kurang pula
menjadi pendorong ke arah itu. Sejak menjadi dokter di Bandung dalam tahun
1930-an ia telah mengenal kehidupan rakyat secara langsung. Usaha-usaha
mendekatkan dokter dan ilmu kedokteran dengan masyarakat petani merupakan suatu
kegiatan yang menonjol dari Rumah Sakit Imanuel pada waktu itu. Pernah
diceritakan bahwa ia tidak saja menunggu pasien-pasiennya dari lingkungan
kampung dan desa datang ke poliklinik-poliklinik, tetapi ia juga dengan aktif
menghubungi mereka. Siang atau malam tidak dihiraukannya bila tugasnya
memanggil. Yang sangat menonjol bagi para pembantunya di Rumah Sakit dan
poliklinik , adalah sifat-sifat kerakyatannya. Penderitaan rakyat Indonesia
bukan merupakan suatu hal yang baru baginya. Seperti telah dibentangkan pula
dalam bagian muka, paling kurang sudah pada tahun 1940 ia melontarkan buah
pikirannya mengenai keadaan ini. Secara intelektual ia menguraikan bahwa
keadaan yang melarat itu disebabkan oleh kolonialisme. Sekalipun mungkin sekali
dasar-dasar pemikirannya berlainan dengan Bung Karno yang pernah mengaku
sebagai penganut Marxisme, namun gambaran mereka mengenai keadaan masyarakat
Indonesia tidak banyak berbeda.
Melangkah dari bidang kesehatan ke bidang ekonomi
memang memang tidak mudah bagi Dr. Leimena. Ia sendiri mengakui bahwa ia bukan
ekonom dan ekonomi merupakan suatu bidang baru baginya. Dalam alam Demokrasi
Terpimpin segi-segi tehnis pelaksanaan suatu bidang, seperti umpamanya bidang
ekonomi, tidak banyak dipikirkan secara sempurna. Para pendukung sistem itu
memang bukan jenis teknokrat seperti pada masa sekarang. Mereka adalah
orang-orang idealis yang sebagian besar dituntun oleh pengalaman-pengalaman
dari masa Pergerakan Nasional yang juga sangat idealistis itu. Mungkin justru
karena idealisme dari jaman pergerakan inilah kehidupan kebanyakan dari
mereka juga sangat sederhana. Dalam hal ini Dr. Leimena bukan perkecualian.
Dalam masa-masa pertama bertugas sebagai Menteri
Koordinator Distribusi, Dr. Leimena banyak mendapat bantuan dari pelbagai
pihak. Salah seorang yang tidak dapat dilupakan dalam hal ini adalah Mr.
Sumarno yang telah mengenalnya sejak tahun-tahun 1930-an di CSV. Kemudian
antara keduanya memang ada perbedaan dalam memilih partai politik sebagai wadah
perjuangan. Mr. Sumarno menjadi anggauta PNI sementara Dr. Leimena bergerak di
kalangan Parkindo. Selain itu sejak tahun-tahun 1950-an Mr. Sumarno juga telah
berkecimpung dalam pelbagai segi perekonomian sehingga sedikit banyaknya lebih
mengenal bidang ini daripada Dr. Leimena.
Untuk mendapatkan pengetahuan sekedarnya mengenai
bidang baru inilah pada tahun 1960 Dr. Leimena menemui Mr. Sumarno. Pada saat
itu Oom Yo mendapat beberapa buah buku mengenai ekonomi dari Mr. Sumarno. Buku
pertama adalah dari Samuelson edisi 1958 yang pada waktu itu – sampai sekarang
juga – terkenal sebagai salah satu text-book yang paling baik untuk pengantar
ke arah ilmu ekonomi. Selain itu ia juga menerima buku Gunnar Myrdal (Beyond
the Welfarestate) yang menguraikan cita-cita masyarakat adil dan makmur
bagi masyarakat Barat. Rupanya bagi Dr. Leimena kaidah-kaidah ilmu ekonomi saja
tidak akan membawa keadilan. Dalam situasi negara-negara Asia seperti
Indonesia, campur tangan pemerintah yang aktif untuk menjamin terlaksananya
keadilan itu, adalah suatu hal yang semestinya. Campur tangan pemerintah dalam
perekonomian baginya bukan sesuatu yang aneh atau bertentangan dengan
dasar-dasar ekonomi. Contoh-contoh di Barat maupun buku dari Myrdal tentang Welfarestate
membuktikan hal ini. Tetapi contoh dari Myrdal tidak bisa diterimanya. Ia
berpendapat bahwa cita-cita Welfarestate yang dikemukakan itu terutama
didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di dunia Barat yang sudah maju
sistem kapitalismenya. Keadaan di Indonesia tidak sama. Pertumbuhan masyarakat
di Indonesia sangat berlainan dari pada di Eropa dan sebab itu tidak
mempengaruhi sistem kapitalismenya. Permasalahan ekonomi ini sering menimbulkan
diskusi antara Dr. Leimena dan teman-temannya. Mengikuti sebuah buku yang
berjudul “Ethik der willskraft”, Dr. Leimena mengemukakan, bahwa pada
dasarnya ekonomi adalah hubungan antar manusia juga. Manusia merupakan sumber
kekayaan (resources) yang tertua. Karena sangat pentingnya sumber kekayaan ini,
perlulah manusia di sublimer dan diberi kekuatan-kekuatan berupa kebebasan
rohaniah untuk mengekspresikan maknanya sendiri. Di sini nampak suatu
perkembangan yang sangat menarik. Dari seorang idealis politik yang lahir di
jaman pergerakan nasioanl, Dr. Leimena berkembang menjadi seorang idealis dalam
ekonomi. Ciri yang sama dalam kedua jaman itu, yaitu idealisme, atau mungkin
juga bisa kita gunakan konsep dari Herbert Feith “solidarity maker,” tetap
merupakan faktor yang konstan dalam seluruh proses hidupnya. Seperti yang
disebut oleh Dr. Leimena sendiri: “Ekonomi Terpimpin” adalah alat bagi
“nation-building” dan “character-building”.
Dalam masalah penentuan kebijaksanaan ekonomi tidak
jarang pula terjadi perbedaan-perbedaan pendapat. Umpamanya antara Chaerul
Saleh dan Bung Karno mengenai peranan modal asing. Sebagai Wakil Perdana
Menteri III yang mengkoordinir bidang-bidang pembangunan Chaerul Saleh sudah
barang tentu mempunyai sikapnya terhadap masalah ini. Berbeda dengan Bung Karno
ia bersedia memberi konsesi-konsesi yang luas kepada perusahaan-perusahaan
asing yang bergerak di dalam dunia perminyakan umpamanya. Pada mulanya Bung
Karno tidak terlalu memberi pengarahan yang tegas dalam hal ini. Tetapi
sekembalinya dari kunjungan di Mexico Bung Karno melontarkan ide-ide lain yang
pada pokoknya menghendaki pengawasan yang lebih ketat atas sumber alam
Indonesia. Rupanya dalam pembicaraan dengan Presiden Lopez Matheos di Mexico
masalah ini juga muncul. Di sanalah Bung Karno menjadi sadar benar akan
perbedaan antara renewable resources dan non-renewable resources. Menurut
nasehat Presiden Mexico itu dalam hal non-renewable resources pemerintah
harus bertindak tegas untuk menjamin kekayaan alam yang langka dan habis
dipakai (seperti minyak) untuk kepentingan-kepentingan masa-masa mendatang.
Sekembali dari Mexico inilah seluruh kebijaksanaan tentang hal ini ditinjau
lagi.
Berhubung dengan itu Bung Karno mengeluarkan
kebijaksanaan ekonomi baru yang kemudian terkenal dengan nama Dekon (Deklarasi
Ekonomi). Yang menarik adalah bukan Chaerul Saleh yang ditunjuk oleh Bung Karno
untuk mengetuai panitia yang menyusun Dekon, tetapi Oom Yo dengan bantuan Mr.
Sumarno. Pilihan atas diri Oom Yo jelas didasarkan pada idealisme keadilan yang
menonjol dalam alam pikirannya.
Dalam menyusun Dekon Oom Yo memperlihatkan sikap
kepemimpinannya yang khas. Panitia itu terdiri dari sebuah staf ahli ekonomi
dan anggauta-anggauta lain dari kabinet. Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak
mudah adalah mendamaikan pandangan-pandangan dan keinginan-keinginan para
menteri yang berlainan latar belakang politiknya itu. Kebijaksanaan dalam
memimpin ini pun dialami oleh Let. Jen Ali Sadikin yang sejak tahun 1963
menjabat sebagai Menteri Perhubungan Laut. Dalam melakukan tugasnya itu ia
banyak membuat perubahan-perubahan besar dalam kementriannya. Sebagai orang
yang masih muda ia sering bertindak cepat-cepat kurang memperhitungkan hal-hal
lain. Dalam hal inilah kepemimpinan Dr. Leimena menonjol. Ia menganjurkan agar
segala tindakan itu dilakukan dengan hati-hati, karena dengan demikian
rencana-rencananya dapat disetujui pihak-pihak lain. Dalam memimpin rapat-rapat
Dr. Leimena memang tidak pernah memaksakan keinginan-keinginannya secara
terus-terang dan keras. Ia sering mengajukan pikirannya dalam bentuk mentah
sebagai umpan untuk menilai apakah hadirin ada yang secara prinsipil
menentangnya. Bila nampak tendensi ke arah pertentangan pendapat yang
berlarut-larut maka idenya untuk sementara ditarik kembali untuk dilontarkan
lagi bila pembicara lainnya menyinggung masalah yang menyangkut apa yang sedang
dipikirkannya sendiri. Yang penting baginya adalah senantiasa memelihara
hubungan antara manusia yang serasi dan wajar.
Salah satu masalah yang sangat pelik yang dihadapi Dr.
Leimena adalah masalah sandang-pangan yang makin meningkat harganya dan,
terutama beras, makin kurang jumlahnya. Masalah ini sering menjadi
bulan-bulanan pertentangan politik pada masa itu. Sesuai dengan prinsip-prinsip
Dekon Dr. Leimena mencita-citakan swasembada beras di Indonesia. Untuk maksud
itu pernah dilontarkannya ide agar Sulawesi Selatan dikembangkan sedemikian
rupa sehingga bisa menjadi lumbung beras bagi Indonesia. Masalah penyediaan
bahan makanan berupa beras ini merupakan salah satu bidang yang dapat
dikatakan berhasil dari kegiatan Dr. Leimena. Melalui BUBM persediaan
beras bagi penduduk kota-kota besar di Indonesia senantiasa bisa dijamin
sekalipun pada saat-saat tertentu timbul kesulitan-kesulitan yang bersumber
pada agitasi pihak PKI.
Tugas yang dibebankan pada departemen-departemen yang
dikoordinir oleh Dr. Leimena adalah memperbaiki aparat-aparat distribusi.
Menurut rumusan Dekon ada empat soko-guru aparat distribusi, yaitu (1)
Perusahaan Negara dan Perusahaan Dagang Negara (PN dan PDN), (2) Koperasi, (3)
Swasta, (4) RT/RK sebagai sosial kontrol. Menurut uraian Dr. Leimena dalam
tahun 1965, “Ekonomi Terpimpin” terdiri dari dua unsur seperti yang telah
dipikirkan sejak awal tahun 1960. Segi “Ekonomi” nya mengikuti prinsip-prinsip
ekonomi, atau mengikuti “mekanisme pasar”. Tetapi segi Terpimpinnya memberi
peranan yang aktif kepada pemerintah. Dalam usaha-usaha meningkatkan kemakmuran
itu peranan bantuan luar negeri hanya sebagai pelengkap saja. Sekalipun
demikian pada saat-saat terakhir masa Demokrasi Terpimpin Menteri Pertanian
Drs. Frans Seda pernah dikirim ke luar negeri untuk menjajaki semacam
konsorsium untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Usaha-usaha itu diteruskan
selama awal masa Orde Baru sehingga tercapailah apa yang sekarang dinamakan
IGGI. Selain sistem “Ekonomi Terpimpin” menghendaki pemusatan segala
perencanaan dan kebijaksanaan pada pemerintah pusat sedangkan di daerah-daerah
hal –hal yang telah direncanakan itu dilaksanakan oleh petugas-petugas
setempat. Hal ini pun tidak terlepas dari kerangka politik yang berlaku pada
waktu itu, yaitu suasana “Dwikora”. Dalam masa ini permasalahan-permasalahan
ekonomi dibahas dalam Kotoe atau Komando Tertinggi Operasi Ekonomi dengan Bung
Karno sebagai Panglima Besarnya dan Dr. Leimena sebagai Wakil III Panglima
Besar.
Suatu persoalan besar yang tidak pernah lepas dari
pandangan Dr. Leimena semasa ini adalah partisipasi umat Kristen dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai dengan pandangan-pandangan yang nampak
sebelum itu, Dr. Leimena senantiasa memperjuangkan agar umat Kristen di Indonesia
tidak menjadi warga yang bermental minoritas. Baginya istilah minoritas
mengandung perasaan rendah diri dan eksklusifisme. Seperti halnya pada
masa-masa sebelumnya dasar-dasar partisipasi umat Kristen dalam masa “Demokrasi
Terpimpin” dilihatnya dari segi Oikumene pula. Maksudnya untuk
mengakomodasikannya dalam kebudayaan politik masa itu.
Salah satu istilah yang sangat penting pada saat-saat
itu adalah “Revolusi”. Bagi Bung Karno Revolusi Indonesia tidak berhenti pada
tahun 1949 tetapi masih terus berlangsung. Apabila diteliti memang nampak bahwa
istilah “panca krisis” yang dilontarkan dalam tahun 1950-an, Dr. Leimena dengan
sendirinya mengikuti jejak ini pula. Rupanya “masa krisis” dalam tahun 1950 itu
masih berlangsung dan diberi nama “Revolusi”. Tetapi dalam tahun 1960-an bukan
masalah dasar negara yang menonjol tetapi masalah yang lebih fundamental, yaitu
“membangun dunia baru”.
Sebab itu menarik sekali untuk mengikuti analisa Dr.
Leimena mengenai masalah ini. Dr. Simatupang menggolongkan andangan itu dalam
“teori paralelisme” di antara pemikiran-pemikiran kemasyarakatan dari
tokoh-tokoh Oikumene. Dalam Sidang Raya DGI ke V (1964) Dr. Leimena berkata:
“Gereja sebagai sebahagian daripada masyarakat turut
bertanggungjawab dalam maju atau mundurnya masyarakat dan negara. Hal-hal ini
berlaku juga bagi gereja-gereja di Indonesia yang seperti Saudara-saudara telah
menyatakannya berdiri di dalam masyarakat yang berevolusi. Revolusi sebenarnya
tidak lain dan tidak bukan, adalah mendobrak dan membangun, suatu
penjungkirbalikan daripada keadaan yang lama ke keadaan yang baharu, suatu
perubahan radikal daripada apa yang tidak baik kepada keadaan yang lebih baik, suatu
operasi chirurgis yang radikal yang menuju kepada rehabilitasi dan penyehatan
dalam masyarakat. Dalam hal ini umat Kristen tidak perlu takut-takut, karena
Nabi Jeremia sendiri menyatakan tentang panggilanNya oleh Tuhan yang jelas:
“bahwa Aku telah membubuh Firmanku di dalam mulutmu. Kepadamu diberikan
kekuasaan untuk menjebol dan mendobrak, merobohkan dan membinasakan, tetapi
juga untuk membangun dan menanam” (Jeremia 1:10 dikutip dari Alkitab terjemahan
lama).
“Maksud daripada Revolusi Indonesia, ialah tiga
kerangka yang saya anggap kita semua telah mengetahuinya. Tujuan daripada
Revolusi Indoneia ialah di dalam masyarakat, di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari Sabang sampai Merauke terdiri suatu masyarakat yang adil dan
makmur, berdasarkan Pancasila, tanpa exploitation de l’homme par homme,
pengisapan manusia atas manusia. Tugas dari pada gereja-gereja berjalan
paralel dengan tujuan Revolusi Indonesia, karena gereja berlandaskan atas
pengasihan Allah terhadap dunia ini, dan gereja melandaskan
aktivitas-aktivitasnya atas kemerdekaan, kebenaran, keadilan dan kasih. Hal-hal
ini berlaku bukan saja di dalam salah satu masyarakat melainkan juga dalam
hubungan antara bangsa-bangsa. Untuk mencapai tujuan daripada Revolusi
Indonesia, dan tujuan dari gereja diperlukan suatu masyarakat yang baru, suatu
dunia yang baru dalam mana hidup manusia-manusia yang baru. Juga dalam hal ini
maksud daripada Revolusi Indonesia dan maksud daripada gereja berjalan
paralel.”
“Untuk mencapai tujuan ini, kita sebagai bangsa dan
gereja, memerlukan suatu perubahan mental dan spirituil. Yang saya
maksudkan ialah bahwa masih terdapat di dalam masyarakat Indonesia suatu
mentalitas yang berasal daripada sisa-sisa kolonialisme, yaitu
inferioriteit-complex rasa diri tidak mampu mengerjakan hal-hal yang besar dan
bersikap pasif, sedangkan Revolusi Indonesia mempunyai dinamika dan ritme
tersendiri. Juga di bidang spirituil masih terdapat pikiran-pikiran yang
berasal daripada interpretasi yang salah daripada Alkitab, yaitu bahwa seakan-akan
Kerajaan Allah hanya terdapat pada akhir zaman sedangkan sebenarnya Kerajaan
Allah sudah mulai di dalam dunia ini, sebab Tuhan berfirman : Sedemikian Allah
mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anakNya sehingga dunia ini
jangan binasa melainkan memperoleh keselamatan. Ini berarti bahwa untuk turut
membangun dunia ini, membangun masyarakat dan negara di dalam mana kita hidup,
haruslah ada suatu “omwentelling” spirituil. Gereja dalam dialognya dengan
masyarakat selalu harus memperlihatkan suatu “permanente omwenteling”,
kalau ia mau tetap taat kepada pemerintah daripada Tuhannya. Gereja melihat
bahwa dalam masyarakat Indonesia yang berevolusi ini, bangsa Indonesia
berhasrat memperkokoh persatuannya, memperdalam kepribadiannya, berusaha sekuat
tenaga untuk menentukan sendiri destiny-nya.”
“Pada dasarnya suatu bangsa yang kuat hidup daripada
national unity-nya, suatu “character-gemeinschaft”-nya yang kuat, suatu hasrat
yang kuat untuk menentukan nasib sendiri dan konsepsi-konsepsi nasional yang
kuat dan realistis di bidang politik-ekonomi-sosial dan kebudayaan. Dalam
hal-hal ini gereja harus solider dengan semua usaha yang menuju kepada apa yang
saya sebutkan tadi.”
Sebagai anggota jemaat Dr. Leimena sering nampak di
Gereja Paulus. Karena kegiatan-kegiatan kenegaraannya ia tidak bisa menerima
pencalonan sebagai anggauta majelis Gereja. Tetapi nasehatnya senantiasa
didengar mengenai masalah-masalah yang dihadapi jemaat Paulus. Selain itu ia
pun sering memberi bimbingan-bimbingan bagi para pendeta dalam lokakarya
–lokakarya yang diselenggarakan oleh Sinode GPIB. Terutama dalam fase-fase
peralihan ke Demokrasi Terpimpin pendapatnya sering dimintakan dalam
rapat-rapat para pendeta GPIB. Seperti biasanya, ada pihak yang bisa menerima
dan ada yang menolak. Dan seperti biasanya pula keputusan selalu diserahkan
kepada individu masing-masing tanpa paksaan-paksaan.
Peristiwa-peristiwa yang berkisar pada meningkatnya
serangan-serangan PKI sejak awal tahun 1965 yang berkaitan erat dengan isu-isu
“Dewan Jenderal” dan “sakitnya Presiden” dan yang berakhir dengan malapetaka
G-30-S/PKI merupakan suatu episode tersendiri dalam hidup Dr. Leimena serta
tokoh-tokoh lainnya dalam masa “Demokrasi Terpimpin” itu. Betapapun keadaannya
satu hal jelas nampak menonjol: Dr. Leimena selalu menunjukan kesetiakawannya
kepada Bung Karno. Salah satu peristiwa dalam proses ini yang sudah banyak
diketahui umum adalah peranannya di Halim Perdana Kusumah pada tanggal 1
Oktober 1965. Karena sebab-sebab tertentu pada pagi hari tanggal tersebut Bung
Karno tidak menuju ke istana Merdeka seperti biasanya tetapi ke Pangkalan Udara
Halim Perdana Kusumah. Di sana telah menunggu tokoh-tokoh seperti Aidit, Omar
Dhani dan lain-lain yang kemudian ternyata sangat terlibat dalam G-30-S/PKI.
Menurut kesaksian Bambang Widjanarko, Ajudan Presiden, pada waktu itu Bung
Karno telah siap-siap untuk berangkat ke luar Jakarta dengan menggunakan
pesawat AURI. Beberapa saat sebelumnya Dr. Leimena juga tiba di sana dengan
maksud mnegetahui apa yang sedang terjadi. Dari keterangan-keterangan yang
diperoleh di markas KOSTRAD, Bambang Widjanarko mengambil kesimpulan bahwa
KOSTRAD telah siap-siap untuk menyerang Halim yang dianggap markas G-30-S/PKI.
Selain itu Pak Harto pun telah memerintahkannya untuk menyingkirkan Presiden
dari tempat itu. Pada saat yang kritis itu tidak seorangpun yang mengetahui
bagaiman mendekati Bung Karno. Dari pengalamannya Bambang Widjanarko mengetahui
bahwa hanya Dr. Leimena yang bisa diharapkan mempengaruhi Bung Karno agar
melepaskan niatnya untuk turut dalam rencana meninggalkan Jakarta ke Jawa
Tengah atau ke Jawa Timur bersama Aidit cs. Yang menambah situasi kritis itu
adalah tibanya Ibu Dewi yang mungkin telah dipanggil untuk menyertai Bung
Karno. Pada saat itulah Dr. Leimena menyertai Bung Karno bersama-sama Dewi ke
suatu ruangan di belakang ruangan yang digunakan untuk berapat. Tidak lama
kemudian Bung Karno ke luar dari ruangan itu dan bersama-sama dengan Dr.
Leimena langsung menuju ke mobil yang membawa mereka ke Bogor. Banyak orang
yang menafsirkan tindakan ini sebagai suatu tindakan yang sangat berarti karena
dengan demikian Aidit tidak bisa menggunakan Bung Karno dalam rencana-rencana
seterusnya (apa pun rencana-rencana itu) setelah ternyata bahwa G-30-S/PKI yang
direncanakan semula itu gagal total.
Setelah melepaskan tugas-tugasnya sebagai Menteri, Dr.
Leimena masih menjabat sebagai anggauta DPA sampai tahun 1973. Dari tahun 1966
s/d 1968 ia menjabat sebagai caretaker Wakil Ketua I dan dari tahun 1968 s/d
1973 sebagai anggauta. Di masa ini pun terjadi pelbagai ketegangan yang
ternyata bisa diatasi karena kepribadiannya yang luwes itu. Sebagai Ketua
Komisi Kesejahteraan Rakyat pikiran-pikirannya yang sudah nampak dalam
masa-masa sebelumnya tetap menonjol. Soal pajak yang merata, pendidikan yang
meluas kepada rakyat jelata, dan lain-lain selalu mendapat prioritas dari
padanya selain masalah-masalah pelik seperti siapa yang menjadi Penjabat
Presiden bila Pak Harto meninggalkan Jakarta ke luar negeri.
Dalam periode ini pun Dr. Leimena melibatkan diri
dengan badan-badan yang pernah dikenalnya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT dan
lain-lain. Dalam kedua organisasi pertama nama beliau muncul lagi sebgai Ketua
Kehormatan disamping jabatannya sebgai Direktur Rumah Sakit DGI “Cikini”.
Selain itu pada masa ini pun ia menjabat Ketua Dewan Penyantun Universitas
Kristen Indonesia di Jakarta. Dalam kesempatan memberi ceramah-ceramah kepada
pimpinan Parkindo Dr. Leimena tidak segan-segan meninjau ke belakang untuk
mengungkapkan kesalahan-kesalahan maupun keunggulan-keunggulan “Demokrasi
Terpimpin”. Dalam salah satu tinjauan semacam itu ia mengemukakan, bahwa
demokrasi yang telah ditanamkan di Indonesia sebenarnya sudah mulai nampak
hasil-hasilnya. Political instinct dan political mindedness di samping mantabnya
UUD 45 merupakan salah satu hasil yang positif. Yang masih kurang adalah
perimbangan dalam mekanisme demokrasi itu. Menurut pendapatnya, masa kini
ditantang untuk menciptakan mekanisme yang menjamin perimbangan tersebut.
Political instinct dan political mindedness di samping mantabnya UUD 45
merupakan salah satu hasil yang positif. Yang masih kurang adalah perimbangan
dalam mekanisme demokrasi itu. Menurut pendapatnya, masa kini ditantang untuk
menciptakan mekanisme yang menjamin perimbangan tersebut.
Dalam awal tahun-tahun 1970-an itu muncul pula masalah
penyusunan kembali sistem kepartaian di Indonesia. Penggolongan-penggolongan
parpol dan golkar yang kemudian menghasilkan PDI, PPP, dan Golkar, sudah mulai
dibicarakan juga. Dalam salah satu kesempatan masalah ini dibicarakan pula oleh
Dr. Leimena. Ia mengajukan pertanyaan apakah Parkindo didirikan untuk
selama-lamanya seperti halnya gereja?
Jawaban yang dikemukakan pada waktu itu adalah, bahwa
Parkindo didirikan pada tahun 1945 untuk memenuhi kebutuhan tertentu, yaitu
menyalurkan partisipasi umat Kristen di Indonesia dalam perjuangan nasional.
Parkindo didirikan sebagai alat saja, bila situasinya menghendaki alat itu bisa
diubah atau diganti dengan yang lain. Sebab itu ia tidak melihat
keberatan-keberatan untuk menggabungkan Parkindo dengan partai-partai lainnya
menjadi PDI. Yang menjadi persoalan baginya adalah ribuan kader-kader Parkindo
yang tersebar luas di seluruh tanah air. Untuk merekalah diperlukan suatu wadah
yang bisa memberi kesempatan untuk mengadakan komunikasi dan pembinaan semangat
kekristenan. Dr. Leimena berpendapat, bahwa dengan memasuki organisasi yang
lebih besar orang-orang Parkindo mungkin bisa berdialog secara langsung dengan
golongan-golongan yang sebelumnya sering tidak searah dan sependirian. Dengan
perkataan lain, peleburan itu bisa membantu meningkatkan kesadaran nasional.
Sampai pada saat-saat terakhir itu inti pokok partisipasi dalam kehidupan
politik bagi Dr. Leimena masih tetap nation and character-building sekali pun
ia tidak menutup mata dari kenyataan yang makin lama makin nyata, bahwa
teknokrasi juga diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Suatu peristiwa yang tidak kurang pentingnya
dalam kehidupan Dr. Leimena adalah perjalanannya ke Eropa. Perjalanan itu
dilakukannya atas undangan rekan-rekannya di sana di kalangan Gereja. Setelah
menunda keberangkatan beberapa lama berhubung peristiwa-peristiwa politik
yang meliputi puteranya Remi (waktu itu Ketua Dewan Mahasiswa UKI) dalam apa
yang dinamakan “Malari” (malapetaka 15 Januari 1974”) akhirnya kedua suami
isteri yang sangat dikenal kalangan gereja di negeri Belanda itu, bertolak ke
Eropa. Salah satu pertemuan yang mengharukan terjadi di Jenewa antara Dr.
Leimena dan Dr. Visser’t Hooft. Di negeri Belanda Dr. Leimena sempat berbicara
dengan tokoh-tokoh RMS. Pertemuan itu diselenggarakan atas undangan pihak Ir.
Manusama yang dikenalnya dari masa Bandungnya. Sayangnya Dr. Leimena terserang
suatu penyakit sesudah tiba di Oegstgeest. Walaupun demikian keesokan harinya
ia melanjutkan perjalanan ke Jerman. Penyakitnya tidak memungkinkannya
berjalan. Perjalanan pulang ke Jakarta dilakukannya dalam sebuah kereta roda.
Sekembali dari perjalanan ini kesehatannya tidak pernah pulih kembali.
Sekalipun dengan pertolongan Tim Dokter Presiden Suharto, antara lain Prof. Dr.
Siwabessy dan Dr. Rubiyono Kertopati, penyakitnya itu makin bertambah juga. Dua
kali operasipun tidak dapat menlong. Rupanya Tuhan telah berkenan memutuskan
bahwa pengabdian dan sumbangsih Dr. Leimena sudah cukup. Ia dipanggil Tuhan
Yang Maha Adil pada hari Selasa tanggal 6 Maret 1977, jam 7.30.
Jenasah dibaringkan sampai hari Rabu di kediamannya di
Jl. Cik Ditiro 16. Kawan-kawan lama, tua dan muda, hadir untuk memberi
penghormatan terakhir pada pejuang yang tidak mengenal lelah itu. Tidak saja
tokoh-tokoh negara seperti Presiden Soeharto, Wakil Presiden Sultan
Hamengkubuwono IX, Menteri Agama Prof. Mukti Ali, dan lain-lain, juga
tokoh-tokoh gereja dan masyarakat lainnya hadir di saat-saat jenasah masih
dibaringkan di rumah. Ibu Leimena beserta ke delapan puteranya menyaksikan
peristiwa perkabungan itu dengan hati yang berat dan tertekan. Hadir pada saat
itu puteranya yang sulung sampai yang bungsu bersama para menantu yaitu Anne
Marie Panji Surya-Leimena, Veronica Tri Mulyono – Leimena, Catharina
Wiriadinata-Leimena, Djauhar Leimena, Ir. Eric Leimena, Vivekananda
Leimena, Remi Leimena dan Melani Leimena.
Karangan-karangan bunga dari para kerabat dan
lembaga-lembaga resmi maupun tidak resmi membumbung tinggi sampai ke luar
rumah, Kemudian jenasah diangkut ke Gereja Paulus untuk kebaktian suci. Khotbah
yang diucapkan oleh Prof. Dr. Latuihamalo diikuti oleh sambutan-sambutan dari
Dr. Abineno mewakili DGI dan Ds. Rumambi mewakili Lembaga Alkitab Indonesia. Di
luar pintu Gereja Paulus jenasah diserahkan kepada pihak ABRI untuk dimakamkan
secara militer di Makam Pahlawan Kalibata. Jenderal Panggabean/Menhankam/Pangab
bertindak sebagai Inspektur Upacara, dengan didampingi Prof. Dr. Siwabessy,
Menpan Dr. Sumarlin, Kapolri Jenderal Widodo Budhidarmo, KSAU Marsekal Saleh
Basarah dan lain-lain. Penghargaan pemerintah dan rakyat Indonesia atas
perjuangannya sejak jaman pergerakan nasional nampak pada tanda-tanda jasanya
yang dibacakan bersama riwayat hidupnya di Taman Pahlawan Kalibata,
Berturut-turut Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Kelas II, Satya Lencana
Pembangunan, Satya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Karya Satya Kelas I. Dari
pemerintah negara-negara asing dia menerima bintang-bingtang Siaktun Lakan
(Philipina), Condor de Los Andes (Bolivia), The Order of the 23rd
August, 2nd class (Rumania), Ordeniom Yugoslaevnska Azstavo I Rider
(Yugoslavia), Al Merito (Equador). Juga dari Thailand RPA, Kamboja, dan Mexico.
