Firman Itu Telah Menjadi
Manusia
by Prof. Dr.
J.L. Ch. Abineno
Kira-kira
enam atau tujuh tahun yang lalu saya memimpin suatu kebaktian Natal di gereja
Paulus. Nas khotbah saya pada waktu itu ialah Yoh 1:14: “Firman itu telah
menjadi manusia”. Dr dan Ibu Leimena juga hadir dalam kebaktian itu. Beberapa
hari kemudian kemudian, ketika saya dan isteri saya datang mengucapkan “selamat
Natal” kepada beliau berdua di rumah mereka, Dr. Leimena berkata kepada saya :
“saya sangat menyukai Yoh I : 1-18. Ia sangat bagus dan sangat kaya isinya. Ia
bukan saja memberikan kepada kita kekuatan dan penghiburan untuk hidup kita
pada waktu ini, ia juga membuka perspektif-perspektif baru bagi kita
untuk hidup kita di waktu-waktu yang akan datang. Mungkin itu yang menyebabkan,
bahwa Presiden Soekarno juga sangat menyukai Yoh 1 : 1-18. Suatu hal yang
menarik perhatian saya ialah, bahwa dalam khotbah yang saudara Abineno ucapkan
beberapa hari yang lalu di gereja Paulus, saudara Abineno hanya menghubungkan
Yohanes I dengan Kejadian I. Sepanjang pengetahuan saya banyak ahli theologia
tidak berbuat demukian. Mereka juga – malahan lebih banyak – menghubungkan
“Firman” atau “Kalam” dalam Yohanes I dengan “logos” yang kita temui dalam
karya-karya falsafah Yunani”. Dengan singkat ia menceritakan kepada saya apa
yang ia ketahui – baca dan dengar – tentang Yoh 1:1-18 dan sekali-kali ia
bertanya kepada saya, bagaimana pendapat saya tentang apa yang ia ceritakan
itu.
Dari percakapan-percakapan, yang
pernah saya adakan dengan Dr. Leimena – baik di bidang theologia (terutama
ketika ia menjadi anggota dari Dewan Kurator Sekolah Tinggi Theologia di
Jakarta), maupun di bidang politik, sosial, kesehatan, dan lain-lain
–percakapan tentang Yoh 1:1-18 ini yang paling meninggalkan kesan pada saya.
Bukan saja karena apa yang dikatakan oleh Dr. Leimena tentang bagian Kitab Suci
itu sangat menarik, tetapi juga karena dalam penunaian tugasnya di
berbagai-bagai bidang kehidupan, ia sendiri rupanya banyak memperoleh kekuatan
dan penghiburan dari ayat-ayat Kitab Suci itu. Karena itu ketika saya diminta
oleh “Panitia Buku Kenangan Dr. J. Leimena” untuk memberikan sumbangan karangan
dalam Buku itu, saya mengambil keputusan untuk mempersembahkan Yoh 1 : 1-14 –
“Firman itu telah menjadi manusia” – sebagai sumbangan saya.
Yoh 1 : 1-18, seperti yang dikataakn
oleh Dr. Leimena, adalah suatu bagian yang indah dari Kitab Suci. Malahan lebih
daripada itu: itu adalah salah satu bagian yang paling indah dan paling penting
dari seluruh Kitab Suci. Bonhoeffer pernah merumuskan hal itu seperti berikut:
Wkatu Yesus dilahirkan di Betlehem tidak ada imam dan tidak ada theolog
yang berdiri di sekeliling palunganNya. Sungguhpun demikian segala theologia
Kristen lahir dari mujizat yang berlangsung di situ, yaitu mujizat tentang
“Allah menmjadi manusia”. Israel – menurut Bonhoeffer – tidka mempunyai
theologia, karena ia tidak mengenal Allah sebagai manusia. Tanpa malam Natal
tidak mungkin ada theologia Kriten, katanya dengan tegas. Sebab adanya
theologia Kristen ialah justru untuk “menyimpan” apa yang telah terjadi pada
malam itu: untuk “menyimpan’ mujizat dan rahasia Allah dalam Yesus Kristus.
Bukan sebaliknya! Bukan untuk meneliti dan menguraikannya sama seperti meneliti
dan menguraikan kebenaran-kebenaran manusiawi yang dapat ditangkap oleh akal
kita. Itu bukan tugas theologia Kristen! Tugas theologia Kristen ialah –
seperti yang dikatakan tadi – untuk “memelihara dan melindungi mujizat Allah
sebagai mujizat dan untuk membela dan memuliakan rahasia Allah sebagai
rahasia”. Itulah yang telah diusahakan oleh Gereja Purba pada abad-abad pertama
dalam segala karyanya.
Yoh 1:1-18, seperti yang a.i. nyata
dari perkataan Bonhoeffer di atas adalah suatu berita. Bukan suatu spekulasi:
bukan suatu uraian falsafah – suatu uaraian falsafah yang dalam – tentang
“logos”. Benar, dalam Yoh 1:1-18 banyak dipakai kata “logos”. Tetapi kata itu
tidak kboleh kita lepaskan dari berita yang terdapat dalam ayat 14, yaitu bahwa
“Firmna (=logos) itu telah menjadi manusia” dan dari “Yesus Kristus” yang
disebut dalam ayat 17, menjadi manusia” dan dari “Yesus Kristus” yang disebut
dalam ayat 17, Yesus Kristus ini yang merupakan isi atau inti dari Yoh 1:1-18.
Ya, isi atau inti dari seluruh Injil Yohannes. Ialah yang dimaksudkan dengan
“logos” dalam ayat-ayat itu. Ialah- seperti yang dikatakan dalam ayat 1 dyb –
yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Malahan Ia adalah Allah. Di dalam
Dia segala sesuatu – maksudnya: seluruh ciptaan dan bagian-bagiannya – telah
dijadikan. Tanpa Dia tidak ada hidup. Hidup dalam arti berada dengan sadar di
hadapdan Allah, hidup sebagai makhluk yang kdisapa, makhluk yang
bertanggung-jawab. Hal itu hanya mungkin oleh dan di dalam Dia.
Namun “Yesus Kristus” agak lama
Yohannes rahasiakan dalam “prolog” (1:1-18) ini. Baru dalam ayat 17 nama itu ia
sebut. Karena itu ahli-ahli theologia, yang suka berspekulasi, banyak mendapat
kesempatan untuk itu. Hal itu bukan saja kita lihat dalam karya bapak-bapak
Gereja dalam abad-abad pertama, tetapi juga dalam karya ahli-ahli theologia
pada waktu ini, yang masih dengan tajam membuat perbedaan antara “Firman yang
praeksisten” dan “Firman yang telah menjadi manusia.” Perbedaan ini Yohannes
sama-sekali tidak kenal. Baginya tidak ada “Firman”, yang dapat dipikirkan
lepas dari “Firman yang telah menjadi manusia”. Karena itu samasekali tidak ada
alasan bagi kita untuk berspekulasi dan untuk menganggap ayat-ayat pertama dari
Injil Yohannes sebgai uraian falsafah tentang “logos”. Samasekali tidak ada
alasan, sebab ayat-ayat itu bukan spekulasi, tetapi berita yang konkrit tentang
Yesus Kristus.
Mungkin timbul pertanyaan: Kalau
demikian dari manakah datangnya istilah “logos”? Dari manakah Yohannes
memperolehnya? Menurut saya pertama-tama dari Perjanjian Lama.
Yohanes 1:1 (=pada mulanya) dengan
sadar menunjuk kepada Kejadian 1:1 (=”pada mulanya”). Dalam Kejadian 1
dikatakan, bahwa Alah menciptakan segala yang ada dengan jalan berfirman.
Firman ini (bahasa Ibrani “dabar”) ialah Firman yang mengandung kuasa. Ia bukan
hanya perkataan saja. Ia juga adalah perbuatan. Salah satu nas yang jelas
menyatakan hal ini ialah Maz 33:9: “Allah berfirman, maka semuanya jadi; ia
memberi perintah, maka semuanya ada”. Karya penciptaan Allah ini – yaitu karya
penciptaan Allah oleh firmanNya – bukan hanya terbatas pada apa yang Ia lakukan
“pada mulana.” Allah juga menciptakan di tengah-tengah sejarah. Karya
penciptaanNya tidak berhenti pada akhir hari yang keenam. Karya penciptaanNya
itu terus berlangsung, sekalipun ia dalam Kej 2:3 tiba pada suatu titik
perhentian sementara. Apa yang ahli-ahli theologia kita dalam dogmatika mereka
sebut pemeliharaan dan pemerintahan Allah atas dunia tidaklah lain daripada
lanjutan karya penciptaan Allah. Yang merupakan jagnkauan yang luar biasa dari
Yohannes I ialah, bahwa Firman ini – Firman penciptaan ini – ia identikkan
dengan Yesus Kristus. Dalam Dia Allah membalikkan diriNya (=menghadapkan
mukaNya) ke dunia. Hal itu, menurut Yohannes, adalah juga motif dari karya
pencipataan Allah. Karena itu pada permulaan Injilnya Yesus Kristus ia
proklamasikan sebagai “makna dan dasar dari seluruh ciptaan.” Atau seperti yang
ia katakan dalam ayat 1 : sebagai “logos” yang telah ada, sebelum segala
sesuatu dijadikan.
Disamping Kejadian 1 pemakaian
istilah “logos” dalam Yohgannes 1 pasti mempunyai juga hubungan dengan sumber-sumber
lain. Pada waktu Yohannes “logos” adalah istilah yang banyak dipakai oleh
filsuf-filsuf dalam dunia hellinistis. Seorang hellinis Yahudi yang terkenal
pada waktu itu ialah Philo dari Alexandria (+/- 50 Masehi). Menurut dia antara
Allah dan dunia terdapat suatu jurang yang dalam (=suatu pertentangan yang
mutlak). Untuk menjembatani jurang itu Philo menggunakan “makhluk-makhluk
antara”. Apa yang ia persis maksudkan dengan “makhluk-makhluk antara” itu tidak
jelas. Kadang-kadang ia menyebut mereka “ide”, kadang-kadang pula
“kekuatan” atau “malaikat” atau “utusan Allah”. Pusat dari “makhluk-antara” itu
ialah “logos”. Logos bukan Allah dan bukan juga ciptaan. Ia adalah “Allah yang
kedua.”
Bultman terutama menunjuk kepada
“gnostik”, khususnya kepada mithos tentang “logos”, yang bukan saja mempunyai
fungsi kosmologis, tetapi juga fungsi soteriologis. Menurut mithos itu “logos”
turun ke dalam dunia materi ini dalam rupa manusia dengan maksud, supaya oleh
ajarannya (=wahyunya) ia membebaskan jiwa-jiwa manusia dari dunia yang fana ini
dan membawa mereka kembali kepada Allah. Bultman membuat perbedaan antara
Perjanjian Lama, menurut dia, adalah sapaan yang berulang-ulang berlangsung,
sedangkan “logos” dalam Yohannes I tidak dapat kita pahami dari dalam Perjanjian
Lama (Kejadian 1).
Saya akui, bahwa dalam pemakaian
istilah “logos” Yohannes – selain daripada Perjanjian Lama (Kejadian 1) –
mungkin diperngaruhi juga oleh theori-theori seperti yang kita jelaskan di
atas. Namun demikian saya ingin menatakan, bahwa dalam pandangan-pandangan
hellenistis dan gnostis – ini sama sekali tidak ada atau mungkin tidak mungkin
ada tempat untuk apa yang paling hakiki bagi Yohannes, yaitu apa ia katakan
dalam ayat 14 bahwa “logos telah menjadi manusia”. Secara formil Yohannes dapat
menggunakan bahasa falsafah dan religius yang terkenal pada waktu itu. Tetapi
secara materil Yohannes I mengandung suatu berita yang sama-sekali baru. Karena
itu saya sama sekali tidka setuju dengan pandangan Bultman di atas.
Benar, dalam Yohanes 1 “logos” dipersonafikasikan. Tetapi personafikasi itu
wajar dan dapat dipahami, sebab dalam 1:1-18 Yohannes sana-sekali tidak
berspekulasi. Dalam beritanya itu ia bertolak dari “person” (=pribadi) Yesus
Kristus.
Dalam hubungan ini saya ingin
meminta perhatian kita terhadap perbedaan uang Berkhof buat dalam dogmatikanya
antara kristologi Yohannes dasn kristologi Markus dan Lukas. Ia katakan, bahwa
kristologi Yohannes adalah “kristologi dari atas” dan kristologi Markus dan
Lukas adalah “kristologi dari bawah”.
Pandangannya ini ia jelaskan
selperti berikut. Ia katakan: Perjanjian Baru mengenal bermacam-macam
pendekatan (terhadap pertanyaan: Siapakah Yesus Kristus?).
Pertama: pendekatan “dari belakang”, samar-samar
nampak dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, bnd juga Rm 1:2-4. Kedua:
pendekatan “dari bawah” dalam Injil Markus dan Injil Lukas dengan penelitian
dan metode historisnya (Luk 1:1-4). Ketiga: kristologi “dari atas” kita dapati
pada Paulus (umpamanya Flp 2:5-11) dan khususnya pada Yohannes (prolog Injil Yohannes
dan tempat-tempat lain).
Maksud Berkhof dengan perbedaan yang
ia buat di atas ialah, supaya kita dengan jalan itu memperoleh suatu gambaran
yang lengkap tentang Yesus Kristus. Suatu usaha yang baik dan yang karena itu
harus kita hargai. Sungguh pun demikidan saya mau bertanya: Perlukah usaha yang
demikian? Lebih dari pada itu: Benarkah untuk membuat perbedaan antara
kristologi Markus dan Lukas? Menurut saya atidak! Sebab sama seperti Markus dan
Lukas, demikian pula Yohannes bertolak dari manusia yang konkrit Yesus Kristus.
Memang benar: dalam ayat 14 “logos” adalah subyek: Firmanlah – seperti yang
diterjemahkan LAI –yang telah menjadi manusia – Ia tidak berhenti sebagai
“Firman”. Ida adalah juga subyek dari “diam” (=eskenosen) d an dari “kemulianNya”
(tendoxon autou) yang menunjuk kepada “logos”. Dalam “logos” ini, dalam manusia
yang konkrit Yesus Kristus ini – jadi bukan saja dalam perkataanNya, tetapi
juga dalam perbuatanNya, ya dalam seluruh tindakanNya – “saksi-saksi mata”
(=kita) telah mendengarkan sapaan Allah, yaitu sapaan, yang dalam bentuknya
yagn menjengkelkan, meminta jawaban dari mereka(=kita). Di belakang manusia
Yesus ini Allah sendiri berdiri sebagai Allah yang bertindak: Allah yang
menyapa dan yang mengucapkan firmanNya. Ia adalah pengambil inisiatif. Ia
adalah pelaku yang sebenarnya. Karena itu Firman, yang ia ucapkan, tidak bisa
kita pikirkan lepas dari inisiatifNya. Tanpa inisiatifnya manusia Yesus ini
tidak akan mungkin ada.
Sebelum saya mengakhiri uraian ini,
saya ingin memberikan dulu beberapa catatan pendek – dan praktis – tentang isi
Yoh 1:14 (dalam rangka Yoh 1:1-18):
Pertama: bahwa Yoh 1:1-18, seperti
yang telah dikatakan di atas, bukanlah suatu spekulasi – suatu uraian falsafah
yang pelik dan dalam tentang “logos” – tetapi suatu berita yang konkrit tentang
Yesus Kristus. Ayat 14 - :Firman itu telah menjadi manusia” – secara singkat
dan jelas mengatakan kepada kita apa yang sebenarnya telah terjadi dalam
kandang binatang di Betlehem. Di belakang bayi kecil yagn berbaring di dalam
palungan, di belakang manusia Yesus ini, Allah berdiri. Di dalam Dia kita
berhadapan dengan Allah sendiri : Allah yang menyapa kita oleh FirmanNya. Natal
artinya: Allah mengidentifikasikan diriNya dengan manusia yang satu ini – yang
hidup pada waktu kaisar Agustus dan Pontius Pilatus – dan dengan itu
menghubungkan diriNya dengan kita manusia: manusia dari darah dan daging.
Kedua: bahwa “sarx” secara pregnan
mengatakan kepada kita siapakah yang sebenarnya manusia itu: makhluk yang fana,
yang takluk kepada maut dan kebinasaan. Benar, dalam Injil Yohannes “sarx”
tidak mempunyai konotasi “kedosaan” seperti dalam surat-surat Paulus.
Sungguhpun demikian ia juga – seperti yang dikatakan oleh Bultman –
mengindikasikan suasana duniawi, suasana keterhilangan, suasana kebinasaan, di
mana manusia hidup. Ayat 14 katakan kepada kita, bahwa dalam suasana inilah
Firman Allah telah muncul pada malam Natal. Bukan hanya untuk beberapa waktu
saja. Tetapi untuk seterusnya. Karena itu Firman Allah telah menjadi sepeotong
dari dunia ini, sepotong dari sejarah kita sebagai manusia. Dan karena hal itu
terjadi, maka dunia kita sekarang secara definitif menjadi obyek dari perhatian
dan pemeliharaanNya. Pernuatan Allah itu mengandung resiko KemuliaanNya menjadi
taruhan. Padahal “suasana” tidak menguntungkan : bnd ayat 5, 10 dan 11.
Sungguhpun demikian Ia melakukannya. Bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi
kepentingan (=keselamatan) kita dari dunia kita.
Ketiga: bahwa Allah yang diberitakan oleh Injil Natal,
yaitu Allah yang telah menciptakan segala yang ada oleh FirmanNya – bukan saja
bertakhta di dalam sorga, tetapi berdiam juga di dalam dunia. Dalam Yesus
Kristus, FirmanNya yang telah menjadi manusia, Ia bersama-sama dengan kita:
dalam hidup kita, dalam pekerjaan kita, dalam perjuangan kita terus menerus.
Itu yang Yoh 1:14 maksudkan dengan: ia diam di antara kita! Bahasa aslinya
mengandung arti yagn lebih dalam: “Ia memancangkan kemahNya di antara kita!” Ia
bukan saja diam bersama-sama dengan kita dalam hidup kita yang singkat di dunia
ini. Ia juga akan bersama-sama dengan kita, kalau kita sebentar membongkar
kemah kita dan melanjutkan perjalanan kita, menyongsong masadepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar