Selasa, 29 Januari 2013


URGENSI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA

A. Dasar Pemikiran
Peraturan Mengenai Pemerintahan desa merupakan Warisan dari Kolonialisme Belanda yaitu yang dikenal dengan IGO ( Inlandsche Gemeente Ordonnante ) pada waktu itu hanya berlaku untuk wilayah jawa dan madura  dan untuk wilayah yang ada diluar pulau jawa dan madura berlaku  Inlandsche  Gemeente Ordonnantie Buitengewesten atau yang dikenal dengan IGOB.
Namun sangat disayangkan peraturan tersebut tidak mengatur pemerintahan secara seragam yang berakibat pada pembangunan masyarakat tidak berkembng secara dinamis .  Kemudian masuknya jepang ke Indonesia Pada tahun 1942  mengakhiri eksistensi belanda di indonesia peraturan mengenai pemerintahan desa tidak berlaku karena jepang melarang setiap produk belanda berlaku di Indonesia. Dengan demikian peraturan Mengenai desa  sudah tidak ada lagi dan jepang tidak mengeluarkan Undang-undang tentang desa.
Pada tanggal 17 agustus 1945 , keluarlah undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang merupakan pelakasanaan dari UUD’45 pasal 18 tetapi peraturan yang khusus mengatur tentang desa sebagai pengganti IGO dan IGOB tidak di terbitkan akan tetapi pengaturan terhadap penyelenggaraan desa diserahkan kepada pemerintah daerah setempat sehingga pelakasanaannya terkandang masi menggunakan IGO dan IGOB.
Pada tahun 1965 terbitlah Undang-Undang No 19  tahun 1965 tentang desa Praja. Undang-undang ini tidak mengatur desa bahkan menghapus desa, yang kemudian IGO dan IGOB dihapuskan dan semua yang berkaitan dengan desa.
Meletusnya Peristiwa tragis G30 S/PKI berdampak pada  UU NO 19 tahun 65 tentang desa Praja perlu di tinjau kembali melalui  TAP MPRS N0.XX1 /MPRS/1966 tahun 1666 tentang pemebrian otonomi seluas-luasnya  kepada daerah.kemudian Keluar Undang-undang  N0 6 tahun 1969 menyatakan bahwa undang-undang No. 19 tahun 1965 tentantang desa praja tidak berlaku lagi  otomatis lahirnya undang-undang ini mengakibatkan desa mengalami kelemahan hukum bahkan sejak indonesia merdeka hal ini sudah terjadi.
Pada Tahun 1979 lahirlah undang-undang N0. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa . dengan adanya UU ini corak keindonesian nampak jelas yang kemudian desa ditetapkan sebagai organisasi pemerintahan terendah dibawah camat serta mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sediri. Secara otomatis demokrasi pancasila terwujud secara nyata yang ditandai dengan adanya pemilihan kepala desa secara langsung bebas,umum dan rahasia. Hal ini tidak berlangsung secara baik meskipun menjamin pemerintahan sendiri karena ternoda oleh dibentuknya Lembaga Permusyawaratan desa  sebagai penyalur aspirasi masyarakat Karena Lembaga  (LPD) diketuai oleh seorang kepala desa dan sekretaris desa menjadi sekretaris LPD yang berakibat pada pencapaian demokrasi tidak terwujud.
Perkembangan politik terus berjalan  ditetapkanlah undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang merupakan pengganti UU NO 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah serta UU NO.5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa.  UU No 22 tahun 1999 ini mempunyai pengaruh yang sangant signifikan tentang pemerintahan desa yang diatur dalam Bab XI dari Pasal 93 sampai dengan Pasal 111, hal ini mengatur bahwa desa tidak lagi berada di bawah camat atau pemerintahan ternedah dibawah camat dengan demikian desa tidak mempunyai hubungan hierarki lagi dengan camat sehingga kepala desa tidak bertanggung jawab kepada bupati melalui camat melainkan bertanggungjawab kepada rakyat melaui badan perwakilan desa  dan menyampaikan laporan kepada Bupati mengenai tugas-tugasnya. Sejak berlakunya UU tersebut maka Lembaga Permusyawaratan Desa di ganti dengan Lembaga perwakila desa  yang berfungsi
1.    Sebagai Lembaga Legislasi dan Pengawasan dalam hal pelaksanaan pemerintahan desa
2.   Anggaran  pendapatan dan belanja desa ,
3.   Keputusan Kepala Desa.
Dengan berbagai pertimbangan mengenai UU No 22 tahun 1999 maka UU ini di ubah atau direvisi karena tidak sesuia dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan , lahirlah UU NO 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tindak lanjut dari UU ini di tetapkanlah Peraturan Pemerintah No 72 tahu 2005 tentang desa sebagai pedoman tentang penyelenggaraan desa.





B.  Strategi Kebijakan Pembangunan Desa dan Dasar Pemikiran
Dalam proses pembangunan desa harus memperhatkan beberapa hal diantaranya seperti Asal-usul masyarakat dan adat istiadat masyarakat setempat berdasarkan urusan-urusan yang diserahkan, disamping itu pula perlu dilakukan atau menyusun strategi dan kebijakan pembangunan desa.
Pemerintahan Desa sebagai pemerintahan terendah dari pemerintahan Nasional. Oleh karena itu lambanya pemerintahan desa  sangat mempengaruhi kecepatan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah ,hal ini juga akan berdampak pada pembangunan masyarkat secara keseluruhan.
Pasang surutnya pemerintahan desa akan mempengaruhi maju mundurnya pemerintahan setempat.
Realitas yang ditampilkan secara konkrit pada sebagian besar desa diindonesia sampai sekarang pada hakekatnya dalam perkembangannya masi merupakan kesatuan hukum asli yang dapat kita lihat dari masyarakat yang menggunakan hukum adat sebagai  landasan aturan masyarakat setempat.
Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar