
MAHKAMAH
KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI
Oleh:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[1]
Pendahuluan
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi,
yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan
(3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.[2] Ideologi
dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan
oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran,
melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga
dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal
ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar
suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama
ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi
negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi
ideologi tersebut.[3]
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak
ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang
positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis
atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi
normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[4]
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan
dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem
berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral
tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini
sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara.
Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[5] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia
atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial,
yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi,
melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.
Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori
sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial.
Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak
hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi
juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup
tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan
pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak
bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus
dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang
muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi
tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku
dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan
dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah
Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang
dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari
tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi
Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah
sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus
ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi
monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[6]
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka
hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan
dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan
dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional
cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan
harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat
inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok
orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang
demokratis.
Perkembangan Ideologi Dunia
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan
dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa
negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara
pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar
tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari
ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang
eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.
Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan
Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih
pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem
menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem
politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik
individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis
yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama
negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang
dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang
berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan
dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet
berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara
Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara
yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.
Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran
ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara
kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam
perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami
krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat
banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya
sebagai ideologi, yaitu negara
kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme
klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat
tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap
hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga
keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni
Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan
Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan
dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai
berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara
kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature.
Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme
karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak
pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap
unsur-unsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu
dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang
berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan
jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di
titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan
gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul
pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.
Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi
Terbuka
Menurut Brian Thompson, secara sederhana
pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the
operation of an organization”[7].
Organisasi dimaksud beragam
bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk
organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi
atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang
dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh[8] menjadi
konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat
menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[9]
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam
suatu negara. Jika negara itu menganut
paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan
berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli
sebagai constituent power[10] yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di lingkungan
negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ
pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.[11] Pengertian constituent
power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling
tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum
yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada
di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Konstitusi selalu terkait dengan paham
konstitusionalisme. Walton
H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust
which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a
government in order”[12]. Untuk
tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan
dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan
ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan
peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai
suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J.
Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an institutionalized
system of effective, regularized restraints upon governmental action”.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[13] Kata
kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil
war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga
peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi
di
Perancis tahun 1789, di Amerika
pada tahun 1776, dan di
Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di Indonesia
pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di
zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus),
yaitu[14]:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general
acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of
government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions
and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan
cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme
di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya
paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan
atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah
yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip
dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip
dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa;
(ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv)
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi,
dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua
ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan
bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan
negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan
bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the rule of law
yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di
Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of
Law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau
orang.
Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The
Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan
hanya sekedar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan
tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law.
Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem
yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain
adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak
tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional
state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat
penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada
konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar
berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak
berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan
organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b)
hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan
antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan
itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar
mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan
mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan
negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam
dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun
waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya
membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu
dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah
diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah
seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak
mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan
undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah.
Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti
yang terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga
konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan
pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan
Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang
secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan
melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup
cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional
yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat.
Konsekuensi
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan
masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan
tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga
konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the
basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the
form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut
hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki
perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis.
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat
baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui
secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang
dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi
liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme
liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun
kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara
yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun
bersama-sama dengan warga negara lainnya.[15]
Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi
mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu:[16]
1.
sepakat untuk tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945;
2.
sepakat untuk mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
sepakat untuk mempertahankan
sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4.
sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD
1945; dan
5.
sepakat
untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan
menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[17] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[18] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun
2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[19] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR
Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan
negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang
Pemilihan Umum.[20]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan,
ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan
serta aturan tambahan.[21]
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945
mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian
menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak
akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak
abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita
bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William
G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme.
Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia.
Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan
nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan
makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam
sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan
masyarakat.
Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia,
Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau
kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan
Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih
menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada
di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan
Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah
hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie)[22]. Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut
adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie
von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut
adalah:[23]
1.
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.
Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.
Undang-undang
formal (formell gesetz); dan
4.
Peraturan pelaksanaan dan
peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu
negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[24]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen
disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya
tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm,
atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta
atau revolusi.[25]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia
dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata
hukum Indonesia adalah:[26]
1)
Staatsfundamentalnorm:
Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)
Staatsgrundgesetz:
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz:
Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung:
Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau
Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama
kali disampaikan oleh Notonagoro[27].
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang
pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum
positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila.[28]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm
berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian,
Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas
konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak
kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan
yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD
1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada
konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi
pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas
konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana
validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang
merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma
mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[29]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.[30]
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum
yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau
tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum
yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi
tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[31]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu
norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar
tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid
tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena
dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini
tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma
pembuat hukum.[32]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah
dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah
yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya
diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan
staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm
pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat
berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[33]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan
pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit
untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[34] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata
hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau
revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain
dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi
menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan
dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum
baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[35].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky
tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan
oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan
oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky
adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari
konstitusi?
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas
dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno
menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan
negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung
atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[36]
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah
rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno,
anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan
maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan
tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto
Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim.
Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan
diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.[37] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah
terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup
besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan
BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota
BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh
Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno
sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka
hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang
selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische
grondslag dan Weltanschauung
bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok
pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2)
bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk
dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.[38]
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia
mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan
sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan
bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena
itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan
pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan
perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia
mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam
rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat
inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[39]
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang
kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk
pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa
Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara
secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya
berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut
sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945
merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm
maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam
UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945
merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen
Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari
keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum
dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam
pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan
perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi,
memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang
perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan
UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat
dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan
dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu
masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan
penasehat[40]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan
pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD
1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”[41]
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu
kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945
sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya
sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD
1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau
Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah
konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan
pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam
pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945
dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan
UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945
secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang
mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan
sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah.
Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan
konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi,
maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila,
benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms,
lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi
menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena
dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia,
yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order).
Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir
yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi
konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah
presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus
meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
Peran Mahkamah Konstitusi
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu
organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk
hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut
organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan
organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional
court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial
review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ
khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan
undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh
organ lain. Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji
konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk
menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang
tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan
menerapkannya.[42]
George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan
gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria,
seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867,
Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis
terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah.
Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah
Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model[43]”. Gagasan
ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu
Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima
dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi
pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi
konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan
prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the
Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap
norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga
memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review).
Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pengujian a priori.[44]
Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah konstitusi
secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat ini
baru terdapat 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.[45] Negara-negara ini pada umumnya adalah negara-negara yang
mengalami perubahan dari otoritarian menjadi negara demokrasi.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari
perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945[46] menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman
merupakan satu kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD
1945 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.[47] Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru
benar-benar terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah
jabatan sembilan hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.[48]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus
pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.[49] Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.[50]
Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut
sebagai judicial review. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti
dengan istilah constitutional review atau pengujian konstitusional
mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep constitutional review merupakan
perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang
didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the
protection of fundamental rights). Dalam sistem constitutional review
itu tercakup dua tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi
dalam hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif; dan (b)
melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan
oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin
dalam konstitusi.[51]
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat
dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan
institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum
terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan
kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang
bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi
lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang
melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum
dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan
kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the
constitutionalization of democratic politics”.[52] Hal ini
semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan
demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische
reshtsstaat).
Kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution). Kewenangan
ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan
dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian
yang digunakan tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan
Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu ketentuan
undang-undang melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan
prinsip dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi,
berbagai permasalahan baru yang mendasar senantiasa muncul dalam proses
penataan kehidupan bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan
perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan
tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan
politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan;
(d) akibat dan batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah
kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.[53]
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga selalu melihat secara
utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan
konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi
berdasarkan cita negara (staatside)dan landasan filosofis (filosofische
grondslag) bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai
putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik[54], ekonomi[55], dan sosial[56] terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang
mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batu ujian atas permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi secara
otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi konstitusi dan
mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi mengelaborasi
nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk menentukan apakah sesuatu
ketentuan undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Disamping
itu, melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila
sebagai ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan
nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak
menjadi ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi
kekuasaan belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan
yang lain terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran
partai politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau
Wakil Presiden.
Penutup
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa
Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan
kemajuan tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi
negara lain, bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata
“man” sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu
penyangga bangsa Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan
sendirinya menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan
politik, maupun gender.
Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari
perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh
ketentuan masalah hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan “setiap orang”
atau “setiap warga negara” yang menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender.
Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Walaupun telah ada jaminan konstitusional, namun realitas
menunjukkan bahwa diskriminasi gender masih terjadi di masyarakat. Hal ini
tidak terlepas dari stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan pada saat
negara-negara kawasan Asia dan Amerika Latin sudah banyak yang pernah dipimpin
oleh perempuan, negara Eropa masih jarang, bahkan di Amerika belum pernah sama
sekali.
Berhadapan dengan realitas masih adanya diskriminasi atas
perempuan baik secara kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan
jika sekedar memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki
untuk berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap
tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah
dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.
Karena itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika
terdapat kebijakan yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan
kuota khusus (affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin
dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Salah satu wujud affirmative
action ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah
tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif, baik tingkat pusat
maupun daerah, yang diusulkan oleh partai-partai politik peserta Pemilu 2004.
Hanya saja disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD[57] tersebut,
tidak bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata ”dapat”, bukan kata
”wajib” atau ”harus”. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif, baik di
tingkat pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi keterwakilan 30
persen adalah kaum perempuan.
Terlepas dari berbagai jaminan persamaan hak dan
kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945, yang menentukan diakui tidaknya
kesejajaran perempuan dan laki-laki serta berperan tidaknya perempuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, adalah kualitas manusianya.
Kalaupun telah diberikan perlakuan khusus dan kultur sosial sudah tidak bias gender,
namun jika tidak memiliki kualitas yang memadai, perempuan tidak akan dapat
memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan. Kebijakan tersebut juga akan
berujung sebagai penghias bibir semata.
Maka peningkatan kualitas dan kemampuan perempuan harus
menjadi agenda bangsa secara keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping
perjuangan secara struktural dan kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan
berbagai proses pendidikan dan pelatihan serta memperluas medan pengalaman
dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
Alder,
John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London:
MacMillan Education LTD, 1989.
Almond,
Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics; A Developmental
Approach. Little, Brown and Company Inc., 1966.
Andrews,
William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company,
1968.
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di
Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994.
_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
_______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie, Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah
Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN
Indonesia, 2002.
Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Waktu Pelita I–Pelita IV. Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia. Jakarta, 1990.
Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati
(peny.). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus
1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1995.
Bogdanor,
Vernon (ed). Blackwell’s Encyclopedia of Political Science. Oxford:
Blackwell, 1987.
Bryce,
J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1. Oxford: Clarendon Press,
1901.
Friedrich,
Carl J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
_____________.
Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe and
America. Fourth Edition. Massachussets-Toronto-London: Blaisdell Publishing
Company, 1967.
Hewitt,
Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare
State. Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992.
Jessop,
Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press, 1990.
Kelsen,
Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg.
New York: Russell & Russell, 1961.
___________. Pure Theory Of Law. Translation from
the Second (Revised and Enlarged) German Edition. Translated by: Max Knight.
Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara
Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004.
Lijphart,
Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.
Magnis-Suseno,
Franz. Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan
Pikiran dan Politik. Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the
Sociology of Knowledge. Penerjemah:
F. Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
Phillips,
O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes,
Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law
Review, Vol. 118:1, 2004.
Thompson,
Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3.
London: Blackstone Press Ltd., 1997.
ISTILAH-ISTILAH
1. Propaganda Ldari bahasa latin
modern ;Propagaare yang berarti mengembangkan atau memekarkan,. Adalah
rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan
masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi
secara obyektif ,tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi
pihak yang mendengar atau melihatnya.
2. Propaganda kadang
menyampikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan dimana umumnya isi
propaganda hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang dapat menghasilkan
pengaruh tertentu atau lebih menghasilkan emosional
[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia.
[2] Franz
Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992),
hal. 230.
[3] Arti kata ideology
menurut Kamus Oxford adalah (1) a
set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of
beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way
people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah “the
system of ideas and imagery through which people come to see the word and
define their needs and aspiration”, dan “a system of ideas, beliefs and
values that individuals and societies aspire toward.” Lihat, Martin Hewitt,
Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State,
(Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
[4] Karl Mannheim
misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti
pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada
sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia:
Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge,
Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
[5] Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh,
ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal.
232-238.
[6] Ibid.,
hal. 232-233.
[7] Brian
Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3,
(London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
[8] Bandingkan
dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang konstitusi
Inggris, “In other words the British constitution was not made, rather it
has grown”. Ibid., hal. 5.
[9] O. Hood
Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal.
5.
[10] Lihat
misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5.
[11] J. Bryce, Studies
in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal.
151.
[12] Walton H.
Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin
R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal. 255.
[13] William G.
Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a
political community have, bu definition, common interests which they seek to
promote or protect through the creation and use of the compulsory political
mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968),
hal. 9.
[14] Ibid.,
hal.12-13.
[15] Lihat, Jimly
Asshiddiqie, “Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha”, makalah disampaikan
dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20 September 2005.
[16] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
[17] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa
reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999
tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
[18] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal
14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
[19] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B,
Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E,
Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab
XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[20] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah
ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4),
Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal
7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan
(2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat
(1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal
22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3),
Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F
ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal
24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4),
Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[21] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau
penambahan dalam Perubahan Keempat ini
meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11
ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31
ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV,
Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat
(1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan
Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
[22] Teori Hans
Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of Law: Introduction
to the Problematic of Legal Science; Pure Theory of Law; dan General
Theory of Law and State.
[23] Ibid.,
hal. 37. A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita
IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 1990, hal., 287.
[24] Ibid.
[25] Ibid.,
hal. 359.
[26] Ibid.
Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun
2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[27] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil
Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat,
(Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[28] Attamimi, Op
Cit., hal. 309.
[29] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell
& Russell, 1961), hal 115.
[30] Hans Kelsen, Pure
Theory Of Law, Translation from the Second (Revised and Enlarged) German
Edition, Translated by: Max Knight, (Berkeley, Los Angeles, London: University
of California Press, 1967), hal. 201 – 205.
[31] Kelsen, General
Theory, Op Cit., hal 115
[32] Kelsen,
General Theory, Op Cit., hal 116. Kelsen, Pure Theory of Law, Op Cit.,
hal. 195.
[33] Attamimi, Op
Cit., hal. 359. Nawiasky, Op Cit., hal. 31 – 37.
[34] Kelsen,
General Theory, Op Cit., hal 124 – 125. Kelsen, Pure Theory, Op Cit.,
hal. 221 – 224.
[35] Kelsen,
General Theory, Op Cit., hal 117.
[36] Saafroedin
Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117,
121, 128 – 129.
[37] Kusuma, Op Cit., hal. 130, catatan kaki no. 229.
[38] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD
1945 sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 51.
[40] Kusuma, Op Cit., hal. 132 – 137.
[41] Hasil Perubahan
Keempat UUD 1945.
[42] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, Op Cit. (New York: Russell & Russell,
1961), hal 157.
[43] Disebut juga
dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend
Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[44] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan
109.
[45] Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi:
Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia,
2002).
[46] Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[47] Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4316.
[48] Sembilan hakim konstitusi pada MKRI yang pertama
ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003, tanggal 15
Agustus 2003.
[49] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junto
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
[50] Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 10 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[51] Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op Cit., hal. 10-11.
[52] Richard H.
Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review,
Vol. 118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
[53] Bob Jessop, State
Theory, (Cambridge: Polity Press, 1990), hal. 48.
[54] Misalnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan
hak politik pasif dan aktif eks anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya
dengan menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[55] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara
002/PUU-I/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002
secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Pasal-Pasal
yang diuji dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal
17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan jantung dari Undang-Undang No. 20 Tahun
2002.
[56] Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005 dalam perkara permohonan
pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[57] Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 4277.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar